----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: GELORA_In <gelor...@yahoogroups..com>Terkirim: Rabu, 14 Maret 2018 01.11.48 GMT+1Judul: [GELORA45] Kemiskinan tinggi, Tionghoa didiskriminasi
LAPORAN KHAS Kemiskinan tinggi, Tionghoa didiskriminasi Handoko, warga keturunan Tionghoa menggugat pemerintah Yogyakarta tentang hak kepemilikan tanah, Tapi upayanya kandas. https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/kemiskinan-tinggi-tionghoa-didiskriminasiSEBARAN Anang Zakaria 01:18 WIB - Minggu, 11 Maret 2018 Seorang warga melintas di depan mural bergambar wajah Presiden Abdurrahman Wahid di Kampung Kranggan Yogyakarta, Februari 2018. Kampung ini banyak dihuni warga keturunan Tionghoa. Beritagar.id / Anang Zakaria Di akta kelahiran namanya tercatat Li Chuan Shien. Ia lahir tahun 1950 saat Indonesia masih balita. Bapaknya tiba dari daratan Tiongkok sebelum masa kemerdekaan. Sementara ibunya, perempuan peranakan Tionghoa yang moyangnya sudah kawin mawin dengan orang Jawa sejak kolonialisme Belanda bercokol kuat di nusantara. Paska kudeta politik 1965, pemerintah Orde Baru mewajibkan warga keturunan Tionghoa mengindonesiakan namanya. Li Chuan Shien mengganti namanya menjadi Willie Sebastian. Meski peranakan Tionghoa, Willie (kini 67 tahun) tak bicara mandarin. Pada istri dan tiga anaknya, ia bicara bahasa Jawa. Pada orang kebanyakan, yang tak dikenalnya, keluarga ini bicara bahasa Indonesia. Bukan sekadar media berkomunikasi, Jawa dan Indonesia, bagi mereka adalah jati diri. "Ini tumpah darah saya," kata Willie, Kamis (8/3/2018). Identitas itu terusik pada 2002. Meski sejak lahir dan beranak-pinak di Jawa, ia merasa hidup tanpa kewarganegaraan. Cerita bermula saat ia mengikuti Proyek Operasi Nasional Agraria. Prona, begitu program pemerintah itu biasa disingkat, merupakan proses pensertifikatan tanah secara massal. Dalam prosesnya, Willie tak bisa mendapatkan sertifikat hak milik untuk 80 meter persegi tanah di Bogem, Sleman yang dibelinya pada 1998. Badan Pertanahan Nasional, institusi yang berwenang mengatur pertanahan di Indonesia, menyebut Willie hanya bisa mendapatkan hak guna bangunan. "Waktu itu saya bingung kenapa tak bisa dapat sertifikat hak milik," katanya, mengenang. Belakangan, terkuak pangkal persoalan datang dari Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY nomor K.898/I/A/1975 tentang penyeragaman policy pemberian hak atas tanah pada warganegara Indonesia non pribumi. Surat yang diteken Wakil Gubernur Paku Alam VIII pada 5 Maret 1975 itu memerintahkan, jika ada WNI non pribumi membeli tanah sebaiknya dilakukan proses pelepasan hak dari penjual. Setelah itu tanah dikuasai pemerintah DIY dan pembeli (non pribumi) mengajukan permohonan hak atas tanah pada pemerintah.. Willie, menurut surat itu, dikategorikan non pribumi. Bagi Willie, surat instruksi tahun 1975 sama artinya melegalkan diskriminasi rasial. "Bukankah sudah ada instruksi presiden yang melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi," katanya. Instruksi yang ia maksud adalah instruksi presiden nomor 26 tahun 1998. Surat instruksi yang diteken Presiden BJ Habibie pada 16 September 1998 itu memerintahkan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua proses perumusan dan penyelenggaraan pemerintahan. Menurut dia, tidak tepat menempatkan etnis tertentu sebagai pribumi dan etnis lain sebagai non pribumi. "Mungkin yang pribumi asli di sini ya itu manusia Sangiran," katanya, berkelakar. Handoko (35 tahun), seorang pengacara muda keturunan Tionghoa di Yogyakarta, menempuh beragam jalur hukum untuk menggugat surat intruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975. Namun semuanya kandas. | Anang Zakaria /Beritagar.id Mereka yang melawan diskriminasi Pada tahun 2010, dengan lembaga bentukannya, Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), Willie berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta agar diskriminasi rasial dalam proses pengurusan surat kepemilikan tanah itu dihapus. Permintaan itu mendapat balasan, presiden memerintahkan Badan Pertanahan Nasional tak membedakan layanan bagi warganegara. Toh, perintah presiden itu tak berdampak. Pada 8 Mei 2012, Sekretariat Daerah Pemerintah DIY berkukuh memberlakukan instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975. Alasannya, diskriminasi itu merupakan affimative policy untuk melindungi kepentingan ekonomi warga pribumi dari pemodal besar. Tak patah arang, dua tahun kemudian Granad berkirim surat pada Menteri Agraria, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Willie meminta agar negara segera menghentikan diskriminasi rasial itu. Satu dari lembaga negara itu, Komnas HAM, membalas surat Granad. Komnas merekomendasikan agar Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mencabut instruksi wakil kepala daerah tahun 1975 karena bertentangan dengan hak asasi manusia. Affirmative policy boleh-boleh saja. Tapi harus bertujuan memberi kesempatan kelompok yang terpinggirkan untuk mendapat kesetaraan. Semisal anak-anak, kaum perempuan, dan penyandang disabilitas. Pembatasan berdasarkan etnis seseorang tidak tepat karena tak semua warga keturunan Tionghoa tergolong pemodal kuat. "Semua saya kirimi surat," kata Willie. Impiannya sederhana tapi sulit terlaksana. "Saya cuma minta sesuai aturan." Willie dan Granad, sejatinya bukan yang pertama menggugat kebijakan diskrimanatif itu. Pada 2001, seorang muslim Tionghoa Budi Setyagraha pernah melakukannya lewat proses hukum. Tapi usahanya kandas. Kisah pelarangan bagi warga keturunan Tionghoa untuk mendapat hak kepemilikan tanah terjadi di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Bantul, pada 2013 ada seorang bernama Eni Kusumawati membeli dua bidang tanah di Ngestiharjo. Tapi dalam proses pengurusan surat tanah, BPN Bantul meminta Eni melepas kepemilikan hak atas tanah yang dibelinya untuk diserahkan pada negara. Sebagai gantinya, Eni ditawari mendapat hak guna bangunan. Di Kulonprogo, ada Veronika Lindayati (istri dari seorang warga keturunan Tionghoa Zealous Siput Lokasari) yang membeli sebidang tanah di Triharjo pada 2016. Sementara di Kota Yogyakarta ada Tan Susanto Tanuwijaya yang membeli tanah di Pandeyan, Umbulharjo. Sama seperti Eni di Bantul, Veronika dan Tan tak bisa mendapatkan surat kepemilikan dari Badan Pertanahan Nasional setempat. Kasus itu dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia. Dalam laporan akhir pemeriksaan yang dikeluarkan pada 9 Februari 2018 lalu, Ombudsman RI Perwakilan DIY menyebut Kepala BPN di ketiga daerah itu telah melakukan maladministrasi. Mereka melakukan diskriminasi layanan dan penyimpangan prosedur. "Kami beri waktu 30 hari untuk BPN menindaklanjuti," kata Kepala Ombudman RI Perwakilan DIY Budhi Masthuri, Rabu (7/3/2018). Jika tak ada tindak lanjut sepanjang tenggat yang diberikan, ia melanjutkan, laporan itu akan diserahkan ke Tim Resolusi Ombudsman RI Pusat untuk dibahas menjadi usulan rekomendasi. Terakhir, upaya menggugat kebijakan diskriminasi rasial itu dilakukan oleh Handoko, seorang pengacara muda keturunan Tionghoa asal Yogyakarta. Lelaki berusia 35 tahun itu melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta pada 7 September 2017. Ia menilai Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tetap memberlakukan surat instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975. Menurut Handoko, keduanya melanggar Pasal 28 I [2] UUD 1945 karena telah mendiskriminasi warganegara dan Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 tentang pelarangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tahun 1975 itu pun dinilai tak sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960. Setelah menjalani proses persidangan selama 6 bulan, Majelis Hakim yang diketuai Hendro Cokro Mukti dan beranggotakan Sri Harsiwi dan Nuryanto, menolak gugatan Handoko pada 20 Februari 2018. Hakim berpendapat, surat instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 bukan produk perundang-undangan. Sehingga tak bisa diuji dengan peraturan yang lebih tinggi. Alasan lainnya, pengujian kebijakan hanya bisa dilakukan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Sanksi hukum tak berlaku dalam kasus pelanggaran asas ini. Pemerintahan yang tak baik hanya menjadikan pemerintahan dianggap tak terpercaya. Kepala Bagian Hukum DIY Adi Bayu Kristanto yang hadir mewakili pemerintah dalam persidangan itu mengaku puas dengan putusan hakim itu. Tapi Direktur Indonesian Court Monitoring, lembaga non pemerintah pemantau peradilan, Tri Wahyu melihat kejanggalan dalam putusan hakim. "Diskriminasi kepemilikan tanah itu kan justru bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik," kata Wahyu. Setelah bersidang selama 6 bulan, Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan Handoko, 20 Februari 2018. Majelis hakim berpendapat surat intruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 bukan produk perundang-undangan sehingga tak bisa diuji dengan undang-undang yang lebih tinggi. | Anang Zakaria /Beritagar.id Menurut dia, pemerintahan yang baik adalah yang menerapkan asas ketidakberpihakan, terbuka, dan bertindak untuk kepentingan umum. Pasal 10 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan pun mengamanatkan asas pemerintahan yang baik harus diterapkan tanpa diskriminasi. "Kami akan sampaikan kejanggalan itu ke Komisi Yudisial," katanya. Gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta adalah langkah hukum ketiga Handoko melawan diskriminasi rasial di Yogyakarta. Langkah pertamanya berlangsung pada 2015, ia mengajukan uji materi instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 ke Mahkamah Agung. Mahkamah menolak dengan alasan instruksi bukan produk perundang-undangan. Tak putus asa, Handoko melangkah ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Yogyakarta pada 2016. Lagi-lagi, upayanya hukum kandas. Pengadilan berdalih tak berwenang mengadili. Dua kekalahan di pengadilan itulah yang mendorongnya melayangkan gugatan ke PN Yogyakarta. "Bukan peraturan perundang-undangan tapi kenapa berlaku," kata Handoko. Ia bertekad melanjutkan upaya mencari kepastian hukum. Tak puas dengan putusan hakim, ia melayangkan banding. "Bukan hanya cari menang tapi cari keadilan," katanya. Handoko keturunan Tionghoa yang kakek buyutnya tiba di nusantara sejak berpuluh tahun lalu. Seperti Willie yang bermarga Li, Handoko bermarga Han. Alih-alih fasih berbahasa mandarin, bahasa ibunya Jawa. Mereka telah menjadi Indonesia. Willie berkata bukan kehendaknya terlahir sebagai Tionghoa. Tapi andai bisa terlahir kembali sekalipun, ia rela terlahir sebagai etnis apa pun. Hanya saja ia berharap kembali dilahirkan di Indonesia. "Lihatlah betapa indah Indonesia ini," katanya, tersenyum. Ratusan massa pendukung pemberlakukan surat instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 berkumpul di Ndalem Notoprajan Yogyakarta, Kamis 1 Maret 2018 malam. Mereka menganggap penggugat kebijakan diskriminasi rasial itu sebagai orang tak paham sejarah. | Anang Zakaria /Beritagar.id Ayam potong tak belajar sejarah Suara baritonnya terdengar berat. Bicara di depan ratusan massa anti persamaan hak atas tanah di Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto melontarkan pertanyaaan pada Hans Poerwanto. "Hei Pak Hans jangan ikut-ikutan temanmu loh," kata adik Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X itu dalam bahasa Jawa. "Kamu lahir di sini apa dulu dari luar Yogya?" Hans tokoh warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta. Kamis, 1 Maret 2018 malam itu, ia hadir di pertemuan masyarakat pendukung pemberlakuan surat instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 di Ndalem Notoprajan Yogyakarta. Selain Hans, ada tiga warga keturunan Tionghoa lain yang hadir. Legislator DIY Chang Wendriyanto, pengusaha Koh Bing, dan Susilo. "Mbah saya lahir di sini," kata Hans menjawab pertanyaan Hadiwinoto. Orang-orang tertawa mendengar jawabannya. Menurut Hadiwinoto, ada dua golongan warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta.. Pertama, mereka yang bermukim dan beranak pinak sejak masa penjajahan Belanda. Golongan kedua, warga keturunan Tionghoa pendatang paska kemerdekaan yang tak paham sejarah Para penggugat diskriminasi rasial, ia melanjutkan, adalah warga keturunan Tionghoa golongan kedua. Hadiwinoto mengibaratkan mereka tak lebih dari ayam potong. "Handoko itu bocah kemarin sore," katanya. Baik golongan pertama maupun kedua, silakan tinggal di Yogyakarta. "Tapi jangan utak-atik yang aneh-aneh," katanya. Anggota Parampara Praja Pemerintah DIY Suyitno mengatakan meski secara hukum bertentangan, surat instruksi wakil kepala daerah DIY tahun 1975 itu masih relevan diterapkan hingga kini. Alasannya, kebijakan diskriminatif itu berguna untuk mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan ekonomi. "Untuk mengurangi kemiskinan," katanya dalam persidangan gugatan yang dilayangkan Handoko. Suyitno hadir sebagai saksi ahli agraria dari pihak Gubernur DIY di PN Yogyakarta, 9 Januari 2018. Parampara Praja adalah lembaga pertimbangan Gubernur DIY. Ia yakin kelak gubernur pasti mencabutnya. Asal tak lagi ada kemiskinan dan kesenjangan di DIY. "Mudah-mudahan lima tahun lagi, (tapi) nanti kalau setelah lima tahun kesenjangan masih tajam ya diteruskan lagi," katanya. Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional DIY Ahmad Nashih Luthfi mengatakan pemilahan kepemilikan tanah berdasar pertimbangan etnis dan ras untuk melindungi ekonomi lemah adalah kebijakan salah sasaran. Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960, lanjut dia, adalah produk hukum yang ingin melahirkan masyarakat Indonesia baru yang bebas dari pemilihan rasialisme laiknya masa kolonial. Penataan kepemilikan diatur sesuai kondisi ekonomi. Warga tak bertanah mendapat redistribusi, sementara tanah-tanah tuan tanah dibatasi. Pembedanya, tak lagi didasarkan antara warganegara asli atau tidak asli. Tapi antara yang ekonomi kuat dan lemah. "Pihak yang kuat itu bisa warganegara asli maupun tidak asli," katanya, Rabu (7/3/2018). Ahli Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Ni'matul Huda mengatakan seorang kepala daerah bukanlah pejabat yang berwenang menentukan kepemilikan tanah bagi warganegara. "Itu bukan ranah dia," katanya. Hari itu, ia bicara di depan majelis hakim PN Yogyakarta sebagai saksi ahli yang diajukan Handoko dalam gugatannya. Lembaga negara yang berwenang mengatur pertanahan, kata dia, adalah Badan Pertanahan Nasional. Lembaga ini tunduk pada BPN pusat dan tak tak terikat dengan pemerintahan daerah. Dalam kasus diskriminasi kepemilikan tanah di Yogyakarta, ia berpendapat, BPN telah mencampuradukkan kewenangan. Sayangnya, di Yogyakarta itu hanya berlaku dalam teori. Prakteknya, budaya ewuh pakewuhpada Sultan Hamengku Buwono X kental terasa. Bukankah ia gubernur sekaligus raja.