[e-Konsel] Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018

2018-06-12 Terurut Topik e-Konsel
Title: 
e-Konsel -- Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018
  














  

  
e-Konsel -- Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018
  

  


 




  

  

  

  




  

  
Publikasi Elektronik Konseling Kristen

  

  
Mengembangkan Sikap Bersyukur
  


  
  
Edisi 409/Juni 2018
  
  

  

  

  


 




  

  


Salam konseling,
Di tengah berbagai masalah yang terjadi dalam negara kita akhir-akhir ini, bagaimana sikap kita sebagai warga negara, yang sekaligus juga adalah orang percaya? Alih-alih menjadi orang yang penuh dengan kekhawatiran, mari kita penuhi hati kita dengan ucapan syukur. Bersyukur karena penyertaan Allah bagi anak-anak-Nya bersifat kekal, baik ketika kita di dunia ini dalam penderitaan maupun sampai kita bertemu muka dengan-Nya. Edisi e-Konsel kali ini mengajak kita untuk mengembangkan sikap bersyukur dalam segala hal. Dalam hal apa saja? Mari kita simak bersama, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur.


  

  

  

  
  
Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Davida

  

  



  

  







  

  



  CAKRAWALA
  Bersyukur dalam Segala Hal


Apakah kita dapat bersyukur tidak peduli apa pun yang terjadi? Barangkali kita telah kehilangan pekerjaan kita baru-baru ini karena situasi ekonomi yang bergejolak. Barangkali kita mengalami penurunan kesehatan, atau kehilangan orang yang kita cintai. Keadaan seperti itu bisa sangat sulit. Meski demikian, kita semua masih punya banyak hal yang bisa disyukuri. Mari kita melihat bersama kisah seorang pria yang seharusnya punya semua hak untuk mengalami kepahitan, tetapi dia tidak demikian!
Dia tahu, langkah-langkah berikutnya yang akan terdengar di koridor itu mungkin adalah langkah-langkah para penjaga yang akan membawanya pergi ke tempat eksekusi. Satu-satunya tempat tidurnya adalah lantai batu yang keras di sel penjara yang sempit dan lembab. Tidak satu jam pun berlalu tanpa dia terbebas dari iritasi rantai dan rasa sakit dari belenggu besi yang memasung pergelangan tangan dan kakinya.
Terpisah dari teman-teman, dituduh secara tidak adil, diperlakukan secara brutal -- jika ada orang yang punya hak untuk mengeluh, pria inilah orangnya, yang mendekam hampir terlupakan di penjara Romawi yang kejam. Namun, alih-alih mengucapkan keluhan, bibirnya bergetar dengan kata-kata pujian dan ucapan syukur!
Pria itu adalah Rasul Paulus -- seorang pria yang telah belajar apa artinya ucapan syukur sejati, bahkan di tengah-tengah kesulitan besar. Sebelumnya, ketika dia dipenjarakan di Roma, Paulus menulis, “Berbicaralah satu sama lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani, menyanyilah dan buatlah lagu pujian kepada Tuhan dengan segenap hatimu. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu kepada Allah Bapa dalam nama Tuhan kita, Kristus Yesus” (Efesus 5:19-20, AYT).
Coba renungkan: Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu -- tidak peduli bagaimanapun keadaannya! Thanksgiving untuk Rasul Paulus bukanlah perayaan setahun sekali, melainkan kenyataan sehari-hari yang mengubah hidupnya dan membuatnya menjadi orang yang gembira dalam segala situasi.
Thanksgiving -- pengucapan syukur -- kepada Allah untuk semua berkat-Nya harus menjadi salah satu tanda yang paling khas dari orang percaya dalam Yesus Kristus. Kita tidak boleh membiarkan roh tidak bersyukur mengeraskan hati kita dan merenggangkan hubungan kita dengan Tuhan maupun dengan sesama.
Tidak ada yang lebih cepat mengubah kita menjadi orang yang pahit, egois, dan tidak puas daripada hati yang tidak bersyukur. Sama halnya, tidak ada yang bisa lebih banyak memulihkan kepuasan dan sukacita keselamatan kita daripada roh bersyukur yang sejati.


  

  

  


Di dunia kuno, kusta adalah penyakit yang mengerikan. Penyakit ini merusak mereka yang mengidapnya dan secara permanen memutus mereka dari masyarakat normal. Tanpa terkecuali, setiap penderita kusta merindukan satu hal: disembuhkan.
Pada suatu hari, sepuluh orang kusta mendekati Yesus di luar desa, dan dengan keras memohon kepada-Nya untuk menyembuhkan mereka. Dalam sekejap, Dia memulihkan mereka semua menjadi sehat sempurna -- tetapi hanya satu yang kembali dan berterima kasih kepada-Nya. Selebihnya, semua pergi tanpa ucapan terima kasih, pikiran mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri, dicengkeram dengan roh tidak berterima

[e-Konsel] Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018

2018-06-12 Terurut Topik e-Konsel
Title: 
e-Konsel -- Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018
  














  

  
e-Konsel -- Mengembangkan Sikap Bersyukur -- Edisi 409/Juni 2018
  

  


 




  

  

  

  




  

  
Publikasi Elektronik Konseling Kristen

  

  
Mengembangkan Sikap Bersyukur
  


  
  
Edisi 409/Juni 2018
  
  

  

  

  


 




  

  


Salam konseling,
Di tengah berbagai masalah yang terjadi dalam negara kita akhir-akhir ini, bagaimana sikap kita sebagai warga negara, yang sekaligus juga adalah orang percaya? Alih-alih menjadi orang yang penuh dengan kekhawatiran, mari kita penuhi hati kita dengan ucapan syukur. Bersyukur karena penyertaan Allah bagi anak-anak-Nya bersifat kekal, baik ketika kita di dunia ini dalam penderitaan maupun sampai kita bertemu muka dengan-Nya. Edisi e-Konsel kali ini mengajak kita untuk mengembangkan sikap bersyukur dalam segala hal. Dalam hal apa saja? Mari kita simak bersama, dan jangan lupa untuk selalu bersyukur.


  

  

  

  
  
Pemimpin Redaksi e-Konsel,
Davida

  

  



  

  







  

  



  CAKRAWALA
  Bersyukur dalam Segala Hal


Apakah kita dapat bersyukur tidak peduli apa pun yang terjadi? Barangkali kita telah kehilangan pekerjaan kita baru-baru ini karena situasi ekonomi yang bergejolak. Barangkali kita mengalami penurunan kesehatan, atau kehilangan orang yang kita cintai. Keadaan seperti itu bisa sangat sulit. Meski demikian, kita semua masih punya banyak hal yang bisa disyukuri. Mari kita melihat bersama kisah seorang pria yang seharusnya punya semua hak untuk mengalami kepahitan, tetapi dia tidak demikian!
Dia tahu, langkah-langkah berikutnya yang akan terdengar di koridor itu mungkin adalah langkah-langkah para penjaga yang akan membawanya pergi ke tempat eksekusi. Satu-satunya tempat tidurnya adalah lantai batu yang keras di sel penjara yang sempit dan lembab. Tidak satu jam pun berlalu tanpa dia terbebas dari iritasi rantai dan rasa sakit dari belenggu besi yang memasung pergelangan tangan dan kakinya.
Terpisah dari teman-teman, dituduh secara tidak adil, diperlakukan secara brutal -- jika ada orang yang punya hak untuk mengeluh, pria inilah orangnya, yang mendekam hampir terlupakan di penjara Romawi yang kejam. Namun, alih-alih mengucapkan keluhan, bibirnya bergetar dengan kata-kata pujian dan ucapan syukur!
Pria itu adalah Rasul Paulus -- seorang pria yang telah belajar apa artinya ucapan syukur sejati, bahkan di tengah-tengah kesulitan besar. Sebelumnya, ketika dia dipenjarakan di Roma, Paulus menulis, “Berbicaralah satu sama lain dalam mazmur, kidung pujian, dan nyanyian rohani, menyanyilah dan buatlah lagu pujian kepada Tuhan dengan segenap hatimu. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu kepada Allah Bapa dalam nama Tuhan kita, Kristus Yesus” (Efesus 5:19-20, AYT).
Coba renungkan: Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu -- tidak peduli bagaimanapun keadaannya! Thanksgiving untuk Rasul Paulus bukanlah perayaan setahun sekali, melainkan kenyataan sehari-hari yang mengubah hidupnya dan membuatnya menjadi orang yang gembira dalam segala situasi.
Thanksgiving -- pengucapan syukur -- kepada Allah untuk semua berkat-Nya harus menjadi salah satu tanda yang paling khas dari orang percaya dalam Yesus Kristus. Kita tidak boleh membiarkan roh tidak bersyukur mengeraskan hati kita dan merenggangkan hubungan kita dengan Tuhan maupun dengan sesama.
Tidak ada yang lebih cepat mengubah kita menjadi orang yang pahit, egois, dan tidak puas daripada hati yang tidak bersyukur. Sama halnya, tidak ada yang bisa lebih banyak memulihkan kepuasan dan sukacita keselamatan kita daripada roh bersyukur yang sejati.


  

  

  


Di dunia kuno, kusta adalah penyakit yang mengerikan. Penyakit ini merusak mereka yang mengidapnya dan secara permanen memutus mereka dari masyarakat normal. Tanpa terkecuali, setiap penderita kusta merindukan satu hal: disembuhkan.
Pada suatu hari, sepuluh orang kusta mendekati Yesus di luar desa, dan dengan keras memohon kepada-Nya untuk menyembuhkan mereka. Dalam sekejap, Dia memulihkan mereka semua menjadi sehat sempurna -- tetapi hanya satu yang kembali dan berterima kasih kepada-Nya. Selebihnya, semua pergi tanpa ucapan terima kasih, pikiran mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri, dicengkeram dengan roh tidak berterima