Adakah sesekali meluangkan waktu untuk sebentar saja merenung tentang
apa-apa yang telah berlalu? Tentang segala yang pernah terjadi di masa
lalu, khususnya berkenaan dengan diri kita sendiri? Jika ya, tentu
semua kita akan tersenyum tatkala lintasan-lintasan peristiwa manis
dan kesuksesan terputar dalam benak. Atau sedih dan sedikit menitikkan
air mata saat teringat kembali kenangan-kenangan yang menyesakkan
dada, tentang seseorang yang telah lama meninggalkan kita, atau apa
pun yang teramat sulit bagi kita melupakannya sebab begitu dalam
menghunjam di hati. Sangat pahit bahkan, pedih pula untuk mengingatnya
kembali.

Namun, kadang kita pun terbahak, senyum-senyum sendirian ketika
berbagai peristiwa bodoh di masa lalu melintas lagi. Saya ingat betul,
hari pertama masuk SLTP. Seragam putih biru yang saya dapat ukurannya
terlalu besar, namun saya memaksakan diri untuk tetap mengenakannya.
Mungkin saking bangganya saya bisa berseragam biru putih setelah
selama enam tahun berseragam merah putih. Celakanya, saya tak memiliki
gesper –ikat pinggang- sehingga di pagi hari sebelum berangkat
kebingungan mencari sesuatu yang bisa dipakai agar celana biru saya
tidak kedodoran.

Singkat cerita, sampailah saya di sekolah dan langsung mengikuti upara
bendera. Upacara bendera pertama saya di sekolah baru, dengan seragam
biru putih yang juga baru. Lantaran postur tubuh saya yang kecil,
sudah lazim ditempatkan di barisan paling depan saat berbaris. Namun
saya menolak, bukan karena saya merasa ada yang lebih kecil dibanding
saya, melainkan karena kemeja putih saya tidak dimasukkan ke dalam
celana. Akhirnya, saya berdiri di baris kedua, di depan saya seorang
anak yang tubuhnya kira-kira sekecil saya.

Entah mimpi apa malam sebelumnya, kepala sekolah melihat anak di baris
kedua di belakang anak lainnya yang tidak memasukkan kemeja putihnya
ke dalam celana biru. Dipanggillah anak itu ke depan, persis di dekat
tiang bendera. Sementara upacara belum dimulai, anak kecil siswa kelas
1F itu melangkah takut dan diminta menghadap ke arah ratusan siswa
lainnya yang mulai terjemur terik pagi. Kepala sekolah meminta anak
itu memasukkan kemeja putihnya ke dalam celana, "upacara tidak akan
dimulai jika kamu belum rapih," kalimat itu masih bisa terdengar
hingga detik ini. Sebab, anak bertubuh kecil itu adalah saya!

Malu, takut ditertawai dan langit serasa tengah runtuh hendak menindih
tubuh kecil yang berdiri di dekat tiang bendera itu. Ratusan pasang
mata tengah menatap, ratusan kepala seolah memasung kaki kecil di
tengah lapangan upacara, ketika saya mengangkat kemeja putih dan
hendak memasukkannya ke celana biru, dan… ratusan tawa pun
menggelegar, memecah langit, membuat si kecil itu menunduk malu tak
tertahankan.

Saya, hari Senin pagi itu, berangkat ke sekolah mengenakan seutas tali
rapiah sebagai ikat pinggang. Saya tidak punya ikat pinggang, namun
saya juga tidak mau kedodoran. Maka tali rapiah pun menjadi pilihan.
Saya merasa bodoh saat itu, merasa tidak berharga dan sangat malu,
menyesal menggunakan tali rapiah sebagai ikat pinggang. Tidak,
teman-teman dan guru yang menertawai saya di Senin pagi itu tak
bersalah. Mereka berhak menertawai kebodohan saya yang menggunakan
tali rapiah itu.

***

Ah, rasanya ingin tertawa terbahak-bahak jika mengingat kembali
berbagai kebodohan di masa lalu. Ya, mungkin saya dan kita semua boleh
tersenyum bahkan tertawa sekeras-kerasnya, karena kebodohan-kebodohan
yang kita lakukan di masa lalu itu boleh jadi karena kita melakukannya
karena kita tidak tahu, tidak mengerti atau belum pernah melakukannya
sebelumnya.

Bagaimana dengan kebodohan-kebodohan yang kita perbuat sesudah kita
banyak tahu, sudah mengerti dan bahkan sebenarnya berkali-kali pernah
melakukannya. Jika seorang anak kecil memasukkan telepon selular milik
Ayahnya ke dalam secangkir kopi, tentu saja itu bukan kebodohan.
Tetapi jika itu dilakukan oleh orang dewasa, bolehlah disebut
something stupid, satu kebodohan yang tidak perlu. Kalau melihat
anak-anak melakukan kekeliruan, siapa pun akan tertawa dan merasa itu
sesuatu yang lucu. Namun jika sebuah kekeliruan dilakukan oleh seorang
berpengalaman misalnya, apakah boleh disebut kebodohan?

Ada orang bijak mengatakan, jika melewati sebuah lorong dan kita
terjerembab ke dalam lubang itu wajar jika itu kali pertama kita
melewati lorong tersebut. Namun jika keesokan harinya melewati lorong
yang sama dan kembali terjerembab, itu lah kebodohan. Sebaiknya kita
senantiasa belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu,
agar kesalahan-kesalahan –dan kalau boleh disebut; kebodohan- di masa
lalu tidak terulang kembali.

Saya yakin, setelah membaca tulisan ini, Anda akan senyum-senyum
sendiri atau sedikit tertawa karena tiba-tiba saja melintas something
stupid di masa lalu. (Gaw)

***

School of Life, Chapter V: Something Stupid

Ceritakan peristiwa-peristiwa masa lalu Anda yang kerap membuat kita
merasa "stupid" dalam forum life sharing di School of Life (SOL).

Minggu, 20 Mei 2007
Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Tempat, Radio SK, Gedung Adhi Graha, Penthouse Floor Suite 1901
Jl. Jend. Gatot Subroto, Kav.56 – Jakarta

Gratis dan daftarkan diri ke email; [EMAIL PROTECTED] dan
[EMAIL PROTECTED]
Info: 08561115545 (Andika), Bayu Gawtama (085219068581)

Kirim email ke