Melia HalimFollowInherently curious. Believer in karma. A pragmatist trapped 
within philosophical questions.Nov 6, 2016




Taji Mayoritas, “Penistaan Agama”, dan Demokrasi Setengah Hati


| 
| 
|  | 
Taji Mayoritas, “Penistaan Agama”, dan Demokrasi Setengah Hati

Melia Halim

Belum genap dua dekade sejak Indonesia mengadopsi demokrasi, setelah sebelumnya 
berada selama 32 tahun di bawah ...
 |

 |

 |




Belum genap dua dekade sejak Indonesia mengadopsi demokrasi, setelah sebelumnya 
berada selama 32 tahun di bawah pemerintahan diktator militer. Dalam kurun 
waktu yang relatif singkat tersebut, Indonesia sudah memilih presiden tuna 
netra, presiden wanita, presiden dari rakyat sipil tanpa ikatan dengan dinasti 
elit politik sebelumnya, serta gubernur dari kalangan minoritas untuk Ibu Kota 
— terlepas dari bagaimana cara mereka dipilih. Meski gejolak politik pasti ada, 
tapi itu semua harus diakui merupakan pencapaian tersendiri demokrasi kita yang 
perlu diapresiasi.

Sejak kita sepakat untuk menggunakan demokrasi sebagai cara untuk memerintah, 
maka rakyat Indonesia suka tidak suka harus siap dengan perubahan struktur di 
setiap sendi kehidupan. Jika dulu kritik dan perbedaan pendapat dianggap 
sebagai ancaman, sekarang justru harus diberikan ruang. Jika dulu semua harus 
seragam, sekarang perbedaan justru harus dirayakan. Demokrasi mungkin terlihat 
simpel ketika dituliskan dalam rangkaian kalimat normatif seperti dua kalimat 
saya sebelumnya. “Iya, gue bisa kok menerima perbedaan” — konon, demikianlah 
suara setiap orang Indonesia.

Tapi dalam realitanya, ini bukanlah perkara yang sepele. Ini berarti seorang 
guru, termasuk guru agama, harus siap ditantang dengan pendapat berbeda oleh 
muridnya. Penguasa dan pejabat publik harus legowo menerima kritik, sepedas 
apapun kritik tersebut. Orang tua harus siap menerima bahwa anak berhak 
memiliki pendapatnya sendiri, yang mungkin jauh berbeda dengan pandangan 
mereka. Suami harus tetap rendah hati dan mengayomi meskipun istri bersilang 
pendapat. Dokter paling senior pun harus siap untuk ditantang keputusannya oleh 
perawat ataupun dokter junior. Kalimat klasik otoriter: “Kamu berani nantang 
saya?” atau “Makanya kamu tuh dengerin saya”, harus dihilangkan karena justru 
‘tantangan’ itulah yang menjadi kekayaan dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat 
alias ‘free speech’ justru dilindungi, bukan diberangus — asalkan selama masih 
berada di dalam koridor hukum.

“Penistaan Agama” dan Genderang Demokrasi
Namun, ketika berbicara tentang koridor hukum, menjadi menarik untuk berhenti 
merenung dan mengevaluasi: apakah sejatinya hukum kita sudah sejalan dengan 
asas-asas demokrasi? Ataukah jangan-jangan hukum kita masih kental dengan rasa 
rezim otoriter?

Mumpung masih dekat dengan ingatan, mari kita kembali ke Aksi Bela Islam 4 
November lalu. Aksi tersebut berlangsung relatif damai dan sejuk, sehingga 
pantas diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Walaupun, jika secara 
objektif menilai, kita sama-sama tidak bisa memungkiri bahwa ada anggota massa 
yang melakukan hate speech ataupun upaya pembungkaman media massa — yang tentu 
perlu diproses secara hukum.

Alasan dilakukan Aksi Bela Islam adalah menuntut dilakukannya tindakan hukum 
atas “penistaan agama” oleh Ahok. Namun, aksi tersebut juga bukan berarti lepas 
dari kritik. Tidak jelasnya pesan yang hendak disampaikan karena jenis atribut 
di lapangan, hingga relevansi aksi- mengingat proses hukum terhadap Ahok sudah 
berjalan sejak Oktober. Tetapi bukan itu poin tulisan saya dan biarlah 
kebingungan itu menjadi milik individu yang kebingungan. Toh dalam demokrasi, 
hak berdemonstrasi dilindungi oleh hukum.

Saya tidak tertarik masuk ke dalam polemik berkepanjangan tanpa akhir apakah 
Ahok memang “menista agama” — silahkan pengadilan yang memutuskan. Namun, saya 
ingin fokus membahas apa yang dimaksud dengan “penistaan agama”. Berikut saya 
kutip secara utuh pasal “penistaan agama”.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 156
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,kebencian atau 
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam 
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak 
empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal 
berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan 
suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, 
asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukanmenurut hukum tata negara.

Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan 
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan 
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang 
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika melihat pasal 156, saya menyimpulkan bahwa, ketika ada seorang yang 
menjeritkan kalimat-kalimat ini di muka publik maka dia bisa dijerat secara 
pidana:
   
   - “jangan pilih X karena dia orang Indonesia keturunan Cina/Arab/Jerman”, 
atau
   - “jangan pilih X karena dia orang Jawa/Sunda/Bali/ Papua”, atau
   - “jangan pilih X karena dia orang Islam/Hindu/Buddha/Kristen”, atau
   - “jangan pilih X karena dia hitam/putih/kuning dengan rambut 
pirang/keriting/ikal”, atau
   - “jangan pilih X karena dia miskin/pengusaha”,

Karena bukankah jeritan “jangan pilih” bisa saja diterjemahkan sebagai bentuk 
“perasaan permusuhan”? Atau tidakah itu juga bisa dianggap sebagai bentuk 
“penghinaan golongan”? Bukankah itu berarti penilaian secara sepihak bahwa 
individu dengan ciri khas tertentu dianggap tidak kompeten memimpin? Ini juga 
pasti akan mengganggu ‘ketertiban publik’ yang menjadi wadah pasal tersebut

Kalau dilanjutkan ke pasal 156a, menurut saya itu jujur itu pasal yang lebih 
aneh. Kalau ada orang Kristen bilang Yesus (Nabi Isa) itu anak Tuhan di muka 
umum— tidakkah itu “menodai agama” Islam yang tidak menganut konsep trinitas? 
Atau jika ada orang Islam yang berpendapat bahwa doktrin tritunggal itu adalah 
hasil kesepakatan manusia di konsili Nicea —tidakkah itu “menodai agama” 
Kristen? Atau ketika ada ustad/pendeta yang di depan umat ‘menghimbau’ umat 
bahwa patung apapun di rumah ibadah itu sama dengan berhala— tidakkah itu 
membangun “perasaan permusuhan” dengan para pastor dan biksu? Itu baru saya 
berikan beberapa contoh yang netral, berbasis fakta mendasar perbedaan agama. 
Batasan “nista-menista” ini akan semakin kabur jika pembahasan sudah mulai 
menyinggung teologi masing-masing agama, apalagi kalau kita masuk ke dalam 
forum daring dakwah agama yang seringkali “ngawur”. Pembahasan juga belum 
menyinggung batasan ‘di muka publik’ di zaman serba digital ini. Semoga saja 
orang Indonesia masih ingat pada kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni yang 
dijerat oleh pasal karet ITE.

Taji Mayoritas dan Masyarakat Standar Ganda
Secara historis, Pasal 156 memang lahir dari semangat untuk memberangus 
perbedaan di awal munculnya Orde Baru. Maka tidak heran, pasal ini (akan 
selalu) menjadi polemik ketika tetap dipertahankan dalam demokrasi. Menarik 
untuk disimak bahwa pasal ini berhasil menyeret orang yang memprotes speaker 
masjid yang terlalu keras di Lombok, atau ketika seorang Kristen memprotes 
sesajen Hindu di Bali ke dalam penjara. Itu adalah beberapa contoh baik 
bagaimana pasal ini kerap digunakan untuk menunjukan ketajaman taji kelompok 
mayoritas. “Jangan berani nantangin saya!” (tambahan: apalagi kalau saya 
mayoritas! — Gue tuntut lo!) — jerit Pasal 156. Menarik pula bahwa Pasal 156 
ada di bawah bab V KUHP yakni “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum”. Menjadi 
pertanyaan pula siapa yang dimaksud sebagai ‘umum’ dalam ‘ketertiban umum’? 
Kalau tetangga saya parkir mobilnya di badan jalan kompleks dan membuat macet 
jalanan rumah saya, apakah itu berarti saya bisa pidanakan yang bersangkutan?

Definisi ketertiban umum yang memang menjadi dasar penerapan konsep 
‘stabilitas’ Orde Baru menjadi sangat tidak relevan ketika Indonesia mengadopsi 
demokrasi. Jika umum yang dimaksud adalah ‘mayoritas’, maka mari ucapkan 
selamat tinggal pada demokrasi — dan lebih baik kita kembali pada zaman 
ke(tidak)bebasan berpendapat. Kenapa? Karena sudah menjadi keniscayaan bahwa 
demokrasi pasti penuh dengan hingar bingar yang sangat besar menimbulkan risiko 
akan “ketidaktertiban umum”. Pemaparan secara historis dan implementasi Pasal 
156 dijelaskan secara apik oleh Zainal Abidin Bagir di sini yang sangat saya 
rekomendasikan untuk dibaca. Saya kutip sedikit paparan menarik tulisan 
tersebut.

Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama 
sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun 
terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah 
Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau 
ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?

Saya rasa bukanlah kebetulan bahwa melonjaknya penggunaan pasal tersebut 
bersamaan dengan dimulainya era demokrasi di Indonesia. Seperti yang 
dicontohkan dalam tulisan tersebut, pasal ini selain rentan dimanfaatkan oleh 
kelompok mayoritas untuk menekan minoritas dengan dalih ‘mengganggu ketertiban 
umum’, juga sangat rentan dipolitisasi dalam konteks pemilu dan demokrasi.

Dengan pasal-pasal hukum seperti ini, jujur saya bingung bagaimana kebebasan 
berpendapat bisa beroperasi. Argumen yang sering saya dengar untuk mendukung 
pasal-pasal ini adalah: “Ya silahkan bebas berpendapat, tapi enggak boleh 
menyinggung perasaan dong”. Bagi yang berpendapat demikian, tolong beri tahu 
saya, bagaimana bisa bebas berpendapat tanpa menyinggung? Bagaimana menjamin 
bahwa guru saya tidak tersinggung ketika saya angkat tangan dan bicara di 
hadapan teman-teman sekelas “Pak/Bu, kayaknya rumus yang dipake salah deh, 
bukannya harusnya pakerumus yang ini?”. Apakah itu berarti saya harus diam 
tidak mengoreksi guru saya? Toh sesopan-sopannya saya mengoreksi beliau, kalau 
memang dia ‘baper’, dia akan tetap tersinggung juga. Atau bagaimana jika umat 
agama lain, wanita, ataupun pecinta musik merasa tersinggung ketika mendengar 
paparan dakwah Dr Zakir Naik? Atau ingat bagaimana sebuah gereja di Indonesia 
secara publik mengklaim bahwa minyak dan anggur mereka menyelamatkan dua 
keluarga dalam musibah Air Asia? Tentu adalah hak mereka untuk berdakwah maupun 
mengeluarkan pernyataan, tetapi apakah ada yang menjamin bahwa itu tidak 
menyinggung satu orang pun? Setahu saya, satu-satunya cara jika tidak ingin 
tersinggung, ya tidak perlu bebas berpendapat karena pendapat yang tidak 
menyinggung ya pasti hanya pendapat yang sesuai dengan keinginan si pendengar. 
Jadi bagi saya intinya simpel: jika tidak mau, atau takut tersinggung, ya 
jangan menggunakan sistem demokrasi.

“Penistaan Agama” dan Kebebasan Berpendapat
Lantas bagaimana kebebasan berpendapat dan “penistaan agama” seharusnya dalam 
alam demokrasi? Saya akan mengambil contoh dari Inggris karena kebetulan saya 
berkesempatan untuk tinggal di sana. Anjem Choudaryadalah seorang aktivis Islam 
di Inggris. Salah satu perannya adalah sebagai jubir gerakan Islam4UK . 
Dakwahnya kontroversial di UK, termasuk antara lain menyerukan istana 
Buckingham untuk diubah menjadi masjid, serta merayakan Natal adalah neraka 
hukumnya bagi umat. Dalam video pesan Natalnya, ia mengklaim bahwa “Jesus is 
Muslim and if he was alive today, he will lead the crusade to free Muslim land 
and implement sharia law across the world” .

Bayangkan, Choudary adalah seorang minoritas dan dia mengeluarkan seluruh 
pernyataannya di Inggris, sebuah negara Kristen Anglikan. Tetapi, selama dua 
dekade dia bebas berdakwah di masjid-masjid Inggris. Malahan, dia diberikan 
ruang oleh media massa mainstream untuk berbicara — cek wawancara Choudary 
dengan BBC pada tahun 2010 tentang bagaimana dia menyerukan pendirian khalifah 
dan penetapan hukum syariah di Inggris. Choudary memang akhirnya ditangkap 2016 
lalu setelah dia secara terang-terangan mendukung ISIS, sehingga dia dijerat 
dengan pasal terorisme. Organisasi Islam4UK pun dibekukan karena dianggap 
sebagai organisasi teror. Namun, bahkan setelah segala proses hukum tersebut, 
masih ada yang membela Choudary atas dasar kebebasan berpendapat dan itu dimuat 
di Guardian, sebuah koran ternama di Inggris.

Mari kita bayangkan figur seperti Choudary dengan konteks Indonesia. Dia datang 
dari kelompok minoritas, grasak-grusuk menyerukan Istana Negara diubah menjadi 
gereja/vihara/pura, menyerukan bahwa neraka hukumnya merayakan Idul Fitri, dan 
berkata bahwa “Nabi Isa adalah orang Kristen/Yahudi/Buddha”. Saya yakin, dia 
akan dikenakan pasal berlapis: penistaan agama, perbuatan tidak menyenangkan, 
penistaan negara, dan lain-lain — itupun kalau dia beruntung tidak ‘digebukin 
massa’ seperti pengikut Ahmadiyah.

Jika Choudary adalah contoh dari ruang publik yang tidak bersifat politik arus 
utama di Inggris, lantas bagaimana implementasi kebebasan berpendapat dan 
‘penistaan agama’ dalam dunia politik? Di Amerika kita melihat munculnya Donald 
Trump menjadi kandidat presiden. Tentu semua sudah familiar dengan 
pernyataannya yang kontroversial terhadap kelompok Islam, Hispanik, dan 
perempuan di Amerika — atau cibirannya terhadap lawan politiknya seperti 
Hillary Clinton, Megyn Kelly, hingga Bill Clinton. Pernahkah kita mendengar 
salah satu dari kelompok yang disinggung Trump menuntut seorang Donald Trump 
untuk dipidana?

Lantas kenapa kita tidak mendengar suara yang menuntut hukum pidana baik untuk 
Chaudary ataupun Trump? Bagi saya, ketiadaan polemik tersebut tidak langsung 
berkaitan dengan kedewasaan berdemokrasi maupun pendidikan politik seseorang. 
Jawabannya bagi saya simpel: hukum di Amerika dan di Inggris tidak banyak 
memberikan pilihan untuk mempidanakan seseorang karena ucapannya. Di kedua 
negara tersebut tidak ada pasal ajaib yang berseberangan dengan kebebasan 
berpendapat, seperti pasal ‘penistaan’ atau ‘pencemaran nama baik’ atau 
‘perbuatan tidak menyenangkan’. Meskipun perlu dicatat bahwa berbeda dengan 
Inggris yang memiliki hukum tentang hate speech, di Amerika Serikat tidak ada 
hukum yang mengatur hate speech. Kalau ada pasal-pasal ‘ajaib’ tersebut di 
Amerika, saya yakin, Hillary tidak akan ragu-ragu memobilisasi massa dan 
membiayai proses hukum ‘penistaan’ yang dilakukan oleh Trump. Jika pasal 
tersebut berlaku di Inggris, organisasi sayap kanan seperti kelompok UKIP di 
Inggris pun pasti tidak akan segan-segan memperjuangkan proses hukum terhadap 
Chaudary. (Note: Bagi yang belum familiar dengan politik Inggris dan posisi 
UKIP, bisa membaca bagaimana mereka berusaha untuk melarang daging halal di 
Inggris). Jika orang Amerika atau orang Inggris merasa tidak suka apa yang 
dikatakan Trump atau Choudary, maka turun ke jalan menjadi salah satu opsi. 
Opsi lainnya adalah menuliskan balasan argumen dalam blog, petisi, atau surat 
kabar karena dalam koridor demokrasi, tidak ada pilihan lainnya.

Bagi saya, contoh-contoh di atas baru bisa menunjukan esensi demokrasi yang 
tidak setengah hati. Semua orang dijamin oleh hukum untuk punya ruang untuk 
berpendapat APAPUN tentang APAPUN, tanpa harus takut untuk mengalami proses 
hukum pidana dalam penyampaian pikirannya . Ya, termasuk setolol, 
semenyakitkan, sekurang ajar apapun (kita pikir) pendapat tersebut. Hukum ini 
juga selayaknya melindungi hak orang Indonesia yang mengomentari politik 
Amerika — meskipun mungkin belum pernah sekalipun pergi ke Amerika, ataupun 
mengomentari agama X — meskipun bukan penganut agama X, ataupun ‘sotoy’ 
berpendapat tentang politik — meskipun bukan ahli politik.

Harapan untuk Menuju Demokrasi yang Tidak Setengah Hati
Kesalahan berpikir yang paling sering terjadi ketika menerapkan demokrasi 
adalah keniscayaan lahirnya sebuah kondisi yang liberal, sekuler, pluralisme, 
serta toleran. Padahal demokrasi juga sama artinya dengan memberikan ruang yang 
sama luasnya bagi pemikiran konservatif dan radikal untuk tumbuh. Bagi yang 
senang menuding dan melabel Aksi Bela Islam sebagai aksi kelompok Islam 
“radikal’ ataupun “garis keras”, harus legowo karena memang suka tidak suka 
gerakan ini lahir dari rahim demokrasi. Begitu pula kaum Islam politik yang 
kerap menuding paham liberal sebagai salah satu konsekuensi dari demokrasi. 
Tanpa adopsi “produk impor” dari Barat yang bernama demokrasi ini, sama sekali 
tidak terbayangkan oleh orang Indonesia, termasuk kelompok Islam politik, untuk 
melakukan aksi turun ke jalan seperti aksi 4 November lalu. Tidak perlu saya 
ingatkan bagaimana zaman Orde Baru menutup ruang untuk berbeda pendapat dengan 
penguasa, yang juga menutup ruang bersuara kelompok politik Islam.

Hal yang sama-sama perlu kita ingat adalah kebebasan berpendapat itu berarti 
bukan hanya sebatas menerima pendapat yang membuat kita nyaman seperti 
“Pancasila adalah dasar negara”, “Bhinneka Tunggal Ika harga mati” dan “Tuhan 
itu Esa”. Tetapi juga selayaknya menerima pendapat yang tidak membuat kita 
nyaman seperti “bumi itu datar”, “Obama itu Islam”, “[sebutkan kitab agama] itu 
kitab palsu”, “Pancasila harus diganti dengan [masukan ideologi lain di sini]”, 
“terapkan khalifah di Indonesia”, “komunis adalah ideologi terbaik untuk 
Indonesia” hingga “jangan mau dibohongi orang pakai surat Al Maidah”. Tentunya 
ini juga termasuk menghargai adanya ormas yang sangat berseberangan dengan 
paham kita, seperti menerima keberadaan Jaringan Islam Liberal, Syiah, Lia 
Eden, Ahmadiyah, Saksi Yehova, kelompok adat dan aliran kepercayaan, maupun 
keberadaan FPI sebagai bagian dari pluralisme di Indonesia.

Namun tentunya, skenario diatas hanya mungkin bisa terjadi jika pasal-pasal 
karet seperti Pasal 156 dihilangkan dari hukum Indonesia. Itupun kalau [masih] 
sepakat untuk menggunakan demokrasi sebagai sistem untuk kehidupan 
bermasyarakat dan bernegara. Pertanyaannya, siapkah Indonesia mengalami 
perubahan [radikal] tersebut? Atau jangan-jangan kita semua masih bermental 
rezim diktator: “gue gak suka karena dia beda sama gue”, “dia pahamnya sesat, 
enggak boleh ada”, atau masuk dalam kategori diktator selektif seperti “gue 
siap kok menerima perbedaan — asal dia gak beda jauh-jauh amat sama gue”. Bagi 
yang berpikir demikian, bisa jadi demokrasi mungkin bukan pilihan yang tepat 
untuk Anda. Siapa bilang demokrasi itu gampang?

Satu hal yang pasti, jika hukum seperti Pasal 156 yang sejatinya berlawanan 
dengan napas demokrasi tetap dipertahankan, maka jangan heran jika polemik 
SARA/politik/pidana akan terus mendera Indonesia. Ini akan menjadi beban berat 
masyarakat kita pada setiap tahun politik. Mayoritas akan terus menunjukan taji 
dan minoritas akan merasa terus dimarjinalkan- karena merasa tidak diperlakukan 
adil oleh hukum. Ini menurut hemat saya, akan menjadi sangat berbahaya untuk 
Indonesia karena gesekan ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok politis atau 
oknum-oknum lainnya. Kekhawatiran ini menjadi semakin relevan terutama jika 
kita masih menggunakan demokrasi langsung dalam pemilu. Sentimen golongan dan 
politik identitas dengan sendirinya akan semakin sering dimainkan oleh para 
politisi untuk mencapai kekuasaan. Pertanyaannya adalah apakah rakyat Indonesia 
siap untuk menghadapi itu semua? Pada akhirnya, semua kembali kepada pilihan 
rakyat Indonesia. Semoga Indonesia semakin dewasa berdemokrasi (kalau memang 
masih mau demokrasi) dan tetap aman.
   


Kirim email ke