Dalam setiap profesi yang berhubungan dengan public dan membutuhkan licensing 
di US ada continuing education sekian [puluh/ratus] jam setiap tahunnya yg 
merupakan requirement utk memperpanjang license, penitik beratan pada 
continuing education itu pada ethics yg merupakan wajib harus diambil selain 
beberapa electives yang lain. Kelihatannya di Indonesia ethics ini tidak begitu 
penting, gampang saja diabaikan. Terutama dgn pendekatan kekuatan/kekuasaan. 
Terlihat dari komentar bapak KASAD dibawah, maklumlah Dr. dr. Terawan adalah 
Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.---
Kepala Staf Angkatan Darat Mulyono menegaskan posisi TNI AD dalam kasus dokter 
Terawan. Ia mengatakan membela Terawan karena menganggapnya benar. “Bela saja 
sepanjang bagus,” katanya. 

Ia juga menyinggung selama ini IDI tidak pernah berkomunikasi dengan TNI AD.. 
"Wong IDI enggak pernah komunikasi ke saya. Dia main tembak-tembak sendiri. 
Memangnya siapa?" katanya, lagi. 

Pernyataan Mulyono bukan pada tempatnya. Sebab, tak ada hubungan secara profesi 
mengenai perkara etika antara Terawan sebagai dokter dan IDI dengan TNI AD. 
Menjadi hak IDI untuk memberikan sanksi pada anggotanya sesuai aturan 
organisasi. 

....
Yang Tidak Dipahami Para Pendukung Dokter Terawan


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
tirto-id

Jernih Mengalir Mencerahkan
 |

 |

 |





Ilustrasi: terapi Terawan yang kontroversial didukung oleh banyak politikus.. 
Tirto/Lugas
9 April 2018Dibaca Normal 2 menitMantan pasien dokter Terawan angkat suara 
memberikan dukungan. Tapi, apakah ini perlu?tirto.id - Surat keputusan Majelis 
Kehormatan Etik Kedokteran IDI tentang rekomendasi pemecatan dr. Terawan Agus 
Putranto mendapat respons dari publik dan mantan pasiennya. Di Twitter, muncul 
tagar #SaveDokterTerawan, yang turut diramaikan oleh sejumlah politikus. 

Aburizal Bakrie, politikus Golkar, mengunggah testimoninya dan mengaku sebagai 
salah satu pasien dokter Terawan yang sudah merasakan khasiat "brainwash". 

“Ramai diberitakan kabar kepala RSPAD Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto 
diberhentikan oleh IDI dengan alasan etik. Metode “cuci otak”nya 
dipermasalahkan, padahal dengan itu dia telah menolong baik mencegah maupun 
mengobati puluhan ribu orang penderita stroke,” tulis Bakrie pada 3 April lalu. 
(Esok harinya, Bakrie mengunggah alasannya lebih lengkap di blog dia, "Membela 
Dokter Terawan".)

Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, juga ikut berkomentar. Ia 
membuat video berdurasi 8:34 menit menanggapi surat keputusan dari Majelis Etik 
Ikatan Dokter Indonesia. Sebagai dokter kepresidenan, Yudhoyono tentu termasuk 
yang pernah berobat pada Terawan. 

“Kalau MKEK mempersoalkan dokter Terawan karena teknologi yang dikenal dengan 
DSA (Digital Subtraction Angiography) tidak termasuk atau belum masuk 
mainstreamtreatment yang dikenal di dunia kedokteran, menurut saya tidak 
langsung lantas itu dianggap melanggar etik kalau itu yang di persoalkan, 
kecuali ada yang lain,” katanya. 

Tak hanya dua politikus kawakan, Prabowo Subianto, Dahlan Iskan, hingga para 
politisi di DPR ramai-ramai buka suara soal dokter Terawan. Sebagian besar 
memberikan testimoni. 

Prabowo, misalnya, mengatakan bisa tahan pidato 3 jam karena dokter Terawan.. 
Dahlan Iskan bahkan pernah membuat tulisan khusus pengalamannya diobati dengan 
brainwash. Politikus PDI Perjuangan Dewi Aryani juga memberikan dukungan kepada 
Terawan dan menyesalkan kabar pemecatan itu. 

Baca juga: Bisakah Testimoni Pasien Selamatkan Dokter Terawan dari Pemecatan?
Para politikus dari Komisi I DPR, yang tak ada sangkut pautnya mengurusi bidang 
kesehatan, bahkan melawat secara khusus ke RSPAD Gatot Soebroto, tempat Terawan 
bertugas sebagai kepala rumah sakit tersebut. Para politikus itu memberikan 
dukungan moral. 

Ketua Komisi I, Abdul Kharis Almasyhari dari PKS, mengatakan kedatangan mereka 
ke RSPAD pada 5 April pekan lalu lantaran RSPAD adalah "mitra" Komisi I.. 

“Mereka dibiayai menggunakan APBN. Terus kalau kepala rumah sakitnya dijatuhi 
sanksi seperti ini, tentu kami harus memberikan dukungan moral pada kepala 
rumah sakitnya,” kata Kharis. 

Dukungan dan komentar dari para mantan pasien dan pendukung dokter Terawan 
tentu tidak salah. Tetapi, komentar mereka justru menunjukkan ketidakpahaman 
atas masalah yang sedang terjadi. Mereka berkomentar tentang pengobatan 
'brainwash' yang dilakukan Terawan, tetapi sebenarnya bukan itu yang 
dipermasalahkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI. Merujuk pada 
putusan Majelis, masalah Terawan adalah masalah etik. 




Membedakan Etik dan Disiplin
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K), 
menjelaskan ada tiga hal dalam dunia kedokteran, yang harus dipatuhi oleh 
seorang dokter: etika, disiplin, dan hukum. 

“Jika seorang dokter melakukan pelanggaran etika, maka IDI melalui MKEK yang 
berwenang. Kalau pelanggaran disiplin, menjadi kewenangan KKI untuk memberikan 
pembinaan. Kalau soal hukum, tentu saja ke polisi. Dalam kasus dokter T ini, 
masalahnya etik,” kata Bambang kepada Tirto, 5 April pekan lalu. 

Bambang mengatakan pelanggaran etik mengenai perilaku seorang dokter. Sedangkan 
pelanggaran disiplin lebih dikenal masyarakat dengan sebutan malapraktik. 
Pelanggaran disiplin terkait keilmuan kedokteran. 

Dalam kasus dokter Terawan, dua hal soal etik dan disiplin harus dipilah, 
menurut Bambang. Metode brainwash adalah soal disiplin keilmuan, sementara cara 
promosi yang dilakukan Terawan adalah masalah etika. 

Namun, para pendukung dokter Terawan mencampuradukkan dua hal ini sehingga 
menimbulkan polemik. Padahal Majelis hanya memutuskan persoalan etik, yakni 
cara Terawan mempromosikan brainwash. Sedangkan untuk metode keilmuan 
brainwashtak dipersoalkan oleh Majelis sebab menjadi wewenang Konsil Kedokteran 
Indonesia. 

“Untuk pelanggaran disiplin, syaratnya harus ada aduan. Dalam kasus dokter 
Terawan, bisa jadi ada pelanggaran disiplin, kalau memang ada, MKEK bisa lapor 
ke kami,” ujar Bambang. 

Untuk menentukan apakah metode brainwash dokter Terawan melanggar disiplin atau 
tidak, menurut Bambang, membutuhkan proses cukup panjang. Metode ini harus 
diuji secara ilmiah dan melalui prosedur pengujian pada binatang sebelum 
diterapkan pada manusia. Kolegium dokter radiologi, yang sesuai bidang keilmuan 
dokter Terawan, akan menentukan apakah terapi brainwash bisa dipraktikkan atau 
tidak. Proses inilah yang selama ini belum dilakukan oleh dokter Terawan. 

Baca juga: Menkes Minta Masalah Dokter Terawan Diselesaikan Secara Internal

Potensi ada Intervensi Politik ke IDI
Munculnya dukung-dukungan dari para politikus dan tokoh-tokoh berpengaruh 
rentan membuat IDI, sebagai organisasi profesi yang independen, dalam sorotan 
intervensi. 

Kepala Staf Angkatan Darat Mulyono menegaskan posisi TNI AD dalam kasus dokter 
Terawan. Ia mengatakan membela Terawan karena menganggapnya benar. “Bela saja 
sepanjang bagus,” katanya. 

Ia juga menyinggung selama ini IDI tidak pernah berkomunikasi dengan TNI AD.. 
"Wong IDI enggak pernah komunikasi ke saya. Dia main tembak-tembak sendiri. 
Memangnya siapa?" katanya, lagi. 

Pernyataan Mulyono bukan pada tempatnya. Sebab, tak ada hubungan secara profesi 
mengenai perkara etika antara Terawan sebagai dokter dan IDI dengan TNI AD. 
Menjadi hak IDI untuk memberikan sanksi pada anggotanya sesuai aturan 
organisasi. 

Intervensi ini terlihat pula ketika DPR meributkan keputusan IDI. Selain Komisi 
I, Komisi IX DPR—yang menangani kesehatan—juga berencana memanggil anggota 
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, RSPAD Gatot Soebroto, dokter Terawan, dan 
Konsil Kedokteran Indonesia. 

Dede Yusuf, Ketua Komisi IX, mengatakan pemanggilan ini untuk mencari 
penjelasan perihal pemecatan Dokter Terawan. "Etika ini [parlemen] tidak 
mengerti. Buat rakyat, yang penting memberi manfaat atau tidak, sembuh atau 
tidak. Kalau ini masalah malapraktik, ya [ranah] hukum. Kalau etik, yang paham 
dokter sendiri," ujar Dede.
Baca juga artikel terkait KASUS DOKTER TERAWAN atau tulisan menarik lainnyaMawa 
Kresna
(tirto.id - Kesehatan) 

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam

Kirim email ke