Berikut ini saya kutip bagian penting dari sambutan oleh UN High 
Commissioner:
 
QUOTE:
 
" ... pembangunan dapat memberikan akses untuk barang dan jasa fundamental 
yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.Tetapi kalau mereka 
tidak dapat menyuarakan kekhawatiran mereka dan turut terlibat dalam 
pengambilan keputusan, pembangunan yang dihasilkan tidak akan memperbaiki 
kesejahteraan mereka. Saya mendesak Pemerintah Indonesia dan perusahaan 
yang terlibat dalam ekstraksi sumber daya alam, perkebunan dan usaha 
perikanan skala besar, untuk mematuhi UN Guiding Principles on Business and 
Human Rights dengan memastikan agar kegiatan bisnis tidak dilakukan dengan 
melanggar hak-hak masyarakat. Saya juga memohon kepada Pemerintah untuk 
memastikan perlindungan bagi para pejuang HAM, khususnya bagi mereka yang 
terlibat dalam melakukan advokasi isu lahan dan lingkungan dan memastikan 
bahwa mereka tidak dihukum atau dipersekusi saat mereka mempraktekkan hak 
kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan damai.   .....
 
Indonesia masih terjebak pada tahun 1965 – tidak dapat memperhitungkan 
kejadian mengerikan tersebut, pembunuhan terhadap sekurangnya 500.000 orang 
yang dituduh komunis, dan penahanan terhadap lebih banyak lagi. Tapi ini 
bisa dilakukan – melalui pemberitaan, rekonsiliasi, investigasi dan 
penuntutan kebenaran. Lembaga HAM nasional, KOMNAS HAM, telah menyoroti 
sembilan kasus utama pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus 
diselesaikan, antara 1965 dan 2003. Saya mendesak Jaksa Agung untuk 
menangani kasus-kasus ini, khususnya dengan membawa pelaku ke pengadilan 
dan memprioritaskan pemberian ganti rugi yang sudah lama tertunda kepada 
para korban. .... "
 
A.H.
---------------------------
 
 
 
-----Original-Nachricht-----
Betreff: [temu_eropa] WG: [GELORA45] Kata sambutan oleh UN High 
Commissioner
Datum: 2018-02-08T11:35:56+0100
Von: "'arif.hars...@t-online.de' arif.hars...@t-online.de [temu_eropa]" 
<temu_er...@yahoogroups.com>
An: "temu_eropa" <temu_er...@yahoogroups.com>
 
 
 


  
https://mail.google.com/mail/#inbox/16173cba24929656?compose=16174dd03e31ea07
<https://mail.google.com/mail/#inbox/16173cba24929656?compose=16174dd03e31ea07>
 
Kata Sambutan oleh UN High Commissioner for Human Rights (KTHAM/Komisi 
Tinggi Hak Asasi Manusia) Zeid Ra’ad Al Hussein pada Konferensi Pers untuk 
Misi Kunjungannya ke Indonesia
 
Jakarta, 7 Februari 2018 
Selamat pagi dan terima kasih atas kedatangan Anda.
 
Saya ingin memulai dengan mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko 
Widodo dan Pemerintah Republik Indonesia yang telah mengundang kami untuk 
mengunjungi negara yang luar biasa dan beragam ini. Undangan kepada kami 
dengan sendirinya membuktikan keseriusan sebuah Negara dalam memenuhi 
kewajibannya atas Hak Asasi Manusia. Hal ini menunjukkan keterbukaan untuk 
melakukan dialog membangun dan kemauan untuk bekerja sama guna memastikan 
dukungan dan perlindungan HAM bagi semua. Semua Negara memiliki kewajiban 
HAM dan banyak Negara yang telah mencapai hal-hal yang luar biasa. Meskipun 
demikian, semua negara, tanpa terkecuali, memiliki tantangan-tantangan HAM 
yang harus mereka hadapi.
 
Selama masa kunjungan saya, saya telah mendengarkan dengan seksama 
suara-suara dari berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Saya mendapat 
kehormatan untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan beberapa pejabat 
tinggi negara, Lembaga HAM Nasional dan anggota masyarakat sipil yang 
terlibat dalam berbagai isu di Negara kepulauan luas yang terdiri dari 
17,000 pulau ini.
 
Saya juga berterima kasih atas kehadiran para perwakilan masyarakat yang 
dinamis dan tangguh, beberapa diantaranya harus menempuh perjalanan jauh 
untuk berbagi pengalaman dan menyampaikan suara mereka demi memperjuangkan 
hak-hak mereka dan masyarakat yang diwakilinya. Ibu petani yang berbicara 
tentang hak atas tanah dan kekhawatiran akan kehilangan tanahnya karena 
industri ekstraktif. Seorang ayah dari Papua yang putranya ditembak. Istri 
dari seorang pejuang HAM yang meninggal karena diracun pada tahun 2004, 
namun pelakunya masih belum ditangkap dan diadili. Para penganut keyakinan 
minoritas yang menginginkan tempat untuk beribadah. Seorang ibu yang, 
setelah 20 tahun kehilangan putranya karena kekerasan tahun 1998 di 
Yogyakarta, masih sangat merindukan anaknya. Seorang ibu sepuh yang 
memperjuangkan keadilan 53 tahun setelah beliau dipenjarakan dan dicap 
sebagai “komunis” selama tragedi 1965. Dan seorang pengacara yang 
menyaksikan secara langsung ketidakadilan hukum dalam pemberian hukuman 
mati. Mereka semua meminta saya untuk menyampaikan suara-suara mereka, dan 
saya berterima kasih atas keuletan dan ketabahan mereka, dan saya kagum 
atas keberanian mereka. Saya telah meneruskan semua situasi yang mereka 
sampaikan dalam pertemuan saya dengan Pemerintah dan saya akan segera 
memberikan pandangan serta rekomendasi saya.
 
Tetapi pertama-tama, marilah kita melihat terlebih dahulu apa-apa saja yang 
telah dicapai oleh rakyat Indonesia. Indonesia telah berkembang cukup pesat 
dalam waktu singkat. Setelah merdeka dari penjajahan kolonial selama 300 
tahun, diikuti dengan puluhan tahun pembatasan kebebasan sipil, Indonesia 
telah, sejak tahun 1998, berhasil melakukan transisi demokrasi dan 
memperkuatnya dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Saat ini, Indonesia 
adalah salah satu Negara paling progresif di kawasan dalam HAM. 
Keterlibatan aktif Indonesia dalam kondisi buruk yang dialami Muslim 
Rohingya patut dipuji dan sangat diperlukan.
 
Pemerintah telah menyambut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta 
menyertakannya dalam Rencana Aksi HAM Nasional. Indonesia juga telah 
mencapai kemajuan cukup besar dalam mewujudkan hak atas Kesehatan serta 
memperluas cakupan kesehatan universal (Universal Health Coverage). Negara 
juga telah menyediakan ruang dan sumber daya bagi Komnas HAM dan Komnas 
Perempuan untuk menjadi Lembaga HAM nasional yang kuat dan independen. Saya 
menganjurkan Pemerintah untuk memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi 
penting yang dibuat oleh Lembaga-lembaga ini agar diimplementasikan.
 
Ada dua draf legislasi penting yang telah diajukan ke parlemen untuk 
mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan untuk memberikan 
perlindungan yang diperlukan oleh para korban kekerasan seksual dan 
kekerasan berbasis gender. Saya mendesak parlemen untuk segera mensahkan 
draf undang-undang penting ini.
 
Indonesia telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama 
beberapa tahun terakhir dan memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia, 
tetapi tidak semua rakyatnya ikut menikmati hasil kekayaan ini. Tolak ukur 
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya ditekankan pada dampaknya 
terhadap masyarakat yang paling rentan, dimulai dari mereka yang paling 
kekurangan. Presiden telah melakukan banyak langkah positif untuk mencapai 
keadilan sosial, namun masih ada kesenjangan serius dalam perlindungan 
hak-hak ekonomi dan sosial bagi rakyat Indonesia. Kondisi gizi buruk yang 
parah dilaporkan terjadi di wilayah terpencil di negara ini, termasuk di 
dataran tinggi Papua, dan masih banyak yang menderita dalam kemiskinan dan 
penyakit yang dapat dicegah.
 
Aktor masyarakat sipil telah menyampaikan kepada kami bahwa, dari Sumatra 
hingga Papua, pertambangan dan penebangan hutan yang dilakukan 
perusahaan-perusahaan besar telah menjadi penyebab utama pelanggaran HAM 
terhadap para petani, pekerja dan masyarakat adat. Secara luas, 
proyek-proyek ini telah disetujui dan dilaksanakan tanpa melakukan 
konsultasi yang berarti dengan unsur masyarakat lokal. Perampasan tanah, 
kerusakan lingkungan dan pencemaran sumber air telah menyebabkan munculnya 
bahaya kesehatan. Setelah kehilangan sumber daya alam mereka karena ulah 
perusahaan yang memiliki kekuasaan besar, masyarakat menyampaikan kepada 
saya tentang rasa frustrasi mereka. Sebuah dialog inklusif dan konsultasi 
mengenai proyek-proyek demikian sangat diperlukan dan seharusnya tidak 
dilakukan tanpa persetujuan bebas, adil dan diinformasikan dengan baik 
kepada masyarakat yang terdampak. Perkiraan Organisasi Masyarakat Sipil 
menyebutkan hampir 200 pejuang tanah dan lingkungan, tengah menghadapi 
tuntutan hukum hingga bulan Agustus tahun lalu.
 
Seperti yang telah saya sampaikan dalam konferensi HAM regional Jakarta 
Conversation hari Senin lalu, pembangunan dapat memberikan akses untuk 
barang dan jasa fundamental yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat 
luas. Tetapi kalau mereka tidak dapat menyuarakan kekhawatiran mereka dan 
turut terlibat dalam pengambilan keputusan, pembangunan yang dihasilkan 
tidak akan memperbaiki kesejahteraan mereka. Saya mendesak Pemerintah 
Indonesia dan perusahaan yang terlibat dalam ekstraksi sumber daya alam, 
perkebunan dan usaha perikanan skala besar, untuk mematuhi UN Guiding 
Principles on Business and Human Rights dengan memastikan agar kegiatan 
bisnis tidak dilakukan dengan melanggar hak-hak masyarakat. Saya juga 
memohon kepada Pemerintah untuk memastikan perlindungan bagi para pejuang 
HAM, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam melakukan advokasi isu lahan 
dan lingkungan dan memastikan bahwa mereka tidak dihukum atau dipersekusi 
saat mereka mempraktekkan hak kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan 
damai.
 
Saya juga prihatin atas meningkatnya laporan mengenai penggunaan kekuatan 
yang berlebihan oleh petugas keamanan, pelecehan, penangkapan 
sewenang-wenang dan penahanan yang terjadi di Papua.
 
Saya sangat prihatin dengan diskusi mengenai revisi KUHP.
 
Diskusi ini tidak sejalan dengan berbagai jenis intoleransi yang tidak 
sesuai dengan budaya Indonesia yang telah berlangsung disini. Pandangan 
ekstremis yang dimainkan di arena politik sangat mengkhawatirkan, disertai 
dengan semakin meningkatnya hasutan terhadap diskriminasi, kebencian atau 
kekerasan di berbagai wilayah di negara ini, termasuk di Aceh.
 
Pada saat tengah menikmati keuntungan atas demokrasi, kami mendesak 
masyarakat Indonesia untuk maju - bukan mundur – dalam hal hak asasi 
manusia dan menolak upaya untuk mengizinkan bentuk diskriminasi baru dalam 
undang-undang. Karena amandemen yang diusulkan ini, akan menyebabkan 
kriminalisasi terhadap sebagian besar masyarakat miskin dan terpinggirkan, 
yang pada dasarnya sudah rentan terhadap diskriminasi. LGBTI Indonesia 
sudah menghadapi stigma, ancaman dan meningkatnya intimidasi. Retorika 
kebencian terhadap komunitas ini sering dimanfaatkan untuk tujuan politik 
yang sinis dan hanya akan memperdalam penderitaan mereka serta menciptakan 
perpecahan yang tidak perlu.
 
Selain itu, jika peraturan KUHP diubah dengan beberapa ketentuan yang lebih 
diskriminatif, hal itu akan sangat menghambat usaha Pemerintah untuk 
mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan bertentangan dengan 
kewajiban hak asasi manusia internasional. Pada kesempatan yang sama, saya 
juga telah menyatakan keprihatinan saya kepada Pemerintah tentang penerapan 
undang-undang penistaan agama yang tidak jelas, yang telah digunakan untuk 
menghukum anggota kelompok agama atau agama minoritas.
 
 
Jika kita mengharapkan untuk tidak didiskriminasikan berdasarkan 
kepercayaan, warna kulit, ras atau jenis kelamin, jika masyarakat Muslim 
mengharapkan orang lain untuk melawan Islamofobia, kita juga harus siap 
untuk mengakhiri diskriminasi di Negara sendiri. Islamofobia jelas salah. 
Diskriminasi atas dasar keyakinan dan warna kulit itu salah. Diskriminasi 
berdasarkan orientasi seksual atau status lainnya juga salah.
 
Tahun lalu Kantor saya mengundang para pemuka agama dan tokoh masyarakat 
berbasis agama dan masyarakat beragama lainnya di Beirut yang menyampaikan 
kerangka “Faith for Rights” atau "Iman untuk Hak Asasi Manusia " untuk 
menetapkan peran "Agama dan Keyakinan" dalam membela "Hak". Deklarasi Faith 
for Rights ini mengacu pada komitmen bersama dalam semua agama dan 
kepercayaan untuk "menegakkan martabat dan nilai yang setara untuk semua 
manusia". Ini menegaskan bahwa "kekerasan atas nama agama tidak sesuai 
dengan dasar ajaran agama, belas kasih dan cinta", sesuai dengan Pasal 1 
dalam Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia dan menetapkan tanggung 
jawab bagi komunitas keagamaan, pemimpin dan pengikut mereka untuk 
memastikan bahwa tidak ada yang mengalami diskriminasi oleh siapapun.
 
Perlunya untuk menegakkan martabat semua manusia juga penting dalam 
menangani masalah-masalah sulit terkait kejahatan narkoba. Narkoba dapat 
merusak kehidupan individu, seluruh keluarga dan masyarakat. Namun 
menembaki orang yang diduga tersangka pelaku narkoba bukanlah cara terbaik 
untuk mengatasi masalah ini. Semua orang berhak mendapatkan proses 
peradilan yang adil. Semua tuduhan berlebihan, bahkan mematikan, penggunaan 
kekuatan terhadap tersangka pelaku narkoba juga perlu diselidiki. Tidak ada 
pengadilan yang luput dari kesalahan dan penelitian menunjukkan bahwa 
hukuman mati tidak efektif sebagai upaya pencegahan dan penggunaannya 
seringkali tidak proporsional terhadap masyarakat yang sudah kurang 
beruntung. Saya telah mendesak Pemerintah untuk menghentikan penggunaan 
hukuman mati terhadap mereka yang terbukti melakukan pelanggaran narkoba. 
Yurisprudensi hak asasi manusia telah berulang kali menegaskan bahwa 
kejahatan terkait narkoba tidak termasuk dalam kategori pelanggaran paling 
serius.
 
Saya juga ingin mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengambil 
langkah-langkah menuju akuntabilitas atas pelanggaran berat hak asasi 
manusia di masa lalu. Ini adalah usaha yang sulit namun penting.
 
Hampir semua negara memiliki kesulitan dalam menghadapi masa-masa kelam di 
masa lalu, tapi harus tetap dilakukan. Seperti yang dikatakan oleh seorang 
pejabat senior kepada saya, Indonesia masih terjebak pada tahun 1965 - 
tidak dapat memperhitungkan kejadian mengerikan tersebut, pembunuhan 
terhadap sekurangnya 500.000 orang yang dituduh komunis, dan penahanan 
terhadap lebih banyak lagi. Tapi ini bisa dilakukan - melalui pemberitaan, 
rekonsiliasi, investigasi dan penuntutan kebenaran. Lembaga HAM nasional, 
KOMNAS HAM, telah menyoroti sembilan kasus utama pelanggaran berat hak 
asasi manusia yang harus diselesaikan, antara 1965 dan 2003. Saya mendesak 
Jaksa Agung untuk menangani kasus-kasus ini, khususnya dengan membawa 
pelaku ke pengadilan dan memprioritaskan pemberian ganti rugi yang sudah 
lama tertunda kepada para korban.
 
 
Ketika pendahulu saya sebagai High Commissioner for Human Rights (KTHAM), 
Navi Pillay, mengunjungi Indonesia pada tahun 2012, beliau mengatakan bahwa 
beliau melihat sebuah negara yang menunjukkan harapan besar dalam mengubah 
dirinya menjadi sebuah demokrasi yang dinamis. Dalam banyak hal, Indonesia 
memenuhi janji ini, tapi tentu saja semua Negara memiliki kelemahan dan 
semuanya berjalan dalam proses, dan tidak terkecuali Negara ini. Ada awan 
gelap yang menggantung di cakrawala tapi saya didorong oleh momentum 
positif dan berharap akal sehat dan tradisi toleransi orang Indonesia yang 
kuat akan menang melawan populisme dan oportunisme politik.
 
Saya berharap dalam peringatan 70 Tahun Deklarasi Universal tentang Hak 
Asasi Manusia ini, Indonesia akan beralih dari kekuatan menjadi kekuatan 
dalam memajukan hak-hak masyarakatnya. Saya juga berharap kunjungan saya 
telah menjadi kesempatan untuk memperkuat kerja sama antara Kantor Saya 
dengan Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dalam diskusi kami selama dua 
hari terakhir, Pemerintah Indonesia mengundang kami untuk mengunjungi Papua 
dan kami akan segera mengirim misi. Saya ucapkan terima kasih kepada 
Pemerintah atas undangan ini.
 
Perwakilan saya di Kantor Regional Hak Asasi Manusia PBB di Bangkok akan 
terus menjalin kemitraan kami guna melakukan apa yang kami dapat lakukan 
untuk membantu Indonesia dalam mengkonsolidasikan dan mengembangkan capaian 
hak asasi manusianya.
 
Terima kasih.
 
SELESAI
 
Untuk keperluan media, silakan menghubungi
Di Jenewa: Rupert Colville (+41 22 917 9711 / rcolvi...@ohchr.org
<mailto:rcolvi...@ohchr.org> ) or Liz Throssell (+41 22 917 9466 / 
ethross...@ohchr.org <mailto:ethross...@ohchr.org> ).
Ikut dalam Rombongan High Commissioner: Ravina Shamdasani (+41 79 201 0115 
/ rshamdas...@ohchr.org <mailto:rshamdas...@ohchr.org> )
This year, 2018, is the 70th anniversary of the Universal Declaration of 
Human Rights, adopted by the UN on 10 December 1948. The Universal 
Declaration – translated into a world record 500 languages – is rooted in 
the principle that “all human beings are born free and equal in dignity and 
rights.” It remains relevant to everyone, every day. In honour of the 
70thanniversary of this extraordinarily influential document, and to 
prevent its vital principles from being eroded, we are urging people 
everywhere to Stand Up for Human Rights: www.standup4humanrights.org
<http://www.standup4humanrights.org> .
Tag and share - Twitter: @UNHumanRights <http://twitter.com/UNHumanRights> 
 and Facebook: unitednationshumanrights
<https://www.facebook.com/unitednationshumanrights>


 


 
Gesendet mit Telekom Mail <https://t-online.de/email-kostenlos> - kostenlos 
und sicher für alle!

 




<div style=\"border:0;border-bottom:1px solid black;width:100%;\"> 
Gesendet mit Telekom Mail <https://t-online.de/email-kostenlos> - kostenlos 
und sicher für alle!

Kirim email ke