Sehari ini telah bermunculan pertanyaan-pertanyaan bagi caketum. Saya 
kutipkan pertanyaan Mas RDP ”Tentu saja tenaga2 ini dahulu mendapatkan 
subsidi secara langsung maupun tidak langsung. Apa yang akan anda lakukan 
sehubungan dengan banyaknya tenaga2 geologi yg keluar dari Indonesia untuk 
menjadigeologist di luar Indonesia ?.”
 
Pertama, saya tidak melihat ada hubungan antara subsidi yang diberi 
pemerintah agar biaya kuliah murah dengan para sarjana kita yang kerja di 
luar negeri. Pemerintah tentu punya alasan sendiri untuk menentukan biaya 
kuliah murah di PT negeri. Amat boleh jadi hal ini berkaitan dengan realita 
keadaan masyarakat waktu itu yang kesulitan membayar lebih. Hal ini juga 
tentulah berkenaan dengan peundang-undangan kita, karena bukankah anggaran 
pendidikan selalu dijalankan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan 
lembaga legislatip ?. 
 
Adapun perginya beberapa sarjana geologi ke luar negeri dapat dipandang dari 
beberapa sudut:
 
Adanya market buat mereka. Dalam dua-tiga tahun terakhir kebutuhan ahli 
kebumian amat tinggi di Malaysia. Ini terjadi antara lain karena ahli dalam 
negeri mereka sendiri banyak dikirim ke berbagai project Petronas di seluruh 
dunia. Dengan demikian para ahli dalam negeri tsb mendapat ekspose 
pengalaman kerja di luar negeri. Saya sendiri beberapa kali dihubungi 
beberapa pengusaha disana untuk dapat mengirim para ahli, menuhi kebutuhan 
tsb.
 
Adanya keahlian pada kawan-kawan yang sudah berangkat keluar negeri itu. Ini 
adalah suatu pengakuan, dan tentu saja positip banget, bahkan membawa 
kebanggaan dan tantangan bagi yang masih ada disini.
 
Adanya tawaran pendapatan & fasilitas yang baik sekali. Buat para sarjana 
itu, hal ini dibaca sebagai penghargaan sekaligus pengakuan atas kemampuan 
profesionalisme mereka. Pada pegawai yang sudah bekerja beberapa belas 
tahun, pengakuan ini adalah pokok yang penting sekali.
 
Adanya keadaan di dalam negeri yang tak sebaik diluar negeri, misalnya dalam 
hal pengakuan tadi, etos kerja, dsb.
 
Dengan sudut pandangan demikian, maka saya tidak melihat ada hal yang perlu 
IAGI lakukan dalam hal ini, kecuali untuk mengajak para sarjana tsb sesekali 
berbagi ilmu pekerjaan kepada kita semua. Kawan-kawan ini toh tidak akan 
berdomisili diluar negeri berlama-lama. Dalam total masa kerja 30 tahun, 
para sarjana tsb akan berada diluar negeri mungkin hanya selama 6 tahun 
secararata-rata. Kemudian mereka akan kembali ke tanah air, dan disaat itu 
mereka telah menjadi ahli yang berpengalaman internasional. Di titik itu 
mereka bisa membantu membentuk kita semua menjadi profesional yang cakap dan 
tahu menghargai diri sendiri.
 
Kenyataan ini tentu amat berbeda dengan mereka yang bersekolah dengan 
beasiswa dari pemerintah / suatu lembaga. Dalam hal ini, biasanya ada ikatan 
timbal balik, terutama dalam bentuk sang sarjana baru mesti bekerja untuk 
institusi yang memberinya beasiswa tsb selama beberapa tahun, misalnya dgn 
formula 2n + 1. Penerima beasiswa tentu wajib bekerja bagi institusi 
donornya selama batas waktu sesuai dgn perjanjian.
 

bat

Kirim email ke