Bahkan Arjuna, Gatot Kaca, Semar, dan Bima juga dihancurkan, ck... ck... ck... 
bukankah itu merupakan budaya nasional bahkan Islam-pun masuk ke Indonesia 
setelah Wali Songo mengadopsi tokoh2 wayang tsb.
---
Kasus patung yang dianggap sebagai berhala dan karenanya dinilai musyrik bukan 
kali pertama terjadi. Pada 2010, patung tiga mojang karya seniman Nyoman Nuarta 
di Bekasi dirobohkan sekelompok ormas Islam sebab dianggap seronok dan 
mencitrakan ajaran agama Hindu. Pada 2016, patung Arjuna Memanah di Purwakarta 
habis dibakar menyusul nasib patung Gatot Kaca, Semar, dan Bima, yang terlebih 
dahulu dihancurkan pada 2011 karena dianggap tidak merepresentasikan nilai 
keislaman yang kuat di Jawa Barat. Di Tanjung Balai, patung Buddha yang 
terletak di dalam lokasi rumah ibadat juga diturunkan secara tragis karena 
mayoritas wilayah itu dihuni umat Islam.
...
Silang Budaya Patung Guan Yu di Tuban


  
|  
|   
|   
|   |    |

   |

  |
|  
|   |  
Silang Budaya Patung Guan Yu di Tuban
 Sosok Guan Yu yang di-patung-kan di Tuban adalah sosok historis sekaligus 
sakral.  |   |

  |

  |

 

Kolumnis: Wildan Sena Utama08 Agustus, 2017dibaca normal 2:30 menit   703 
SharesBeberapa hari terakhir media sosial heboh dengan polemik pendirian patung 
Konco Kwan Sing Tee Koen yang menjulang setinggi 30 meter di Klenteng Kwan Sing 
Bio, Tuban. Patung yang diresmikan oleh Ketua MPR pada 17 Juli lalu diributkan 
karena dianggap merupakan simbolisasi penjajahan Cina atas wilayah Indonesia. 
Ada juga yang menganggap bahwa patung itu merupakan situs berhala yang mengusik 
keimanan umat Islam.

Dua alasan itu, plus/terutama aksi demonstrasi di Tuban menolak keberadaan 
patung,  dianggap sudah cukup oleh Pemerintah Kabupaten Tuban untuk melakukan 
penutupan patung dengan kain putih. Meski Pemkab Tuban beralasan bahwa 
penutupan kain putih didorong oleh perizinan patung yang bermasalah.

Polemik patung yang lebih dikenal sebagai Kwan Kong atau Guan Yu ini mulai 
terangkat mengemuka di media sosial terutama dengan membandingkan tinggi patung 
ini dengan patung Sudirman di Jakarta yang hanya bertinggi sekitar 12 meter. 
Banyak kalangan yang meributkan mengapa jenderal Cina yang tidak punya jasa 
terhadap bangsa Indonesia dibangun semegah dan setinggi itu, sedangkan masih 
banyak pahlawan Indonesia yang seharusnya diangkat sosoknya. Mulailah pendirian 
patung itu dikaitkan dengan ketidaktahudirian orang-orang Tionghoa yang 
merupakan pendatang di Indonesia sampai muncul anggapan bahwa patung tersebut 
adalah upaya Cina menjajah Indonesia.

Argumentasi yang mengkaitkan pendirian patung Guan Yu dengan penjajahan soft 
power negara Cina atas Indonesia merupakan analisis yang mengada-ada. Apalagi 
jika analisis tersebut dihubung-hubungkan dengan kepemimpinan Jokowi yang 
pemerintahannya dianggap lebih condong bekerjasama dengan Cina.

Jika patung ini dikaitkan dengan tindakan semena-mena orang Tionghoa, patung 
ini sebetulnya telah ditempatkan sesuai dengan konteksnya. Patung Guan Yu ini 
didirikan bukan di tengah alun-alun kota, tapi di dalam kompleks peribadatan. 
Mungkin sebagai penghormatan atas sosok Guan Yu yang dianggap sakral oleh 
masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, bahkan telah disakralkan sejak masa 
Dinasti Sui (518-618).

Guan Yu merupakan jenderal besar yang berperan penting dalam pendirian negara 
Shu Han, yang dipimpin oleh Liu Bei, pada masa Tiga Kerajaan (220-280). Ia 
dikenal sebagai salah satu figur bersejarah di sepanjang Asia Timur berkat 
kepopuleran novel historis Romance of Three Kingdoms.

Di balik kepiawaiannya dalam bertempur, sosoknya digambarkan sebagai tokoh yang 
menghargai kesetiaaan dan kejujuran. Tidak hanya dalam tradisi agama rakyat 
Tiongkok sosok Guan Yu dianggap sebagai salah satu dewa, Konfusianisme 
menganggapnya sebagai dewa kesusasteraan, Taoisme memujanya sebagai dewa 
pelindung dari peperangan, dan dalam tradisi Buddha ia dianggap sebagai 
pelindung Dharma.

Menempatkan patung tersebut di kompleks peribatadan adalah penegasan dari aspek 
sakral sosok Guan Yu. Membangunnya di kompleks ibadat menjadikan sosok Guan Yu 
tidak semata-mata sebagai tokoh historis. Mengabaikan posisi sakralnya dalam 
tata kepercayaan, dan melulu menakar sosoknya dari perspektif historis-profan, 
inilah yang memungkinkan komparasi historis dengan Jenderal Soedirman atau 
memancing argumen: memangnya tidak ada pahlawan asal Tuban yang bukan orang 
Cina?  

Namun, meletakkan patung Guan Yu sebagai wujud sakral, membuat posisi patung 
itu terbuka untuk dianggap berhala yang, bagi kalangan Islam konservatif, 
adalah musyrik.  

Kasus patung yang dianggap sebagai berhala dan karenanya dinilai musyrik bukan 
kali pertama terjadi. Pada 2010, patung tiga mojang karya seniman Nyoman Nuarta 
di Bekasi dirobohkan sekelompok ormas Islam sebab dianggap seronok dan 
mencitrakan ajaran agama Hindu. Pada 2016, patung Arjuna Memanah di Purwakarta 
habis dibakar menyusul nasib patung Gatot Kaca, Semar, dan Bima, yang terlebih 
dahulu dihancurkan pada 2011 karena dianggap tidak merepresentasikan nilai 
keislaman yang kuat di Jawa Barat. Di Tanjung Balai, patung Buddha yang 
terletak di dalam lokasi rumah ibadat juga diturunkan secara tragis karena 
mayoritas wilayah itu dihuni umat Islam.

Pendirian patung Guan Yu menurut saya tidak boleh dilihat sesempit dan sepicik 
itu, meskipun Islam tidak mengenal tradisi pembuatan patung seperti dalam agama 
lain. Pendirian patung itu saya kira tidak bermaksud untuk menunjukkan 
superioritas agama tertentu atau menganggu keimanan umat Islam. Patung ini 
didirikan sebagai sebuah monumen dan lebih untuk menarik perhatian turis asing 
dan domestik agar pariwisata Tuban terangkat. Toh, sosok Guan Yu yang disembah 
oleh orang yang datang beribadat tetap berada di dalam kuil.

Lagi pula, sebagai negara yang beranekaragam dan secara historis didirikan 
untuk menghormati dan merawat keanekaragaman itu, apakah keimanan kita, umat 
Islam, akan langsung menyusut karena keberadaan patung seperti itu?

Pendirian patung ini mesti dilihat secara bijak dalam kerangka yang lebih luas, 
sebagai kemajemukan, bukan dalam kerangka sempit, mayoritas-minoritas. Denys 
Lombard dalam karya monumentalnya Nusa Jawa, Silang Budaya mengatakan bahwa 
Indonesia, atau lebih spesifiknya Jawa, dilewati oleh tiga kebudayaan besar, 
yaitu Islam, India, dan Cina. Masing-masing dari kebudayaan itu memberikan 
nafas atau saling berpadu dalam membentuk kebudayaan kita. 

Oleh sebab itu tidak ada yang aneh sebetulnya kalau salah satu unsur tersebut 
menjadi corak yang mewarnai identitas kebudayaan kita. Patung Guan Yu adalah 
silang budaya ke-Indonesia-an kita.

Jangan sampai identitas kita yang majemuk diseragamkan menjadi satu identitas 
yang kaku. Jangan sampai pula pandangan keagamaan yang sempit menghancurkan 
identitas keindonesiaan yang majemuk. Jangan sampai pula kebencian terhadap 
etnis dan agama tertentu melahirkan ketakutan seniman-seniman kita untuk 
berekspresi. Saya percaya kita tidak sebodoh dan sesempit itu. 

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak 
menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Kirim email ke