Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 96 Tahun IV - 2008 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- MENGENANG KEPERGIAN PAK HARTO Oleh Nining Elitos Tujuh hari berlalu sudah. Mantan penguasa orde baru itu, meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) untuk yang terakhir kalinya. Irama duka, menyayat-nyayat, mengiringi perjalanan alm.H M Soeharto sampai ke peristirahatannya yang terakhir. Utamanya, anak-anak, mantu, kerabat, yang disebut-sebut bagian keluarga Cendana. Pak Harto kembali men! dampingi ibu Tien Soeharto, dalam pemakaman. Astana Giri Bangun, Karang Anyar, mendadak kembali menjadi pusat perhatian jutaan pasang mata, manusia sedunia. Sebuah prosesi penguburan sebagaimana lazimnya, nampak tidak seperti biasanya. Selama tujuh hari berturut-turut, terdapat kesan aneh yang memancar. Selain luar biasa. Ada yang mengernyitkan dahi tak keruan. Ada pula yang tersenyum puas, sambil berlagak turut kehilangan. Tentu saja ! orang-orang "pelengkap" rejim absolute,! tempo l alu. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban keganasan, menyimak tak habis pikir. Dimulai dari parade terorganisir sejak Soeharto terbaring di bangsal VVIP RSPP. Semua orang bergelar pejabat, bekas pejabat, dalam dan luar negeri menengoki kondisi kesehatan Soeharto ketika di rumah sakit. Sampai-sampai Ketua DPR RI, Agung Laksono, yang juga Ketua Golkar, tiba-tiba menggelar press conference sendirian di halaman RSPP, menyatakan pemberian maaf kepada Soeharto. Tak jelas. Padahal DPR sendiri tidak pernah membuktikan kesalahan apa, yang diderita Soeharto. Hingga diberi maaf pas dini hari. Paska merapatkan perkembangan kondisi terakhir ! kesehatan Soeharto di gedung dewan. Acara pemanjatan doa dan pemasangan tenda, sekaligus membuka akses masyarakat Solo, mengonsentrasi Daleman Kalitan. Kontan saja, kabar meninggalnya "bapak pembangunan" ini, merobek-robek sejumlah pemberitaan media, yang sedang hangat mengangkat issue bencana, kerusuhan pilkadal, jerit rakyat akibat kelangkaan minyak tanah, dan tempe di pasaran. Selama seminggu itu pula, layar televisi tak ada habis-habisnya mengemas pemberitaan Soeharto dalam prasangka berlebihan. Peran media, menjadi alat propaganda dominan, efektif, memaksa o! pini sosok Soeharto menggugahi kesadaran masyarakat untuk ! m engenangnya kembali. Setidaknya, media massa justru ikut menuntut masyarakat agar melihat Soeharto ke dalam tiga hal; Pertama, membongkar kembali peran dan jasa-jasa Soeharto. Kedua, merebut kembali simpatik rakyat. Ketiga, upaya penghapusan "dosa" di masa lalu. Begitulah "warna" beberapa media di republik ini. Sibuk, dan nyaris terlihat tanpa arahan konsep mencerdaskan rakyat dalam publikasinya. Tidak ada ! tinjauan kritis. Baik media yang lahir di luar jaman Soeharto, media yang mengalami pembatasan ruang geraknya, bahkan media yang pernah dibredel saat Soeharto berkuasa. Tak percaya? Kita tunggu saja buah karya sejarawan, atas hasil verifikasinya. Pembanding sejarah Bung Karno berkata, "jangan sekali-kali melupakan sejarah". Jas Merah! Sepertinya aktifitas semua ini, sebagai penanda loyalitas sekaligus bermaksud menghadiahi alm. H M Soeharto, keluarga Cendana, berikut kekuatan orbais. Dengan penguburan Soehar! to, juga mengupaya membenamkan semua fakta sejarah ! kelabu d i masa lalu. Peliputan tabur bunga, menyemerbak puji-pujian, atas pemerintahan Soeharto di masa orde baru. Jasa Soeharto semasa hidup yang pernah dinikmati para kroni, kini terbayar lunas. Jasa dibalas jasa. Menyuguhkan bukti bahwa para kroni orde baru, masih mengakar dalam sistem kekuasaan hari ini. Kepergian Soeharto telah berlangsung sangat menyejarah. Mengenang sejarah lama, rasanya tak pantas kalau belum membandingkannya dengan kepergian Bung Karno. Mereka berdua menjadi catatan sejarah kedua presiden yang telah mangkat di negeri ini. Jauh sebelum peristiwa sekarang, Soekarno dikabarkan harus menghirup udara bebas di ruang terisolir. Me! dia massa tidak diperkenankan meliput sembarangan progress report kondisi kesehatan si Bung, yang menurun paska Gestok 1965. Sampai di akhir hayat, perjalanan ke pemakaman Si Bung, nampak hanya kejadian biasa saja. Upacara pemakaman di Blitar, dalam peran negara yang minimalis. Tidak ada pengibaran Merah Putih setengah tiang, selama seminggu. Tidak ada tayangan televisi, berjudul "Selamat Jalan Soekarno", persis yang dilakukan Metro TV selama sepekan baru-baru ini (Selamat Jalan Soeharto). ! Bukan cuma itu saja. Saat ini di masyarakat, banyak nomor-nomor handphone diserbu layanan pesan pendek -SMS- berbunyi "turut mendoakan Soeharto". Dari anak-anak Soeharto, plus imbalan, akan terisi sekian rupiah pulsa, apabila meneruskan ke nomor-nomor handphone lainnya, sejumlah yang tertera. Bahkan, antrian sembako masyarakat di Solo, bisa terlihat di layar kaca seluruh nusantara. Semua ini berkat anak-anak Soeharto. Dan peran media yang tergoncang independensinya. Ahistoris, dan seolah apolitis! Sejarah panjang perjuangan rakyat melawan kekuasaan tangan besi yang korup, digergaji d! alam sekejab. Kira-kira dua bulanan ini. Kelompok-kelompok yang menamakan dirinya pendukung, dan pengenang jasa-jasa Soeharto, belumlah terpuaskan. Belum dapat menyematkan gelar tanda jasa "kepahlawanan nasional", supaya terukir di batu nisan mantan penguasa otoriter 32 tahun itu. Jelas berkebalikan, mantan presiden Soekarno, harus membawa mati "pemberian negara" Tap MPRS No XXXIII/1967. Lebih menyedihkan lagi, di pekuburan Astana Giri Bangun, SBY berlaku sebagai inspektur upacara pemakaman. Pemerintahan SBY-JK terkesan melakukan proses pembiaran atas ketidakadilan sejarah, mengimbas pada pemahaman ! masyarakat. Wujud kepahlawanan nasional kian kabur dalam definisi yang semestinya. Misalnya saja, tokoh Amien Rais. Masih segar di ingatan kita, penyandang gelar "pahlawan reformasi" satu dekade-an ini, setelah menghujati Soeharto, meneriakkan pengadilan Soeharto, belum genap sepuluh tahun, menjadi sosok pemaaf luar biasa. Hangat-hangat pemberian gelar pahlawan nasional, jelas-jelas bukan berarti tanpa julukan. Misalnya saja, pahlawan kemerdekaan. Seorang pejuang yang telah gugur dalam revolusi kemerdekaan. Pahlawan produksi, mereka yang sehari-hari bekerja di pabrik. Meski sering mendapat perlakuan tak layak. Pahlawan kesiangan, mereka yang bermunculan pada situasi gejolak perjuangan, hampir menyurut. Pemberian gelar pahlawan nasional seolah diburu-buru. Mengenang kepergian Pak Harto, tetap saja menyisakan ketidakadilan yang kompleks. Sama saja dengan pelabelan pahlawan reformasi, yang diburu eforia reformasi 1998. Kalau tokh..kenyataannya akan dikenang sebagai, pahlawan gadungan! *Penulis adalah Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Ra! kyat dari Simpul Jabodetabek. [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, Bangun Sosialisme! Situs Web: http://www.indomarxist.co.nr/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/