Saya kuatir kalau penyelesaIan kasus korban 65 maupun kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya, Indonesia terpengaruh dengan hukum di negeri Arab: pelaku(ump. pembunuh) bisa berdamai dengan keluarga terbunuh(korban) dengan cara membayar dengan sejumlah uang yang ditentuntukan oleh pihak korban(terbunuh) hingga pembunuh bisa dibebaskan dari hukuman mati bila ada persetujuan antra pihak pembunuh dengan pihak keluarga korban(terbunuh). Ini termasuk penyelesian hukum secara kekeluargaan. Apakah ini yang dimaksudkan “Rekonsiliasi” yang diajukan oleh negara terhadap korban 65 dan para pelanggar HAM berat di Indonesia?. Bila YA, maka diskusi besar akan dimulai dengan tanpa batas waktu alias diskusi abadi. ASAHAN AIDIT
From: Salim Said Sent: Monday, April 04, 2016 12:53 PM To: Group Diskusi Kita ; alumnas-oot ; alumnilemhana...@yahoo.com ; group-indepen...@googlegroups.com ; ranakus...@yahoo.com ; benny susetyo Subject: Fwd: Tuntaskan Tragedi 1965 Melalui Penegakan Hukum, Bukan dengan Kekeluargaan Ada yang punya waktu dan bersedia menggapi posting sdr Teddy Sunardi dan utjen Marching di bawah ini? Mungkin menarik kalau Romo Magnis bersedia "turun tangan" urun rembuk. ---------- Forwarded message ---------- From: TS <teddysuna...@gmail.com> Date: 2016-04-03 14:57 GMT+07:00 Subject: Re: Tuntaskan Tragedi 1965 Melalui Penegakan Hukum, Bukan dengan Kekeluargaan To: Group Diskusi Kita <diskusi-k...@googlegroups.com> Bisa dibayangkan kalau para penjahat perang NAZI yang diadili di Nuremberg pada tahun 1946 diselesaikan kejahatannya secara kekeluargaan, atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Rwanda diselesaikan secara kekeluargaan, kejahatan terhadap kemanusiaan di Yugoslavia diselesaikan secara kekeluargaan, kejahatan perang Vietnam di My Lai diselesaikan secara kekeluargaan. Sebelum menyelesaikan sesuatu secara kekeluargaan para pengaju hal ini seharusnya sedikit belajar hukum pidana yang berlaku di Indonesia (atau dimana saja sama) yakni pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara tergantung kepada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Contoh delik laporan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) misalnya delik pembunuhan (Pasal 338), pencurian (Pasal 362), dan penggelapan (Pasal 372) dan perlu diketahui bahwa pasal-pasal ini isinya sama persis dengan isi pasal-pasal yang berlaku dimanapun didunia yakni pembunuh tetap adalah pembunuh, maling tetap adalah maling dan penggelap tetap adalah penggelap disitulah sebenartnya dapat dilihat bahwa isi daripada hukum Pidana di Indonesia sebenarnya sederajat dengan isi daripada hukum pidana didunia manapun. Dalam hal ini peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa pembunuhan dalam skala besar. Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Contoh delik aduan misalnya perzinahan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), dan penggelapan/pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHP). Menurut Pasal 75 KUHP orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Pertanyaannya sekarang apakah dalam suatu pembunuhan massal bisa kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan? Tentunya tidak bisa… sebab dalam tindak pidana pembunuhan proses hukum terhadap tersangka akan tetap berjalan walaupun seandainya pihak keluarga korban sudah memaafkan tersangka karena yang meninggal itu bukan ayam atau kambing melainkan manusia. Jadi, pada dasarnya dalam tindak pidana yang termasuk delik biasa/delik laporan walaupun korban tindak pidana tersebut telah memaafkan pelaku, proses hukum akan tetap dijalankan. Adapun tindak pidana yang masih dimungkinkan diselesaikan dengan cara damai atau kekeluargaan adalah tindak pidana yang termasuk delik aduan seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan,pencurian/penggelapan dalam keluarga, dan delik aduan lainnya. Jadi sebenarnya sebelum para "PAKAR" menggunakan kata kekeluargaan dia harus berhati-hati, karena hal ini menyangkut hidup manusia. Seharusnya pihak negara menunjukkan keberpihakannya terhadap penghormatan HAM serta pemenuhan hak korban pelanggaran HAM dengan menolak penerapan statute of limitation atau kejadian yang telah kedaluwarsa. Pemerintah dalam hal ini melalui pengadilan seharusnya mengakui bahwa sebuah pelanggaran HAM yang berat tidak boleh dan tidak bisa mengenal istilah kedaluwarsa selama keadilan terhadap para korban belum terpenuhi secara tuntas. Kita lihat saja peristiwa Rawagede dimana pemerintah Belandapun mengakui kesalahannya. Peristiwa tersebut menginspirasi sajak Chairil Anwar yang berjudul Kerawang Bekasi. Peristiwa Rawagede yang digelar di Belanda sempat dimuat dihampir semua media di Eropa bahwasanya Belanda mengakui kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya di Indonesia dimasa lalu sehingga menampilkan negeri Belanda sebagai negeri yang bersih dan berwibawa dalam bidang kemanusiaan. Hal ini justru seharusnya mengilhami Indonesia untuk melakukan hal yang sama dengan semua kasus yang pernah terjadi. Contoh dari tindak pidana dan KUHP diatas saya masukkan hanya sebagai contoh bahwasanya dalam hukum Indonesia dalam tingkat pembunuhan biasapun tidak bisa dilakukan penyelesaian secara kekeluargaan namun kenapa dalam pembunuhan skala besar bisa? Inilah yang perlu dipertanyakan kepada Mahkamah Konstitusi. Mengapa kepada Mahkamah Konstitusi? Karena seingat saya Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa mantan anggota PKI boleh dipilih dan memilih dalam Pemilu di Indonesia. Dari sini kita bisa melihat bahwa mahkamah Konstitusi secara langsung dalam keputusannya telah mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 serta aturan-aturan universal seperti Hak Asasi Manusia dan artikel 25 Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. salam Teddy 2016-04-03 8:39 GMT+02:00 Chan CT <sa...@netvigator.com>: http://bhinnekanusantara.org/mengakhiri-tragedi-1965-dengan-hukum-bukan-secara-kekeluargaan/ Tuntaskan Tragedi 1965 Melalui Penegakan Hukum, Bukan dengan Kekeluargaan March 31, 2016 superadmin 0 Comment Changing Paradigm, Genosida 65, IPT 65, Membongkar Sejarah, Pengadilan Rakyat Internasional, PKI DI AWAL tahun 2016, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu tuntas pada pertengahan 2016. Ia mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung dan Kemenko Polhukam sedang mengupayakan penyelesaian dengan teknis non-yudisial karena penyelesaian pelanggaran berat HAM tidak bisa dibawa ke ranah yudisial. Lantas seperti apa penyelesaian teknis non-yudisial yang disodorkan pemerintah? Dari pernyataan Luhut (dengan istilah teknis non-yudisial) yang ‘visioner’ tersebut, berarti bentuk penyelesaiannya berada di luar jalur hukum legal formal, baik nasional maupun internasional. Kalau menyimak kebiasaan yang terjadi di Indonesia, bentuk penyelesaian perkara di luar ruang pengadilan sering disebut dengan istilah secara kekeluargaan. Banyak kasus di Indonesia dari pelanggaran ringan sampai berat yang diselesaikan secara kekeluargaan, baik yang terang-terangan dipublikasikan maupun yang diam-diam. Ironisnya, ketika negara Indonesia telah dicanangkan sebagai negara hukum dengan jargon tersohor ‘hukum sebagai panglima’, justru penegakan hukum masih sarat kepentingan kekuasaan, tidak berlandaskan hak asasi manusia, dan tebang pilih. Bahkan menjadi semakin paradoks ketika penyelesaian perkara secara kekeluargaan sering dilakukan untuk menyembunyikan kebusukan. Singkat saja, saya bingung dengan namanya ‘kekeluargaan’ di Indonesia ini. Kalau memang dari dulu dibilang cara kekeluargaan ini lebih diutamakan, apanya yang ‘kekeluargaan’ dari peristiwa ‘65? Pemerkosaan para perempuan yang dituduh Gerwani? Mutilasi tubuh mereka? Atau penyiksaan orang-orang yang dituduh PKI? Saya cuplik di sini tulisan Saskia Wieringa (peneliti di University of Amsterdam) yang dimuat di Majalah Bhinneka terbaru. Wieringa mengisahkan pembunuhan yang terjadi di Kebun Raya Purwodadi: “Para tahanan setelah diturunkan, diseret ke tepi. Mereka diperintahkan untuk berlutut dan tenggorokan mereka digorok. Kadang-kadang telinga dan hidung mereka dipotong bahkan juga alat kelamin mereka. Atau mata mereka dicungkil. Kemudian, mereka ditebas sampai mati, lalu didorong ke depan hingga terlempar ke dalam lobang, berturut-turut. Mayat mereka kemudian ditutupi pasir sehingga malam berikutnya sekelompok tahanan baru bisa dibunuh.” Apakah yang seperti ini bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan? Apakah jika rakyat, atau dalam hal ini korban, yang menuntut agar tragedi ‘65 diselesaikan secara hukum setelah 50 tahun lamanya maka berarti mereka dalam kondisi terlalu baper (bawa perasaan)? Mari kita bayangkan sosok Bapak Menko sebagai seorang ayah yang memarahi seorang anak supaya legowo, insaf bahwa mereka sudah terlalu lama ngeles dari tanggung jawab, dan mau meminta maaf. Untuk anak yang lain, Bapak Menko perlu menegur supaya jangan terlalu mendramatisir dan mau menerima permintaan maaf yang lain. Bukankah ini sangat absurd? Menyodorkan penyelesaian tragedi genosida ‘65 dengan cara kekeluargaan, sama saja dengan meremehkan suatu kasus pelanggaran HAM berat, dan tentu merendahkan hak asasi manusia juga. Kalau mengambil contoh dalam kasus lain, seperti kasus Lumpur Lapindo, seolah penyelesaian kekeluargaan dianggap begitu mudah untuk meringankan penderitaan rakyat. Tinggal salaman, tidak ada yang dihukum berat, ganti rugi uang dari negara, dan semua bisa kelar dengan cara mufakat. Beginikah tawaran non-yudisial ala pemerintah? Tawaran ‘damai-damai’ saja? Dan semua penyelesaian kekeluargaan serba gampang tersebut nyatanya hanya untuk mempermudah pejabat atau kriminal yang sudah melanggar HAM besar, bukan untuk mempermudah rakyat atau korban yang sudah mengalami musibah. Ini adalah cermin dari sistem Negara kita. Para penguasa dan pembesar yang terlibat korupsi dan pelanggaran HAM berat sering lolos dengan sistem ‘kekeluargaan’. Tidak mengherankan bila Setya Novanto pun sidangnya tiba-tiba bisa tertutup dan kasusnya dilupakan dengan ‘salam kekeluargaan’ para pejabat. Lah kok tragedi ‘65 mau ‘dibegitukan’ juga? Bagaimana dengan para penyintas-nya yang masih mengalami teror di sana-sini. Bahkan hak berbicara mereka pun dibatasi? Sejarah yang diselewengkan pun belum kelar diusut. ‘Cara kekeluargaan’ yang kini berkumandang mengiringi upaya-upaya pelurusan sejarah, rekonsiliasi, dan penegakan hukum atas tragedi ’65 hanyalah cermin ketakutan dari para pejabat dan penguasa. Bahkan diundang baik-baik ke Pengadilan Rakyat International kasus ’65 (IPT ’65) pun, perwakilan pemerintah Indonesia tidak menunjukkan batang hidungnya! Padahal pengadilan ini jelas terbuka, jelas tidak ada yang kita sembunyikan (bandingkan dengan sidangnya Setya Novanto yang serba tertutup – hingga kita tidak tahu tikus jenis apa yang ikut jadi hakim). Apakah dengan keadaan ini, kita sudah bisa untuk menerima ‘salaman’ dan senyum sana-sini dengan para penguasa lalu melupakan dan menganggap semua selesai? Soe Tjen Marching -- Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. -- Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. -- Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "diskusi kita" di Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke diskusi-kita+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout. [Non-text portions of this message have been removed]