Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 25 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  POTRET REFORMASI TNI 2006



                  Oleh; Mouvty Makaarim A.*





                  Sepanjang Tahun 2006, sejumlah agenda transisi demokrasi 
terkait dengan reformasi sektor keamanan, khususnya TNI berjalan 
tersendat-sendat. Kemajuan yang dicapai di bidang legislasi misalnya masih 
disusuli dengan sejumlah kemunduran, terutama terkait dengan ketidakjelasan 
sikap dan keputusan politik pemerintah melakukan perubahan yang konsisten di 
sektor ini. Pemerintahan SBY-JK masih menjalankan reformasi TNI yang parsial 
dan atributif, sesuai dengan dinamika kepentingan politik ketimbang 
mengembangkannya sesuai arah pembangunan pertahanan negara yang mensyaratkan 
perbaikan dan pengembangan profesionalitas TNI.



                  Secara umum, dapat dikatakan bahwa tahun 2006 ditandai 
kemajuan normatif di pada tataran legislasi di level nasional dan daerah, 
terbentuknya lembaga-lebaga ekstra-judicial untuk menguatkan fungsi kontrol 
terhadap negara, serta pemilu yang lebih terbuka yang mendorong lahirnya 
politisi-politisi sipil baru di level yudikatif, legislatif dan eksekutif. 
Namun, negara secara makro masih belum maksimal melaksanakan, mengawasi dan 
mengevaluasi implementasi dari pelbagai kebijakan tersebut. Kinerja 
eksekutif-legislatif-yudikatif cenderung merupakan hubungan-hubungan gelap 
bernuansa kolusi dan kompromi, terutama terkait dengan tindakan politik dan 
hukum yang membawa konsekuensi-konsekuensi pada aliansi kepentingan elit dan 
jaringannya, termasuk TNI. 



                  Sementara dalam kasus reformasi TNI secara khusu s, kondisi 
ini ditunjukkan dengan fenomena impunity terhadap pelanggaran HAM dan kejahatan 
yang melibatkan aktor-aktor keamanan, 'tebang pilih' penyelesaian kasus-kasus 
korupsi dan kejahatan ekonomi yang tidak menyentuh institusi keamanan, belum 
tuntasnya pengembangan profesionalitas dan independensi institusi dari praktek 
politik dan ekonomi, serta ketidakjelasan arah pengembangan postur insitusi TNI 
ke depan. 



                  Tulisan ini akan memaparkan secara ringkas bagaimana dinamika 
kerja pemerintah dalam mendorong reformasi sektor keamanan, khususnya pada 
institusi militer (TNI) sepanjang tahun 2006 terkait dengan pandangan di atas. 
Pada  bagian penutup, tulisan ini memberikan kesimpulan dan rekomendasi 
proyeksi 2007 terkait dengan perbaikan dan keberlanjutan upaya reformasi TNI, 
utamanya merujuk pada sinergitas agenda reformasi 1998 dan arah transisi 
demokrasi yang ingin dibangun.  



                  Masalah-masalah Reformasi TNI 2006: Ketika Biduk Kehilangan 
Arah 

                  Agenda reformasi 1998 adalah menjauhkan TNI dari 
praktek-praktek yang menyimpang sebagaimana di masa Soeharto, mendorong 
pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap pelbagai kejahatan 
dan pelanggaran, serta memastikan terbentuknya militer profesional sebagaimana 
dimaksud UU No 34/2004 Tentang TNI, sebagai, "tentara yang terlatih, terdidik, 
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan 
dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang 
menganut prinsi p demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan 
hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi". 



                  Merespon tuntutan reformasi tersebut, TNI mengembangkan 
tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran mereka, termasuk peran politik 
dan penegakan keamanan. Paradigma baru TNI menyatakan peran mereka di masa 
depan tetap tidak dapat dipisahkan dari keterpaduan peran pertahanan keamanan 
negara dan pembangunan bangsa. Pandangan-pandangan konservatif TNI muncul dalam 
pernyataan seperti, ...memarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti 
mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus 
memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri 
TNI.[1] Pandangan ini berkembang dalam rumusan peran sosial-politik TNI yang 
tidak selalu harus di depan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, dari 
mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political 
and role sharring dengan komponen bangsa lainnya.[2]



                  Diakui, TNI 'secara insitusional' memberikan respon cepat 
terhadap kritik dan tuntutan reformasi yang diarahkan lebih keras kepada mereka 
dibandingkan institusi lain dengan menyatakan merubah paradigma, peran, fungsi 
dan tugas, meski secara sub stansial sebenarnya tidak ada yang berubah 
sebagaimana tercermin di atas. Pemerintah juga memberikan respon terhadap 
kritik dan tuntutan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pemisahan TNI dan 
Polri (Tap MPR No.VI/2000), pengaturan peran TNI dan peran Polri (Tap MPR 
No.VII/2000), UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang 
TNI. Termasuk amandemen UUD 1945 yang kembali menegaskan fungsi pertahanan TNI 
di bawah kontrol otoritas politik sipil. 



                  Sampai dengan 2006, respon cepat perubahan paradigma TNI dan 
legislasi-legislasi baru tersebut belum efektif mempengaruhi perubahan kultur, 
pertanggungjawaban hukum, bahkan profesionalitas di tubuh mereka. Reformasi TNI 
yang berjalan formal telah kehilangan arah dan menimbulkan persoalan-persoalan 
di atas, ditunjang dengan ketidakseriusan pemerintah memastikan perwujudannya 
dan keengganan melakukan pengawasan dan mengambil tindakan tegas atas 
penyimpangannya. Fakta ini menunjukkan bahwa otoritas politik sipil gagal 
memisahkan antara kebutuhan mereformasi TNI dan kebutuhan pemerintah memperoleh 
dukungan TNI untuk setiap kebijakan strategis tertentu. Kebutuhan publik atas 
peran TNI di bidang keamanan juga digunakan sebagai cara lain menutup peluang 
diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM, tindak pidana umum, bahkan 
kejahatan ekonomi yang melibatkan personil TNI.  



                  Terkait dengan penegakan hukum (rule of law) di atas 
misalnya, TNI masih menggunakan pengaruh dominannya sebagaimana di masa lalu 
pada setiap proses hukum yang melibatkan aparatnya. Akibatnya, tidak satu pun 
kasus-kasus yang melibatkan TNI diselesaikan secara adil dan akuntabel. Dalam 
hal ini ins itusi TNI melanggengkan praktek impunity dengan mempertahankan 
aparatnya yang 'melanggar hukum' pada posisi-posisi strategis dengan dalih 
otonomi TNI dalam mekanisme promosi dan mutasi perwira, serta menggunakan 
pengadilan militer untuk menghindar dari upaya koreksi melalui sistem hukum 
nasional, termasuk pengadilan HAM. TNI belum menjadi institusi yang tunduk pada 
hukum melahirkan ketidaksamaan di muka hukum (inequality before the law) antara 
personil TNI dan warga sipil.



                  Upaya pemerintah mengambilalih bisnis TNI pun lambat dan 
bertele-tele. Proses pengajuan rancangan Keppres pembentukan tim khusus 
inventarisasi bisnis di lingkungan TNI, pembentukan kelompok kerja, 
surat-menyurat Menteri Pertahanan (Menhan) ke Panglima TNI dan Kepala-kepala 
Staf Angkatan, hingga verifikasinya menghabiskan waktu hampir 2 tahun sejak 
disahkannya UU TNI pada tahun 2004. Informasi angka bisnis yang diambilalih pun 
simpang siur, mulai dari sekitar 219 unit, hingga angka 900 sampai 1000 unit, 
dan terakhir 1.520 unit.[3] Terkait Keppres, Menhan Juwono Sudarsono menyatakan 
akan terbit April 2006, menunggu hasil supervisi Menteri Negara BUMN.[4] Pada 
kesempatan lain Juwono menyatakan Keppres tersebut akan diumumkan bersamaan 
dengan pidato tahunan Presiden pada 16 Agustus 2006. Faktanya, sampai saat ini 
pengumuman Keppres tersebut belum terrealisasi. 



                  Ini baru pada bisnis yang dipandang 'legal', diakui atau 
tercatat, baik di institusi TNI atau di pemerintah. Sementara disinyalir 
militer juga masuk pada wilayah bisnis 'abu-abu' atau bahkan ilegal/kriminal. 
Sebagai contoh, kasus uang jasa keamanan perusahaan pertambangan Amerika 
Serikat yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.kepada 
Kodam Trikora, kasus illegal logging oleh perwira tinggi TNI, pejabat 
pemerintah dan aparat penegak hukum di Papua antara 2002-2004, serta kasus 
ditemukannya 185 pucuk senjata api berbagai jenis di kediaman Wakil Asisten 
Logistik KSAD, almarhum Brigjen Koesmayadi.[5] 



                  Sepanjang tahun 2006, pengadaan alat-alat militer cenderung 
inkonsisten dan tidak mengacu pada pengembangan postur pertahanan. Menghadapi 
embargo Amerika Serikat, pemerintah membeli persenjataan produksi negara-negara 
Eropa, meski dengan harga sangat mahal atau kualitas kurang memadai karena 
merupakan barang bekas pakai. Problemnya, hampir seluruh pengadaan tersebut 
menggunakan fasilitas kredit ekspor yang setiap tahunnya dialokasikan untuk 
Dephan dan Polri. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas 
setiap tahun mengalokasikan US$ 500 juta untuk pengadaan dan pembiayaan militer 
dengan alasan tidak adanya skema pinjaman lain dari donor bilateral atau 
multirateral yang diperbolehkan membiayai pembiayaan tersebut. Artinya, diluar 
budget APBN untuk anggaran pertahanan, militer memperoleh sumber-sumber 
keuangan lain yang menambah beban hutang ne gara.[6]



                  Padahal tahun 2005 pemerintah menyatakan menangguhkan 
pembelian peralatan tempur TNI, kecuali untuk alat-alat transportasi seperti 
suku cadang pesawat angkut Hercules atau pesawat Hercules bekas jenis C-130, 
dengan pertimbangan dalam 5-10 tahun mendatang Indonesia membutuhkan dana 
sangat besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami. Pada 
kesempatan lain, pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan pertahanan 
dengan titik berat pada pemenuhan kekuatan minimum yang diperlukan (minimum 
required essential force), dimana pemerintah tidak membeli alat utama sistem 
persenjataan (alutsista) yang sebetulnya tidak atau belum dibutuhkan.[7] 



                  Sementara itu, DPR mengaku sulit mengawasi anggaran militer 
untuk pembelian alutsista TNI, lantaran minimnya data dan terbatasnya 
pengetahuan perihal persenjataan TNI.[8] Sebagai akibatnya, pengadaan alutsista 
rawan praktek korupsi dan perdagangan gelap, seperti pada kasus kredit ekspor 
senilai US$ 3.24 juta untuk pembelian 4 helikopter M-17 untuk TNI AD yang 
melibatkan 2 jenderal di atas bintang 2, kasus tertangkapnya 2 per wira 
menengah TNI AU dan rekanan TNI dalam pengadaan persenjataan di Honolulu serta 
terungkapnya 'koleksi' tidak wajar senjata Wakil Asisten Logistik KSAD almarhum 
Brigjen Koesmayadi. 



                  Peran strategis Departemen Pertahanan (Dephan) untuk 
melakukan kontrol secara efektif terhadap TNI sepanjang tahun 2006 juga 
dipertanyakan, karena cenderung di atas kertas. TNI relatif sebaliknya, dominan 
mempengaruhi kebijakan Dephan, baik dalam hal threat assesment, pengembangan 
postur pertahanan, struktur, gelar kekuatan, peralatan dan anggaran. Banyak 
aktifitas TNI berada di luar kendali Dephan, yang akhirnya hanya mengurusi 
pembiayaan negara dan administrasi mereka. Dalam soal-soal pengadaan senjata, 
logistik dan pembiayaan operasional misalnya, TNI masih leluasa berhubungan 
langsung dengan pihak-pihak ketiga. Ketika tindakan 'ilegal' demikian terungkap 
ke publik, Dephan pun 'berfungsi' mencuci kesalahan tersebut dengan memberikan 
respon yang cenderung 'menyelamatkan' citra TNI ketimbang mengkoreksinya.



                  Dalam kasus revisi UU peradilan militer misalnya, Dephan 
cenderung bersikap kontraproduktif melindungi kepentingan militer ketimbang 
mengawal dan meloloskan pembahasannya di DPR. Menhan secara terbuka menunjukkan 
keberpihakannya pada sikap konsevatif segelintir kalangan militer yang masih 
ingin mendapat previledge dengan menghindari status equality before the law 
sebagaimana kalangan sipil. Sebagai representasi dari otoritas politik sipil, 
Menhan seharusnya faham, bahwa pembahasan RUU Peradilan Mi liter yang 
memperjelas yurisdiksi tindak pidana dan pelanggaran disipliner oleh prajurit 
TNI adalah kelanjutan dari TAP MPR No VII Tahun 2000 Tentang Peran TNI dan 
Polri serta UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Argumen prihal ketidaksiapan 
aparat hukum sipil dan sistem hukum yang ada untuk mengadili kalangan militer 
sangat tidak relevan. 



                  What Next: Proyeksi Reformasi TNI 2007

                  Dapat disimpulkan bahwa diskursus reformasi TNI di tahun 2006 
cenderung mengalami krisis seiring meningkatnya kebutuhan beraliansi akan 
kekuatan bersenjata tersebut terkait dengan isu-isu kontemporer seperti 
sparatisme, terorisme, fundamentalisme pasar, dan bahkan stabilitas keamanan, 
politik dan ekonomi sebagaimana di masa Orde Baru. Sebagai contoh krisis ini 
adalah permintaan Presiden SBY pada peringatan Hari TNI 5 Oktober 2006 agar TNI 
dilibatkan dalam menghadapi terorisme. Pernyataan ini lalu direspon TNI dengan 
mengaktifkan kembali komando teritorial. Kondisi ini memperlihatkan bahwa isu 
terorisme telah merubah posisi TNI yang semula ditempatkan sebagai 'aktor 
bermasalah' sehingga harus direformasi menjadi 'aktor penting' melawan 
terorisme. 



                  Kalangan TNI sendiri cenderung concern pada soal-soal hak 
pilih TNI, pengalihan bisnis militer, Komando Teritorial dan perannya dalam 
kontra-terorisme, kedudukan TNI di bawah Departemen Pertahanan, serta Peradilan 
Militer, yang notabene juga merupakan isu politik p ublik yang potensial 
menguntungkan atau 'menggerogoti' previledge mereka, sehingga opini yang 
dikembangkan cenderung bias kepentingan TNI. 



                  Menghadapi kondisi ini, proyeksi reformasi TNI 2007 harus 
dapat dikembalikan sesuai arah yang diinginkan gerakan reformasi 1998, yaitu 
penarikan total TNI dari peran-peran politik dan ekonomi, pertanggungjawaban 
hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran oleh aparat TNI, dan pengembangan 
profesionalitas sebagai kekuatan pertahanan. Tanpa paradigma ini, maka isu 
reformasi TNI akan menjadi semacam kamuflase politik menghadapi tekanan publik. 

                  Titik tolak konstitusi dan UU menjadi penting untuk 
memastikan arah dan konsistensi reformasi TNI. Pemerintah bersama-sama parlemen 
hendaknya menyadari bahwa pentingnya reformasi TNI terkait erat dengan 
pembangunan kekuatan pertahanan kita yang tidak akan pernah terwujud tanpa 
perbaikan di tubuh TNI. Termasuk dengan memperkuat peran Dephan sebagai 
perpanjangan tangan Presiden.



                  Kalangan masyarakat sipil pun dituntut untuk memperkuat 
tekanan, baik terkait dengan evaluasi terhadap dinamika reformasi TNI maupun 
terhadap resistensi yang berkembang di kalangan pemerintah dan TNI sendiri 
terhadap isu-isu reformasi. Paling tidak, capaian minimal pada tahun 2007 
adalah menguatkan peran kontrol otoritas politik sipil atas TNI, berkembangnya 
mekanisme dan akuntabilitas TNI, serta penempatan  fungsi dan tugas secara 
proporsional dengan tidak lagi melibatkan mereka pada kegiatan politik dan 
ekonomi. 



                  Terkait dengan pertanggungjawaban hukum TNI, memang masih 
sangat berat, namun bukan berarti tidak mungkin. Pembahasan UU Peradilan 
Militer harus dipastikan tidak lagi menempatkan TNI sebagai subjek hukum atas 
segala bentuk pelanggarannya. Semua pihak harus mendesak pembatasan ruang 
lingkup peradilan militer khusus untuk pelanggaran-pelanggaran militer. Terkait 
dengan tindak pidana, perdata dan pelanggaran HAM, TNI  tunduk pada peradilan 
umum. Sehingga kedepan, upaya menghadapkan aparat TNI ke muka hukum tidak lagi 
menghadapi hambatan 'politis' peradilan militer.



                  Praktek-praktek bisnis militer, korupsi dan 
pengadaan-pengadaan yang menyalahi prosedur harus tetap mendapat kritik, antara 
lain melalui publikasi, penelitian dan bentuk-bentuk advokasi lainnya. Tanpa 
upaya-upaya semacam ini oleh kalangan masyarakat sipil, maka 
kejahatan-kejahatan ekonomi semacam ini tetap menjadi mitos yang tak pernah 
bisa dikoreksi. 


                    
--------------------------------------------------------------

                  * Penulis adalah Sekjen Federasi Komisi Untuk Orang Hilang 
dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa 
Rakyat dari Simpul Jabodetabek

                  [1] Markas Besar TNI, "Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah Upaya 
Sosialisasi)" (Markas Besar TNI, Edisi III Hasil revisi, Juni 1999), h. 2-7

                  [2] Ibid., h. 21-23

                  [3] "900 Unit Bisnis TNI Terpetakan" Republika 25 Februari 
2006, "Pemerintah Bentuk Pengelola Bisnis TNI" Koran Tempo 3 Maret 2006, 
"Bisnis TNI Dijadikan 7 Perusahaan" Republika 8 Maret 2006, "Bisnis TNI yang 
Diverifikasi Sudah 1.520 Unit" Republika 14 Maret 2006  

                  [4] "Keppres Bisnis Militer Paling Lambat April 2006", Sinar 
Harapan 29 Desember 2005

                  [5] "NGOs accuse TNI, officials in biggest timber heist ever" 
The Jakarta Post 18 Februari 2005, "Security payment by Freeport trigger U.S 
govt inquiry" The Jakarta Post 19 Januari 2006. Kasus Koesmayadi diurai 
mendalam pada 2 edisi majalah Tempo secara berturut-turut, yaitu edisi  
"Warisan Maut Jenderal Koes", Tempo Edisi 3-9 Juli 2006, dan "Jenderal di Luar 
Jalur", Tempo Edisi 10-16 Juli 2006. Perihal uang jasa keamanan Feeport dapat 
dilihat di laporan Global Witness, "Paying For Protection, The Freeport mine 
and the Indonesian Security forces" Juli 2005. Sedangkan kasus illegal logging 
yang melibatkan kalangan perwira TNI, lihat laporan Environmental Investigation 
Agency/Telapak, "The last Frontier; Illegal logging in Papua and China's 
massive thimber theft", London/Jakarta, Februari 2005   

                  [6] "Kredit Ekspor TNI dan Polri Dievaluasi" Suara Pembaruan 
28 Februari 2006 

                  [7] Usulan pembelian yang ditarik dari Komisi Pertahanan DPR 
antara lain adalah satu skuadron pesawat tempur Sukhoi (16 unit) dan 24 unit 
helikopter senilai lebih dari 8 trilyun. Lihat "Pemerintah Tangguhkan Semua 
Pembelian Alat Tempur TNI" Koran Tempo 8 Januari 2005, "Pemerintah Akan Beli 
Dua Hercules Bekas" Koran Tempo 12 Januari 2005, "Presiden Akui Kekuatan 
Pertahanan Serba Kurang" Kompas 27 Januari 2005

                  [8] "DPR Kesulitan Awasi Pembelian Senjata" Koran Tempo 24 
Desember 2005




                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     



[Non-text portions of this message have been removed]



Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, 
Bangun Sosialisme!

Situs Web: http://come.to/indomarxist
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke