SURAU BUYUNG
Ini bukan zaman perang lagi. Tak pula orang diributkan oleh beras bercampur jagung yang ditanak para wanita di dalam belanga usang. Zaman ini orang bicara reformasi dan perang pemikiran. Dimana-mana dipersiapkan adalah pena, disket serta data-data termutakhir dari seluruh penduduk dunia. Tetapi, di sebuah sudut dunia seorang anak muda tampak bermenung. Berpangku telapang tangan menopang dagu dengan mimik kening dikerut-kerutkannya. Tampak berat yang dipikirkan. Saking beratnya, sesekali mulutnya berdesis tanda gamang. Apakah yang dipikirkannya? Pemuda bertubuh tegap itu mengenakan baju panjang lengan potongan cina berwarna biru tua. Rapi dan tampak berwibawa. Pakaiannya itu pun rapi bersetrika. Dengan celana kain yang juga rapih dan licin. Tangannya seperti menggenggam sesuatu. Tapi tak ada. Barangkali genggamannya terlalu kuat. Sesekali kakinya dihentakkan ke tanah. Terompah kulit itu menyibak pasir halus halaman depan mesjid megah itu. Buyung, nama pemuda yang kita bicarakan. Semenjak kecil ia menghuni mesjid yang dulu surau tua lapuk kusam. Saat usia buyung tujuh tahun, walau rumahnya dekat dari sana, ia memilih tidur di surau. Katanya, pada ibunya, "Buyung ingin belajar di surau saja," dan ibunya mengerti kehendak anaknya. Keras hati Buyung suatu ketika ada benarnya. Setamat sekolah dasar Buyung merantau ke kota. Ditinggalkannya teman bermain sesurau. Hendra, Adi dan Tessa yang sama di surau belajar mengaji, silat dan adat minangkabau. Guru mereka, Ustad Yon dan Kasman saat itu pun telah merantau pula di kota tetangga. Enam tahun Buyung di sana. Menamatkan SMP dan Aliyahnya. "Apa pula yang kau menungkan," tanya Hendra. Buyung tersentak. Lamunannya buyar. "Tidak ada yang kumenungkan. Aku hanya memikirkan nasib mesjid ini," jawab Buyung hambar. " Kenapa kau pikirkan mesjid ini. Sudah bagus, megah dan bertingkat pula." "Justru itu, megah dan besar mesjid ini tapi di luarnya saja." "Maksudmu?" Hendra tak habis pikir. "Cobalah perhatikan, barapa banyak jemaah mesjid ini sekarang. Kalaulah Maghrib tiba bisa dihitung jari yang berdiri di shaf muka. Ditambah shaf belakang, beberapa anak mengaji saja," Buyung makin muram. Hendra menggaruk kepala walau tak gatal. Memang benar apa yang diungkapkan Buyung. Mesjid megah dua tingkat ini kini jadi hiasan kampung ini saja. Berbeda sekali dengan masa mereka sepuluh tahun silam. *** "Tessa, panggil semua kawanmu. Suruh masuk. Kita mau belajar!" tegas Ustad Yon. Sementara Ustad Kasman baru selesai mengajar santri kelas tiga yang belajar mengaji irama. Di tangannya sebilah rotan panjang dipukul-pukulkannya lambat ke atas meja. Di belakangnya sebuah papan tulis tua pirang oleh hapusan kapur. Di depannya berbaris meja-meja kecil tempat alas menulis bagi santri TPA. Meja-meja itu setinggi tulang kering. Santri harus duduk bersila. Perempuan di barisan kanan. Laki-laki di barisan kiri. "Kemarin, saya menyuruh kalian menghafal ayat Qursi. Siapa yang telah hafal?" Beberapa santri menunjuk jari ke atas. "Buyung ke depan." Dengan sedikit ragu Buyung kecil maju dan membacakan ayat Qursi. Mulanya tersendat. Kemudian lancar dan bersahaja. "Bagus, silakan duduk kembali." Berikutnya bergiliran santri-santri kecil itu maju membacakan hafalan ayatnya. Yang tidak hafal dapat jatah pecutan rotan di tangannya. Tak peduli lelaki atau perempuan. Pulang dengan tangan memerah dan menghijau. Tiga kali pecutan rotan bergaris di telapaknya. *** Kampung itu kian modern. Ketika dulu Buyung, Hendra, Tessa dan Adi masih bocah hanya petromaks dan lilin yang memandu mereka pergi ke surau. Tiap malam minggu wajib mereka semua bermalam di sana. Selain belajar mengaji juga diajarkan silek tuo oleh Ustad Kasman. Kini, lilin hanya untuk acara ulang tahun anak-anak atau penerang kala listrik padam saja. Petromaks dan lampu dinding sudah karatan bahkan terbuang di belakang rumah. Jika maghrib datang suara azan bersambutan dengan music house para anak muda di posko pemuda. Ditambah hentakan domino di "Lapau Ayah". Malam seperti siang. Siang makin tak karuan. Risaunya Buyung seperti sama dipikirkan oleh orang-orang tua di sana. Buyung yang setiap hari kini menjadi imam shalat berjamaah tentu merasakan sangat perubahan yang terjadi. Waktu Wirid Jumatan lalu, bahkan beberapa jamaah menanyakan kepada Ustad Yon tentang hal ini. "Kampung kita ni Ustad, sudahlah berubah sekali. Zaman berganti kan tidak mesti berubah budi pekerti. Cobalah lihat, anak dan kemenakan main batu domino di meja yang sama. Anak gadis pulang lepas isya sudah biasa. Pakaian mereka, kecil-kecil semua. Akan jadi apa kampung kita ini." Bahkan seorang ibu ikut menimpali. "Susahlah hati kami ini. Banyak anak tetangga yang celaka beranaknya. Sudah mengandung baru menikah. Bakal bencana yang kita terima, Ustad." Ustad Yon bukan tak pernah memikirkan hal ini. Seperti murid demikian guru. Ustad Yon pun telah pusing tujuh keliling. Tak ada jalan yang ditemukannya. Hingga ia menjawab, "Sekarang yang mampu kita lakukan hanya berdoa. Walau itu selemah iman. Dengan tangan kita tak lagi bisa. Mulut pun telah letih bersuara. Tak jua sedikit pun diindahkan." Hingga suatu ketika, Buyung pulang ke rumah. Hingga larut malam tak ada tanda ia akan ke Mesjid. Maghrib ia di rumah saja. Sejadahnya terkembang. Tak dilipat. Mak Buyung risau pula. "Tak ke mesjid kau Buyung?" "Tidak lah Mak, Biarlah aku di rumah saja. Makin berat bebanku jika ke sana." Buyung pun menutup pintu kamar pelan. Mak tak melanjutkan. Ia hanya menghelus dada sendiri. Makin malam makin ramai komplek itu. Maklum malam minggu. Di ujung keluarga Yusman menggelar orgen tunggal. Anaknya, si Dona baralek hari besok. Meja-meja dengan kursi di gelar berderet sepuluh set. Minuman berbotol-botol telah disiapkan. Kartu remi dan domino pun telah dibeli. Azan Isya Hendra kalah dengan suara dentaman house music. "Hayya Alassholah," sayup-sayup sampai. Musik kian berdentam-dentam. Lepas Isya, Buyung, Tessa, Adi dan Hendra seperti tergerak untuk berkumpul di mesjid. Mereka sama-sama membuka Al-Qur'an. Surat ke-36 dibacakan bersama. Ada kecemasan dalam bacaan Yassin mereka. Ada ketakutan. Ada keremangan. Ada Tuhan. Tuhan marah. "Greek..." pintu mesjid berderit keras. Mereka tetap melanjutkan bacaan. Tetapi di hati masing-masing saling cemas-cemas. Makin dikeraskan bacaan. Di luar musik baralek tak kalah keras. " Greek..." kali ini diiringi goncangan pelan. Lampu hias seratus lampu itu bergoyang-goyang. Kian keras mereka membaca. Hampir di ayat akhir. "Kun fa ya kuun." Gempa berkekuatan 6,2 skala Righter mengguncang selama sepuluh detik. Rumah-rumah rubuh. Tenda baralek lepas engselnya. Jeritan di mana-mana. Teriakan minta tolong sahut-menyahut. Kejadian alam atau Tuhan yang telah marah? *** fauzi amri [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed]