http://www.dakwatuna.com

Menikah, Kenapa Takut?

Oleh: DR. Amir Faishol Fath
________________________________


dakwatuna.com – Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas,
menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani
kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri,
melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita
takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh?
Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah,
bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih
besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak
ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi
kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang
mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan
yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat
maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang
resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih
baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah
mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal
ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua
alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan
untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk
mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas
mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah
pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka
kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar
berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala
sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada
siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan
fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan.
Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di
manapun berada.Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah
(Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak
akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada
posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah
tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja
secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak
akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang
dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali
masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah
tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang
akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat
mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah
berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup
manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah
tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa
mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan
keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun
bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah
yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan
kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan
pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan
harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena
itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling
tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu
tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari
daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan
pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak
mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan.
Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32).
Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah
haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar
manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan
terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah
melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri
sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri.
Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke
tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa
malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi
pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang
akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad
Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang
hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir,
impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari
mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan
hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam
semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan
satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan
Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah,
“Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari
agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang
tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih
sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling
melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan
pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih
terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran
menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau
muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan
menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga
dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu
tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka
tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah
yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata
Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa
merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk
menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu
menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum
mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja.
Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang
mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup
besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap
orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena
tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah
saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang
ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh
perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin
ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang
lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar
maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw.
tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai
pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan
tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap
makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama
yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam
buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi,
itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab,
Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya
beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah
tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw.
selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah
bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka
muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang
terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah,
memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua
menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti
dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak
dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan
memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka
bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan
persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah
pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya
menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian
ayatiyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un
aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini
adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak
dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan
pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah
Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu
kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah
untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai
ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul
Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil
Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata,
“Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan
ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni).
Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di
antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR.
Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah
segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu
Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali
kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh
Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat
di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang
bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup
melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali
untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa
yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis
nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa
Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain
lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah
menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan
hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk
memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa
setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti
setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia
harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau
tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina.
Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah
beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing
dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi
bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak
jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena
jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah
rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan
pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah,
melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih
dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis
mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu
lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai
mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau
anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau
infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan
mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas.
Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu.
Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan
dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan
mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi
banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada
yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan
belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga
bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan
selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah,
tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau
mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk
segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum
mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi
seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari
ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu
tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan
tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah
menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya,
pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan
porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang
juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam
masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal
beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua
itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas
kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal
yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang
yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah
telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu
tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain
mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan
kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study
dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin
mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi
ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar
seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu
tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena
saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda
telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu
untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama
uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat
pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus
dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah
yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah
menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika
kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi
normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk
menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari
pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”.
Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan
menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa
senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa
beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba
“jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti,
orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan
pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun
rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka
begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya
dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan
Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan
ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan,
untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu
jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan
membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.<>

http://www.dakwatuna.com/2007/menikah-mengapa-takut/


------------------------------------

Free download [Internet Explorer/Firefox]:
Hidayahnet Toolbar [no virus, adware, malware etc] 
http://hidayahnet.ourtoolbar.com

--------------------------------------------------------------------------
**Boycott Israel**Support Palestine** 

All views expressed herein belong to the individuals concerned and do not in 
any way reflect the official views of Hidayahnet unless sanctioned or approved 
otherwise. 

If your mailbox clogged with mails from Hidayahnet, you may wish to get a daily 
digest of emails by logging-on to http://www.yahoogroups.com to change your 
mail delivery settings or email the moderators at 
hidayahnet-ow...@yahoogroups.com with the title "change to daily digest". 

--------------------------------------------------------------------------

Affiliates:
iPerintis - eGroup untuk Saintis dan Jurutera Muslim  
http://groups.yahoo.com/group/iperintis/

Hidayahnet Toolbar [no virus, adware, malware etc] 
http://hidayahnet.ourtoolbar.com

Recommended sites:
Angkatan Belia Islam Malaysia  : http://www.abim.org.my
Jamaah Islah Malaysia          : http://www.jim.org.my
Palestinkini Info              : http://www.palestinkini.info
Partai Keadilan Sejahtera      : http://pk-sejahtera.org
Fiqh Siber                     : http://al-ahkam.net/
The Muslim Brotherhood         : http://ikhwanweb.com
Hidayahnet website             : http://hidayahnet.multiply.com/  Yahoo! Groups 
Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/hidayahnet/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/hidayahnet/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    hidayahnet-dig...@yahoogroups.com 
    hidayahnet-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    hidayahnet-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke