Bukan cuma setuju, sejak memenangkan pemilu 2014 (yang disebut Mega sebagai "buka puasa kekuasaan") ibu ketum cs terus berupaya agar PDIP menguasai eksekutif dan legislatif sekaligus supaya DPR menjadi tukang stempel / pendukung pemerintah.Melalui revisi ini perhatian Rakyat dialihkan, untuk hanya meributkan 3 pasal kontroversial yaitu Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245, yang terkait soal kekebalan hukum anggota dewan. Padahal, bagi PDIP ketiga pasal revisi tsb boleh saja dibatalkan asalkan orang tidak meributkan revisi Pasal 15 dan Pasal 84 tentang penambahan pimpinan MPR dan pimpinan DPR.
Revisi dua pasal yang akan memberi kursi pimpinan MPR dan pimpinan DPR kepada PDIP ini sebenarnya yang dibutuhkan Mega cs dalam perjuangannya menguasai eksekutif dan legislatif sekaligus.Perjuangan untuk melumpuhkan DPR sebagai lembaga kontrol dan melempar Indonesia kembali ke sistem Orba. --- ilmesengero@... wrote: SeandainyaJokowi bilang akan menandatangani UU MD3, maka kemungkinan besarbanyak orang tidak akan mendukungnya pada Pemilu yang akan datang.Jadi supaya suara pendukungnya tetap banyak bertumpuk-tumpuk dan bisatetap duduk kembali sebagai preseiden tanpa problem pada Pemiludibilang tidak mau tanda tangan, karena ditanda tangani atau tidak UUMD3 tetap berlaku. Sebagaicatatan ialah PDIP yang dipimpin oleh Ratu Megawati telah menjatakanpersetujuan adanya UU tsb. hehehehehttp://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/02/22/p4iggv440-jokowi-tolak-tanda-tangan-dpr-uu-md3-tetap-sah Jokowi Tolak Tanda Tangan, DPR: UUMD3 Tetap Sah Kamis 22 February 2018 06:07 WIBRep: Debbie Sutrisno/ Red: Elba Damhuri Presiden Jokowi memberikan KIP diKabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (15/2). Foto: dok. Biro Pers Istana Negara Presiden Jokowi persilakan masyarakat berbondong-bondong ke MK.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) tetap sah meskiPresiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani undang-undangtersebut. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, sah atau tidaknyasebuah undang-undang sudah diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.“Itu tentunya kewenangan Presiden (yang tidak inginmenandatangani UU—Red), tapi memang aturannya dalam jangka waktutertentu apabila Presiden tidak menandatangani dianggap tidak menolaksehingga tetap masih bisa dilaksanakan,” kata Agus di KompleksParlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/2).Dalam Pasal 73 ayat 2 UU 12/2011 disebutkan, “Dalam hal RUUtidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUUtersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”Agus berpandangan, sikap presiden yang menolak menandatangani UUMD3 disebabkan melihat perkembangan terkini, misalnya desakan agar UUMD3 diujimaterikan, seperti mengenai usulan penambahan kursi pimpinanMPR, DPR, dan DPD.Menurut Agus, pengesahan UU MD3 di Rapat Paripurna DPR dilakukanberdasarkan hal yang telah disepakati di semua prosesnya sehinggadisahkan. “Semuanya kami lihat bagaimana proses ini berlangsung dantentu kita melaksanakan apa yang telah disepakati dan bisa laksanakansehingga kita lihat prosesnya saja,” ujarnya.Selain itu, kata Agus, DPR mempersilakan masyarakat mengajukan ujimateri atas hasil revisi UU MD3 yang telah diundangkan, terutamapasal-pasal baru yang dianggap membuat DPR menjadi lembaga antikritikdan superbody. Adanya gugatan uji materi tersebut tidakberarti menandakan pembahasan RUU MD3 terburu-buru, tetapi hal itumerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembuatan UU.“Saya mendengar sudah ada ataupun baru berencana, tapi sudah adayang mengajukan uji materi. Apabila pembuatan UU ada masyarakat yangkurang sepaham, maka dapat melaksanakan uji materi karena merupakansatu proses dalam pembuatan undang-undang,” katanya.Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan,Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangani UU MD3 yang barudisahkan oleh DPR. Menurut Yasonna, langkah tidak menandatangani UUMD3 tersebut merupakan salah satu bentuk protes eksekutif terhadapsejumlah pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik di masyarakat.Kendati sudah ada di meja Presiden, Jokowi belum membaca secaraterperinci undang-undang yang menjadi polemik di masyarakat tersebut.Jokowi mengaku memahami keresahan-keresahan yang timbul di tengahmasyarakat. Apalagi, banyak masyarakat menilai bahwa UU itu terlalumencampuradukkan antara hukum dan etika. Bahkan, ada yang menyatakanUU tersebut sangat politis karena semua dicampur-campur.Jokowi menilai keresahan itu adalah hal wajar karena masyarakatjuga telah aktif mempelajari isi dari UU MD3. Masyarakat pun berharapadanya peraturan baru seperti UU tersebut tidak menurunkan kualitasdemokrasi yang ada di Indonesia.“Tetapi, sampai saat ini memang sudah di meja saya dan belumsaya tanda tangani. Sampai saat ini belum saya tanda tangani karenasaya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu ditandatangani atautidak,” ujarnya seusai menghadiri rakernas Majelis Dzikir HubbulWathon, Rabu (21/2).Jokowi melanjutkan, meski UU MD3 tidak dia tanda tangani,peraturan tersebut tetap saja akan tetap berjalan. Presiden pun belumbisa memastikan apakah akan mengeluarkan peraturan pemerintahpengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU MD3.Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun mempersilakan jika memang adamasyarakat yang ingin menyampaikan keberatannya dengan menempuh jalurhukum di Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya kira hal-hal tidak akansampai ke sana (perppu). Yang tidak setuju silakan berbondong-bondongke MK untuk di-judicial review,” kata Presiden.Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)Priyo Budi Santoso menilai UU MD3 telah mengancam demokrasi modernyang ada di Indonesia. Karena itu, perlu adanya penjelasan terkaitsubstansi dari UU tersebut.“Saya yakin ini akan terus menjadi hantu bagi sebagian kalanganaktivis dan mengancam demokrasi modern,” kata Priyo yang jugamerupakan Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Golkar di kantor ICMIPusat, Jakarta, Rabu.Menurut Priyo, terdapat tiga pasal kontroversial dalam UU MD3. Diantaranya Pasal 122 huruf (k) yang mengatur penghinaan terhadapanggota DPR. Kedua, pasal 73 yang menyatakan polisi diwajibkanmembantu melakukan pemanggilan paksa bagi pihak yang diperiksa olehDPR. Ketiga, pasal 245 yang mengatur pemeriksaan anggota DPR harusdipertimbangkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelumdilimpahkan ke presiden untuk memberikan izin.“Pasal 245 ini yang sering dijadikan kritik yang akandiujicobakan dan diujimaterikan di MK. Itu pemeriksaan anggota DPRkira-kira harus melalui MKD, MKD menyurati presiden, presidenkemudian mengumumkan apa tindakan hukum, baru bergerak. Ini prosesnyalama. Persamaan haknya seperti apa?” kata Priyo.Jika tidak dijelaskan substansinya secara jelas, kata Priyo,ketiga pasal tersebut bisa membuat DPR dituduh sebagai lembaga yangmemotori sebuah gerakan yang justru akan membawa Indonesia kembali kemasa sebelum adanya demokrasi. Oleh karena itu, DPR harus menjelaskankepada publik. “Jika tidak diterima publik maka undang-undangtersebut harus direvisi,” kata Priyo. (silvy diansetiawan/antara, Pengolah: eh ismail).