GEJALA OTORITARIANISME BARU?
Oleh: Fajrimei A.
Gofar
Sejak jatuhnya Suharto pada bulan
Mei 1998, rejim otoritarianisme dianggap telah berakhir.
Dengan dimulainya era reformasi, sejak itu pula muncul
anggapan bahwa babak baru kehidupan bernegara yang lebih
demokratis muncul. Namun, sebenarnya otoritarianisme ini
belum betul-betul berakhir, tidak hanya kenyataan bahwa
warisan otoritarianisme masih terus berlanjut, ia juga
bertransformasi dalam bentuknya yang baru.
Setelah hampir sewindu era
reformasi berjalan, saat ini gejala-gejala kemunculan
otoritarianisme dalam bentuknya yang baru itu semakin
menguat. Salah satu gejala otoritarianisme baru ini
terlihat dari munculnya peraturan perundang-undangan
yang hendak mengatur moral dan tingkah laku masyarakat.
Contohnya, di beberapa daerah terbit perda-perda anti
pelacuran, anti kumpul kebo dan anti maksiat, yang
isinya lebih banyak mengurusi kehidupan privat
masyarakat ketimbang menjawab persoalan-persoalan dalam
masyarakat. Di antaranya adalah Perda Kota Tangerang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran;
PerdaKota Tangerang Nomor 7
Tahun 2005 tentang minuman keras; Perda Kabupaten
Badung Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Pelacuran; Perda Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Larangan Tempat Pelacuran Dan Perbuatan Cabul; dan Perda
Kota
Banjarbaru Nomor 06 Tahun
2002 tentang Pemberantasan
Pelacuran.
Sementara
daerah-daerah lain sudah mulai untuk menerapkan
peraturan serupa, di antaranya Kota Depok telah
menyiapkan Rancangan Perda anti Maksiat;
begitu pula DKI Jakarta; Kabupaten Purworejo dan
daerah-daerah lainnya.
Dikatakan sebagai gejala munculnya
otoritarianisme baru karena, sama seperti apa yang
terjadi pada masa Orde Baru, pada dasarnya melalui
penerapan standar moral ini diharapkan masyarakat
menjadi patuh dan tunduk secara penuh terhadap kebijakan
Negara. Melalui standar moral tertentu, masyarakat
diatur baik dalam cara bertingkah laku, berbicara,
bahkan dipaksa untuk menerapkan standar-standar moral
tertentu dalam setiap kehidupannya.
Otoriarianisme baru ini memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan otoritarianisme
Suharto, walaupun tujuan akhirnya tetap sama, yaitu
menghendaki strick obedience dari masyarakat.
Otoritarianisme Suharto langsung menguasai pucuk
kekuasaan untuk mendominasi. Sedangkan otoritarianisme
baru ini muncul di kantung-kantung tertentu dengan
memberlakukan standar moral satu kelompok terhadap
seluruh masyarakat. Pada akhirnya pemberlakuan standar
moral ini akan menuju pusat kekuasaan untuk menghegemoni
masyarakat secara keseluruhan.
Setelah mengambil pucuk kekuasaan,
otoritarianisme Suharto menjadikan kekuatan bersenjata
sebagai alat kontrol dan menguasai segala aspek
kehidupan. Sementara otoritarianisme baru menggunakan
peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk
menghegemoni kehidupan masyarakat. Dilukiskan bahwa
moral masyarakat telah sedemikian rusak dan perbuatan
maksiat ada di mana-mana. Hal ini dianggap sebagai
ancaman terhadap moral bangsa sehingga harus dilawan dan
diberantas dengan penerapan standar-standar moral
tertentu. Untuk memaksa masyarakat menerapkan standar
moral tersebut, maka dibentuklah peraturan
perundang-undangan yang memuat pemberlakuan standar
moral itu. Setelah masyarakat dihegemoni dengan
standarisasi moral itu, timbullah kepatuhan dan
ketundukan. Akhirnya masyarakat akan semakin mudah untuk
dikontrol segala aspek kehidupannya.
Untuk meyakinkan bahwa standar
moral tersebut dapat diterapkan, institusi-institusi
dipelihara. Maka terbentuklah kekuatan-kekuatan sipil
bersenjata yang dapat melakukan kekerasan yang dianggap
dibenarkan. Sementara aparat keamanan yang sah tak
berbuat apa-apa alias diam.
Dalam kondisi Indonesia sekarang
yang kepercayaan terhadap pemerintahan yang sah tidak
begitu kuat, sementara permasalahan dalam semua aspek
kehidupan bernegara belum kunjung terselesaikan, korupsi
merajalela, maka standarisasi moral berdasarkan ideologi
tertentu dianggap pintu yang relative mudah untuk
mempengaruhi masyarakat. Dengan
menerapkan standar moral itu dijanjikan bahwa kehidupan
bernegara akan lebih baik, moral masyarakat dan pejabat
Negara menjadi lebih baik. Apalagi dengan memakai
ideologi tertentu yang menjadi mayoritas dan diamini
oleh masyarakat.
Dalam era reformasi ini, untuk
menciptakan kehidupan bernegara yang lebih baik,
tantangan Indonesia bukan saja mengikis habis sisa-sisa
otoritarianisme Suharto. Tetapi mewaspadai juga
kemunculan bentuk otoritarianisme baru yang
gejala-gejalanya mulai terlihat. Penyiapan-penyiapannya
telah dilakukan, instrumen-instrumen hukum telah dan
akan terbentuk, institusi-institusi politik terus
menguat, sayap-sayap kekerasan mulai melakukan
aktivitasnya, dan masyarakat mulai
terhegemoni.
Dalam ekstrim lain, bukan tidak
mungkin otoritarianisme baru ini muncul kembali dalam
cara-cara yang represif seperti pada masa Orde Baru
ketika kekerasan dilakukan atas nama kepentingan negara.
Hanya kali ini, kekerasan dilakukan atas nama moralitas
tertentu. Inilah awal bentuk baru otoritarianisme di
Indonesia saat ini, kontrol dan kekerasan atas nama
moral. Akhirnya, Indonesia kembali terjerembab dalam
kehidupan bernegara yang buruk. Pelanggaran hak asasi manusia dan
pengabaian-pengabaian hak masyarakat dianggap sah-sah
saja, karena dianggap bertentangan dengan moral yang
telah distandarisasi. Saat ini, kecendurangan itu
sudah mulai terjadi. Sweeping-sweeping ke
tempat-tempat yang dianggap tidak bermoral;
penyerbuan-penyerbuan dan perusakan; bahkan kekerasan
yang mengancam kehidupan berdemokrasi.
Dalam konteks ini, jika dilihat
lebih jauh, munculnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
(APP) bukan sekadar ancaman terhadap hak-hak perempuan
maupun pluralisme di Indonesia. Tetapi merupakan suatu
gejala munculnya otoritarianisme baru yang dapat
mengancam kehidupan demokrasi yang dicita-citakan dalam
era reformasi.
***