Bangsa
Ini Memerlukan Zhu
Oleh: Asro
Kamal Rokan (Republika Online)
Xiao
Hongbo telah dihukum mati pekan lalu. Delapan orang pacarnya --yang dibiayai
dalam kehidupan mewah-- mungkin hanya menangisi lelaki berusia 37 tahun. Tidak
ada yang bisa membantunya.
Deputi
manajer cabang Bank Konstruksi China, salah satu bank milik negara, di Dacheng,
Provinsi Sichuan, itu dihukum mati karena korupsi. Xiao telah
merugikan bank sebesar 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar sejak 1998
hingga 2001. Uang itu digunakan untuk membiayai kehidupan delapan pacarnya.
Xiao
Hongbo satu di antara lebih dari empat ribu orang di Cina yang telah dihukum
mati sejak 2001 karena terbukti melakukan kejahatan, termasuk korupsi. Angka
empat ribu itu, menurut Amnesti Internasional (AI), jauh lebih kecil dari
fakta sesungguhnya. AI mengutuk cara-cara Cina itu, yang mereka sebut sebagai
suatu yang mengerikan.
Tapi, bagi
Perdana Menteri Zhu Rongji inilah jalan menyelamatkan Cina dari kehancuran.
Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang
mengatakan, ''Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan
untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.''
Zhu tidak
main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, dihukum mati
karena menerima suap lima juta dolar AS. Tidak ada tawar-menawar. Permohonan
banding wakil ketua Kongres Rakyat Nasional itu ditolak pengadilan. Bahkan
istrinya, Li Ping, yang membantu suaminya meminta uang suap, dihukum penjara.
Wakil
Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, pun tak luput dari peti mati. Hu
terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Ratusan
bahkan mungkin ribuan peti mati telah terisi, tidak hanya oleh para pejabat
korup, tapi juga pengusaha, bahkan wartawan. Selama empat bulan pada 2003
lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat tidak hanya karena menerima suap,
tapi juga berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas
di bawah standar. Agaknya Zhu Rongji paham betul pepatah Cina: bunuhlah seekor
ayam untuk menakuti seribu ekor kera.
Dan, sejak
ayam-ayam dibunuh, kera-kera menjadi takut, kini pertumbuhan ekonomi Cina
mencapai 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestik bruto sebesar
1.000 dolar AS. Cadangan devisa mereka sudah mencapai 300 miliar dolar AS.
Sukses
Cina itu, menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, karena Zhu
serius memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi diikuti dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Zhu mengeluarkan dana besar untuk pendidikan
manajemen, mengirim ribuan siswa belajar ke luar negeri, dan juga mengundang
pakar bisnis berbicara di Cina.
Kini,
lihatlah apa yang terjadi di Indonesia.
Pengangguran terus bertambah,
anak-anak gadis dari desa terpaksa menjadi pelacur di kota, lulusan
SMU menjadi pengamen, anak-anak SD yang malu tidak
dapat membayar uang sekolah, bunuh diri. Ratusan ribu orang tumpah ke
kota-kota karena di desa tidak ada harapan. Ratusan ribu orang menjadi tenaga
kerja di luar negeri, ditipu calo dan disiksa majikannya. Mereka adalah
korban. Koruptor menghisap hidup mereka, bertahun-tahun tanpa ada yang
menolong. Koruptor mengambil hak mereka atas tanah, hak mereka atas air, hak
mereka untuk sekolah, hak mereka untuk berdagang, hak mereka untuk bekerja,
hak mereka untuk mendapatkan layanan, hak mereka untuk kesehatan. Apalagi hak
yang tersisa untuk orang-orang miskin itu?
Pemerintah
bukan penolong orang-orang miskin, terkadang mereka juga mengambil uang dari
orang-orang miskin. Bangsa ini memerlukan orang seperti Zhu Rongji, bukan
pesolek.
Sebab,
inilah keadaan utama Indonesia:
Jatuhkanlah tiga buah batu dari
pesawat udara di wilayah Indonesia, maka yakinlah satu di antara batu itu akan
mengenai kepala koruptor!