dari teman..


Sega Aking

Sudah seminggu ini Gagas, si kecilku setiap pulang
sekolah selalu mengajakku berdiskusi, tepatnya
menghujaniku dengan pertanyaan. Aku maklum karena dia
sedang getol membaca koran Berani (koran khusus
anak-anak) di sekolah. Dia merasa sok tahu untuk semua
urusan, dari penjahat, film sampai issue politik yang
tidak dimengerti. Yang belakangan selalu ditanya
adalah soal Nasi Aking (yang dalam bhs. Jawa disebut
'sega aking').
'Apa sih nasi aking itu?'.
'Kenapa orang di desa banyak yang makan nasi aking
ya ma?',
'Kenapa kok berasnya nggak ada?',
'Pak SBY makan nasi aking nggak ma di istana?',
'Mama bisa nggak masak nasi aking?'.
Aku berusaha sabar dan memberi pengertian secara
bertahap. Sampai akhirnya suatu malam dia melihat
tayangan sebuah berita soal nasi aking. Tiba-tiba dia
diam tanpa komentar saat melihat 2 orang anak
seusianya makan sepiring nasi aking dibagi berdua
dengan lauk kerupuk kanji.
'Ma, kita punya beras berapa ya?'.
Secara berbisik dia mengutarakan keinginannya untuk
mengirim beras ke desa mereka.

Kejadian itu mengingatkanku pada puluhan tahun silam
saat aku hampir seusianya (8 tahun), menginap di
sebuah panti asuhan. Selama 2 hari menginap,
aku bersama sejumlah teman-temanku ikut makan dan
bekerja seperti anak lain. Makan siang kami berupa
sepiring nasi yang ditaruh di piring plastik,
sepotong kecil tempe dan semangkuk sayur labu.
Aku agak kaget melihat warna nasi yang agak kekuningan,
saat masuk ke mulut dan mengunyah, terasa sangat
'pera', kering dan agak liat. Anak-anak panti itu
mengajariku untuk menuang sayur ke atas nasi.
Setelah diaduk-aduk barulah nasi terasa agak lunak dan
bisa ditelan. Melalui ibuku aku akhirnya aku tahu
kalau nasi yang kumakan adalah nasi aking.
Menjemur nasi yang tak habis dimakan memang sering
dilakukan ibuku. Setelah kering barulah dicampur
dengan biji jagung dan dedak dan sedikit air untuk
pakan ayam dan bebek peliharaan kami.

Setelah sekian puluh tahun tiba-tiba nasi aking
menjadi populer.
Harganya per liter Rp. 2.500,00 dan banyak diburu
orang karena mereka tak mampu membeli beras.
Membayangkan rasa hambar, alot dengan rasa 'ngletis'
keras dan aroma yang asam (kecut), benar-benar
membuat aku prihatin. Apalagi di sebuah seminar
tentang gizi anak, Prof. Sukirman menyatakan bahwa
kita menghadapi kasus serius soal gizi seimbang.
Jumlah anak yang kurang gizi sama banyaknya dengan
jumlah anak yang kelebihan gizi (overweight dan
obesitas). Bagaimana nasib bangsa ini kalau sebagian
besar anak-anak hanya dijejali 4 suap nasi aking per
hari?

Untuk memberi gambaran tentang rasa nasi aking,
pagi tadi aku membuat nasi goreng buat si kecil,
dengan api agak besar sehingga nasi sebagian mengering
dan keras. Si kecilku protes karena nasi gorengnya
keras. Setelah aku jelaskan bahwa itu mirip nasi aking,
dia menangis. Dia mulai mengerti, nasi gorengpun licin
tandas dimakannya!

Semoga keprihatinan panjang yang dialami bangsa ini
cepat berakhir.
Kita bisa mulai berhemat untuk setiap butiran nasi
yang masuk ke dalam mulut. Makan nasi yang kita ambil
atau kita pesan saat makan di restoran, sampai habis.
Menanak nasi secukupnya. Sambil mengingat masih banyak
mulut-mulut kecil yang merindukan butiran nasi setiap
hari. Tuhan pasti tak tinggal diam!



.

















 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke