SETIAP
memperingati proklamasi kemerdekaan, berbagai ulasan sering dilakukan di
berbagai media massa, terutama tentang keluhan masih banyaknya
"ketertindasan" dalam bentuk lain yang menyebabkan sebagian besar
rakyat Indonesia masih belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, pelanggaran
HAM, serta penindasan lainnya dalam bentuk kleptocracy
-birokrasi yang korup (pungli, kick-back,
mark-up, dan sebagainya). Namun,
seperti halnya teori Arnold Toynbee tentang "challenge and response" bahwa sebuah bangsa akan
direvitalisasi (invigorated) oleh
berbagai tantangan dan kesulitan yang akan membuat bangsa tersebut bangkit dan
berjaya, kita perlu optimistis bahwa bangsa kita pun sedang mencari jalan
keluar dari berbagai kemelut yang sedang dialami bangsa ini. Toynbee
juga mengatakan bahwa di tengah kemelut, akan tumbuh
sebuah kekuatan moral yang akan membuat sebuah bangsa dapat bangkit dari
keterpurukan. Untuk terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, kita
memang perlu mengakui segala kekurangan dan aib yang ada pada bangsa kita, dan
ini tentunya memerlukan keberanian moral untuk melakukannya. Saya salut dengan Presiden Seperti
yang terungkap dalam pidatonya ketika menyambut hari kemerdekaan Nigeria yang
ke-40 (Oktober, 2000): "How can anyone deny the blight on our society
when we all know how much our society has degenerated into a kleptomaniac
culture, where everyone entrusted with any funds, public or corporate, everyone
but a few, steals at every state of the way, from paper clips, through ghost
worker proceeds and contract stealing, to outright plundering of the nation's
resources? How can anyone deny the unfathomable shame: when the whole world
regards us as "born scammers", because of the worldwide white-collar
fraudulent activities of some of us; and, when there are many among us who look
at every new law, not as a tool for improving society but as a means to be rich
through corruptly circumventing it, in one way or another? How can anyone deny
the pervading depravity, when so many of us do not like to do any form of
productive work, but prefer to get something for nothing, regardless of the
morality of our activities? Presiden Obasanjo memang mempunyai komitmen yang besar
untuk mengisi kemerdekaan Keteguhan hati untuk memperbaiki keadaan yang dimotori
oleh Presiden Obasanjo telah menjadi kekuatan moral baru bagi masyarakat * BANGSA
Indonesia pun berharap banyak untuk terjadinya perubahan ke arah yang lebih
baik seperti yang dijanjikan oleh pemerintahan Yudhoyono-Kalla untuk
"bersama kita bisa" dalam memerangi korupsi dan menjadikan Indonesia
lebih baik, sehingga bangsa ini bisa berdiri tegak dan bermartabat di depan
bangsa-bangsa lainnya di dunia. Namun,
sebuah bangsa adalah kumpulan dari individu-individu, dan kemaslahatan sebuah
bangsa amat ditentukan oleh pikiran dan tindakan para individunya, yang
tentunya akan membuat sebuah pola budaya atau
kebiasaan masyarakat. Artinya, apabila sebagian besar para individunya
mempunyai pikiran dan tindakan yang baik, akan
tercermin dalam kehidupan masyarakatnya. ìAll strong societies have a strong moral basis",
kata James Dale Davidson dalam bukunya The
Sovereign Individual. Karena menurutnya, semua
bangsa yang maju sebagian besar disebabkan oleh karakter individunya yang
mandiri, pekerja keras, mempunyai tanggung jawab keluarga dan sosial, jujur,
dan hemat. Karakter inilah yang disosialisasikan dan
dilestarikan oleh masyarakat melalui pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan
agama. Jadi, bangsa kita yang masih mengalami keterpurukan, adalah cerminan
dari kualitas moral dari para individunya yang tidak memiliki karakter
tersebut. Masalahnya adalah, kita belum mempunyai komitmen
untuk membangun karakter pada tingkat individu yang memerlukan perubahan cara
berpikir, pola pengasuhan, tindakan, dan sistem pendidikan di sekolah. Hal ini
belum menjadi perhatian khusus dari banyak para pemikir dan pemimpin kita.
Mereka belum bisa melihat bahwa semua permasalahan bangsa ini sebetulnya
berakar dari permasalahan moral individu. Manusia yang berkarakter baik adalah manusia yang
berdaulat, karena mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri untuk melawan
nafsu rendahnya, seperti kebohongan, kesombongan, melepaskan tanggung jawab
kepada pihak lain, ketergantungan, perilaku menuntut, tidak disiplin dan malas.
Inilah yang dimaksud oleh Adam Smith pada tahun
1798 dalam bukunya The Wealth of Nations
yang mengandalkan kuatnya pengaruh perilaku individu bagi kemakmuran sebuah
bangsa. Bahkan, dalam alinea terakhir dari tulisannya, ia berpendapat bahwa
setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk menjadi manusia yang bermoral
melalui usaha dan latihan yang keras, karena inilah yang diinginkan Tuhan pada
setiap manusia. "Evil exists in the world, not to create despair, but
activities. We are not patiently to submit to it, but to exert ourselves to
avoid it. It is not only the interest, but the duty of every individual, to use
his utmost efforts to remove evil from himself, and from as large a circle as
he can influence; and the more he exercises himself in this duty, the more
wisely he directs his efforts, and the more successful these efforts are; the
more he will probably improve and exalt his own mind, and the more completely
does he appear to fulfill the will of his Creator". *
KONDISI
Indonesia yang masih terpuruk, dan bahkan mendapatkan julukan sebagai salah
satu negara terkorup di dunia, serta diwarnai oleh kehidupan masyarakat yang
penuh dengan konflik dan kekerasan, adalah tanda dari kegagalan institusi yang
ada di masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu orang-
orang yang mempunyai komitmen kuat untuk menegakkan kebenaran seperti yang
dikatakan oleh Adam Smith di atas. Salah satu contoh konkretnya adalah sistem
pendidikan di sekolah kita, yang saya pikir justru dapat "membunuh"
karakter anak-anak sejak usia dini. Misalnya,
orientasi belajar di sekolah yang hanya ditujukan untuk mendapatkan nilai dan lulus ujian, telah menumbuhkan sikap ketidak-jujuran dan
menyuburkan budaya menyontek pada siswa. Menurut anak kami,
sebagian Juga terdengar kecurangan para pendidik, seperti yang
diberitakan bahwa ujian nasional pun tidak bebas dari praktik manipulasi, guru
yang mengisi soal yang sengaja dikosongkan, atau negosiasi antara kepala
sekolah dengan panitia ujian nasional. Praktik ketidak-jujuran seperti sudah dibudayakan sejak di
sekolah, sehingga "urat" malu dan rasa bersalah tidak berkembang dan
nurani menjadi tumpul. Ini semua
adalah cikal bakal dari perilaku korupsi (ketidakjujuran) yang telah membudaya
di Indonesia. Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan
nilai (apalagi dengan adanya ujian nasional yang menuntut NEM tinggi), biasanya
hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling),
dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga
bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif).
Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif,
ternyata juga di"kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses
refleksi dan apresiasi. Jadi, aspek emosi, sosial dan spiritual manusia Selain
itu, dengan adanya tuntutan NEM yang tinggi, pihak sekolah akan menekan para
siswa dengan banyak latihan dan hafalan, serta PR yang menumpuk, yang akan
membuat para murid stres, dan proses belajar menjadi tidak efektif. Biasanya hanya siswa yang ber-IQ di atas 115 saja yang mampu
mengikutinya (tidak lebih dari 15 persen penduduk), sehingga dapat membuat
sebagian besar siswa merasa bodoh dan tidak percaya diri. Apabila
anak belajar dengan hati yang senang, dan tidak stres, maka otak limbic akan mengeluarkan zat neuro
transmitter yang akan mengaktifkan bagian cerebral cortex (otak intelektual), sehingga proses
berpikir, beranalisis, dan berbahasa akan lebih baik. Sebaliknya,
apabila anak dalam keadaan takut dan stres, maka otak limbic akan
mengaktifkan batang otak (brainstem),
atau sering disebut otak reptil atau hewan, sehingga proses belajar tidak
efektif. Batang otak mempunyai sifat seperti hewan, yaitu
menyerang atau menyelamatkan diri (fight or
flight), atau otak yang bereaksi (reactionary
mind). Bayangkan,
anak-anak Jadi,
wajar saja kalau para murid di Indonesia senang tawuran, konflik antar kawan,
dan bersikap impulsive, karena
yang dominan adalah fungsi otak reptilnya, bukan otak intelektualnya, sehingga
tidak bisa berpikir jernih. Hasil
studi Dr Lorrie A Shepard dari National Center for Research on Evaluation,
Standards, and Student Testing -CRESST (2001) telah membuktikan bahayanya
sistem pendidikan yang berorientasi hanya hafalan dan nilai, terhadap daya
pikir kritis dan analisis (higher order
thinking), kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Karena, menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk
bisa menjawab soal ujian), adalah skill
yang paling tidak penting bagi manusia (burung Beo pun bisa dilatih untuk
menghafal). Jadi, mereka
didik hanya menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat
menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah
dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. *
S Kita
boleh bangga dengan kemerdekaan Indonesia yang diraih 60 tahun yang lalu, namun
tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana memerdekakan manusia Indonesia
untuk lepas dari kemiskinan dan kebodohan, yang semuanya bertumpu pada
pendidikan karakter pada tingkat individu, sehingga The Wealth of Indonesia, bisa terwujud. Dirgahayu
RATNA MEGAWANGI-SUARA PEMBAHARUAN ================================================================= "Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'. It has silent message saying that I remember you when I wake up. Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB SMS di 0818-333582 ================================================================= YAHOO! GROUPS LINKS
|