Mbak Ida saya agak lupa, renungan
ini sudah pernah dibaca atau belum ya? Lumayan juga untuk nguras air mata. BTW, usul nih gimana kalau renungan yg
dibawakan mbak Ida gantian sama mas Krisna. Kalau mbak Ida bacain renungan yang
bikin brebes mili, besoknya mas Krisna bacain cerita kocak yang bikin perut
mules. Karena kalau tiap hari dengerin renungan yang dibacakan mbak Ida
lama-lama kehabisan air mata.Thanks Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang
sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah
sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku
mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau
membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku,
jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak
dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung
adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga
ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai
mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam
pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia
tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba
mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena
tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat,tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru
kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu
itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya
di SMP, ia lulus
untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,saya
diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam
itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan
hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu
mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau
melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak buku." Ayah
mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau
mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti
mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan
begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan
berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak
ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya,
telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum
subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa
helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke
samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak,
masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan
menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku
berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh
dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak
bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku
semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan
siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit
rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik
adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20.
Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah,
kaca jendela yang pecah telah diganti, dan
kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis
kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak
waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya
dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak,
tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja
dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku
23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak
kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku
untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan
apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur
pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras
memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu
hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki
sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya
menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu
serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan
kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika
saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan
kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa
membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan
aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang
paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali
sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika
saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku
dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu
hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami
tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah,
selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar
bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku
berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari
wajahku seperti sungai. Sumber:
Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times" ================================================================= "Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'. It has silent message saying that I remember you when I wake up. Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB SMS di 0818-333582 ================================================================= YAHOO! GROUPS LINKS
|