Sejarawan Optimistis Rekonsiliasi Tragedi 1965 Bisa Dilakukan
Sejarawan dan Dosen Universitas Sanata Dharma, Baskara T Wardaya. 
Toto/tirto/Riva Rais
6 April 2018
https://tirto.id/sejarawan-optimistis-rekonsiliasi-tragedi-1965-bisa-dilakukan-cHlk
  Sejarawan Sri Margana mengatakan Tragedi 1965 tidak hanya di latarbelakangi 
permasalahan dalam negeri, tetapi juga politik global.tirto.id - Sejarawan 
sekaligus Romo, Baskara T. Wardaya SJ menyatakan, rekonsiliasi kasus 
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) 1965 penting untuk dilakukan, meski 
tak menampik ada pihak-pihak yang tak ingin agenda itu terlaksana. 

“Karena [rekonsiliasi] akan membuat kita berdamai dengan masa lalu, sehingga 
kita semakin mantap jalan ke depan sebagai bangsa,” kata Romo Baskara di 
sela-sela peluncuran bukunya berjudul “Keeping Hope Seing Indonesia's Past from 
the Edges” di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Jumat (6/4/2018).

Baskara mengaku optimistis rekonsiliasi bisa terjadi, sebab sudah ada 
masyarakat akar rumput yang mulai melakukannya di tingkat lokal, seperti di 
wilayah Jawa Tengah, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT). 

“Mereka menyelenggarakan forum-forum yang dihadiri oleh survivor, pelaku, 
korban dan pejabat pemerintah untuk rekonsiliasi,” kata penulis buku “Bung 
Karno Menggugat,” ini. 

Menurut Baskara, Indonesia harus menengok Jerman dan belajar bagaimana cara 
negara itu menghadapi pelanggaran HAM berat, Holocaust. “Yang menarik adalah 
Jerman itu dengan gagah berani mengakui semua yang terjadi, ada rehabilitasi 
ada kompensasi,” ungkapnya. 

Baca juga: Arsip Rahasia AS: Para Pengusaha Indonesia Pasca 1965
Ia menjelaskan, setelah mengakui kesalahan di masa lalu, Jerman semakin menjadi 
negara kuat dan mampu menopang saat negara lain tertimpa krisis. 

“Lihat apa yang terjadi pada Jerman setelah itu? Jerman menjadi negara paling 
kuat di Eropa. Ketika semua negara di Eropa mengalami krisis ekonomi larinya ke 
mana? Jerman kan yang membantu, termasuk Portugal, Yunani, Irlandia,” kata 
Baskara. 

“Justru setelah mengakui kesalahan di masa lalu Jerman menjadi negara yang 
kuat, tidak hanya kuat, bahkan paling kuat di Eropa,” lanjutnya. 

Untuk itu, Baskara mengungkapkan, Tragedi 65 ini harus terus dibicarakan karena 
bagian dari sejarah bangsa yang memberikan banyak pelajaran penting. 

Senada dengan Baskara, Winarso selaku Koordinator Sekber 1965 menyatakan, 
rekonsiliasi itu juga telah terjadi di sejumlah wilayah Jawa Tengah, dengan 
mempertemukan korban, pelaku, Dandim, Kapolres dan Kesbangpol. 

“Saya justru optimistis rekonsiliasi ini bisa dilakukan, karena sejumlah daerah 
sudah berhasil melakukannya. Mereka bisa duduk bersama dan mencari jalan 
keluar,” ungkap Winarso. 


Sekilas Tentang Tragedi 1965
Hadir sebagai pembicara, sejarawan sekaligus pengajar di Universitas Gadjah 
Mada (UGM) Sri Margana mengatakan, Baskara banyak menyoroti fakta-fakta yang 
tertimbun dalam Tragedi 1965 di dalam buku berjudul “Keeping Hope Seing 
Indonesia's Past from the Edges” yang diterbitkan Galang Press. 

Salah satunya, kata Margana, mengungkap bahwa Tragedi 1965 itu tidak hanya di 
latarbelakangi oleh permasalahan dalam negeri, tetapi juga masalah global. 

“Pada periode tersebut kondisi politik dunia sedang menghangat, di mana Perang 
Dingin antara negara komunis (Uni Soviet) dan negara kapitalis (Amerika) sedang 
berlangsung,” kata Margana. 

“Dua negara tersebut berlomba-lomba menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di 
negara-negara yang baru merdeka, salah satunya Indonesia,” lanjut dia. 

Baca juga: "Negara Hadir untuk Jujur pada Sejarah"
Namun, posisi politik Indonesia lebih condong ke “sayap kiri” dan terus 
melakukan kunjungan ke negara-negara Uni Soviet dan Cina. Kondisi tersebut, 
kata dia, membuat Amerika, Inggris dan Selandia Baru was-was. 

Amerika juga semakin khawatir lantaran hubungannya dengan Indonesia tak kunjung 
membaik. “Bahkan ada penolakan yang cukup serius dari masyarakat [Indonesia] 
terhadap negara Barat kapitalis akibat adanya rencana Federasi Malaysia di 
bawah kendali Inggris tahun 1960-an,” kata dia. 

Sementara itu, Romo sekaligus pemerhati Tragedi 1965, Hary Susanto, SJ 
menambahkan, tujuan Amerika mengincar Indonesia karena tak lepas dari kekayaan 
alam yang dimiliki, seperti minyak dan emas di Irian Barat (sekarang Papua)..

Baca juga: 1965: 'Kekerasan Brutal' Perdana Militer Indonesia di Papua
Namun, peristiwa global itu justru ikut menyeret orang-orang yang tidak 
bersalah. “Mereka ditangkap, disiksa, diperkosa, dipenjara, tanpa proses apapun 
dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ungkap Romo Hary. 

Hary menjelaskan, setelah para korban penyintas itu kembali ke masyarakat, 
mereka juga tetap mengalami penderitaan, pengucilan dan mendapat stigma negatif 
di masyarakat. Bahkan, KTP-nya ditandai khusus dengan (ET) atau Eks Tapol.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI 1965 atau tulisan menarik lainnya Alexander 
Haryanto

(tirto.id - Sosial Budaya) 

Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto

Kirim email ke