Bila akan direvisi ,UU itu  tentu hanya akan berisikan 2 hal: Apakah memang 
ingin melawan terorisme secara lebih efektif dan melindungi rakyat dari  
ancaman terorisme(PENGUATAN KEAMANAN) ATAU yang pokok hanyalah bertujuan 
mempertebal benteng kekuasaan Pemerintah untuk melawan protes atau opini Rakyat 
yang dianggap Pemerintah membahayakan  kestabilan Pemerintah (PELEMAHAN 
DEMOKRASI) . Saya cenderung  pilihan yang terahir yang akan mewarnai rencana 
perevisian UU  tsb. Dan bila hal ini terjadi maka pikiran tentang rekayasa bom 
Sarinah akan lebih mudah diyakini rakyat. 
ASAHAN AIDIT.




         From: mailto:sastra-pembeba...@yahoogroups.com 
Sent: Wednesday, January 20, 2016 2:18 AM
To: GELORA_In 
Subject: #sastra-pembebasan# Revisi UU Terorisme dikhawatirkan akan merugikan 
warga

  

Revisi UU Terorisme dikhawatirkan akan merugikan warga
Ging GinanjarWartawan BBC Indonesia
  a.. 2 jam lalu
Image copyrightReutersImage captionSebelum serangan Sarinah polisi telah 
melakukan sejumlah penyergapan dan penangkapan. 
Upaya merevisi Undang-undang Terorisme yang banyak ditentang sejak diungkapkan 
empat tahun lalu, mendapat momentum baru dari serangan teror di Sarinah, 
Jakarta, namun para aktivis memperingatkan potensi bahayanya bagi kebebasan 
sipil.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), 
Harris Azhar mencemaskan bahwa histeria akibat serangan teror di Jakarta yang 
menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku itu, membuat publik jadi 
menginginkan apa yang mereka pikir sebagai jalan pintas untuk memperoleh 
jaminan keamanan melalui revisi UU Terorisme.

Menurut Haris, "sudah sejak mulai diwacanakan sekitar empat tahun lalu, 
pemerintah selalu menggunakan momentum serangan teror seperti (di Sarinah) ini 
untuk mengangkat lagi ide merevisi UU Terorisme. Jadi ini lagu lama, 
sebetulnya."

Image copyrightBiro Pers SetpresImage captionPresiden Joko Widodo mengunjungi 
kawasan pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, setelah 
penyerangan berlangsung pada Kamis (14/01). 
Kalangan pembela HAM menyebut, gagasan revisi UU itu jika dilakukan, akan 
mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Dan bisa disalahgunakan 
untuk memberangus kalangan yang tak sepaham dengan pemerintah, lebih-lebih di 
daerah bergolak seperti di Papua.

Permintaan polisi
Dalam pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara di Istana Negara Selasa 
(19/01) Presiden Joko Widodo mengemukakan bahwa revisi itu sedang didiskusikan 
untuk mengkaji apakah UU sekarang sudah cukup kuat dan efektif dalam mencegah 
dan memberantas terorisme.
Dipaparkan Ketua MPR Zulkifli Hasan, dalam pertemuan itu dibahas sejumlah 
persoalan kritis terkait terorisme yang tak tercakup oleh undang-undang yang 
ada.

"Misalnya latihan perang yang menggunakan pedang kayu oleh terduga kelompok 
teroris, bergabungnya warga Indonesia (dengan organisasi yang dinyatakan 
kelompok teror) di Suriah dan Irak, permufakatan jahat dari orang-orang yang 
merencanakan serangan bom -itu semua belum dicakup oleh undang-undang," papar 
Zulkifli Hasan pula.

Image copyrightBBC IndonesiaImage captionPresiden Jokowi mengajak 
lembaga-lembaga negara untuk mengkaji perlunya revisi UU Terorisme. 
Disebutkan Zulkifli, polisi meminta agar hal-hal itu dimasukkan dalam revisi.

Usulan yang sudah banyak dilontarkan selama beberapa waktu, memang terutama 
berfokus pada kewenangan tindakan penangkapan dan penahanan, antara lain 
menyangkut lamanya penahanan sebelum dikenakan status tersangka, seperti 
dipaparkan Agus Rianto, juru bicara Polri.

"Pendalaman terhadap mereka yang diduga terkait teror itu selama ini 7x24 jam. 
Nah itu sedapat mungkin bisa ditambah, apakah menjadi 20 hari atau berapa -ini 
harus dibahas lagi," kata Agus Rianto.

"Yang jelas, (penahanan) tujuh hari itu terlalu singkat. Sementara bukti-bukti 
yang harus kita kumpulkan juga tidak sedikit, kecuali mereka yang sudah dari 
awal didapatkan bukti-buktinya yang kuat," kata Agus Rianto pula.

Image copyrightAFPImage captionSunakim, salah satu pelaku serangan Sarinah 
pernah dipenjara untuk kasus terkait terorisme. 
Sebelumnya, Kapolri Badrodin Haiti kepada para wartawan pernah mengatakan, 
bahwa langkah pencegahan teror seringkali terhambat karena tak ada dasar hukum.

"Untuk menindak, polisi terikat ketentuan bahwa yang bersangkutan harus 
melakukan pidana," kata Badrodin.

Padahal, "seringkali polisi sudah mengetahui potensi orang-orang untuk 
melakukan aksi teror, tetapi tidak bisa bertindak karena tidak ada pelanggaran 
hukumnya," katanya seperti dikutip media.

Penangkapan di masa lalu
Hal ini disepakati pengamat terorisme Hasibullah Satrawi.

"Memang terdapat kekurangan-kekurangan (dalam UU) yang selama ini 
tidakmengcover (mencakup) kebutuhan penanggulangan terorisme di lapangan," kata 
Hasibullah.

"Pertama, bagaimana menyikapi (secara hukum) orang-orang yang bergabung dengan 
kelompok-kelompok di luar negeri yang sudah dinyatakan sebagai organisasi 
teroris. Ini harus sudah ada aturan yang lebih detail dalam UU antiterorisme 
kita."

"Yang kedua, terkait ujaran kebencian, hasutan, penyesatan -bagaimana dengan 
orang-orang yang mengungkapkan kata-kata yang secara langsung menyebut NKRI 
adalah thogut, dan sebagainya-bagaimana negara menyikapi orang-orang yang tak 
mengakui keberadaan negara, dan menyerukan kekerasan untuk itu?"

Masalahnya penangkapan sewenang-wenang di masa lalu masih membekas di ingatan 
para pegiat HAM.

Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyebutkan, "memang di satu sisi, kita harus 
membatasi penyebaran ekstremisme dan kebencian, dan hasutan. Tetapi 
tindakan-tindakan hukumnya harus berdasarkan prosedur yang ada ukurannya, yang 
bisa diuji dan dipertanggungjawabkan siapa pun."

Image copyrightBBC IndonesiaImage captionUU Terorisme saat ini tidak bisa 
menangkap seseorang yang menyatakan kesetiaannya kepada sebuah kelompok milisi 
seperti ISIS. 
Haris mempertanyakan pula, sejauh mana kita rela mengorbankan kebebasan sipil, 
hak-hak asasi manusia, untuk jaminan keamanan dengan memberi keleluasaan dan 
kekuasaan tambahan kepada aparat yang menurutnya tidak memiliki reputasi bagus 
hingga sekarang.

"Misalnya, korban-korban salah tangkap, atau bahkan yang tewas tanpa kejelasan 
status dalam operasi terorisme selama ini, bagaimana pertanggungjawaban 
aparat?" lontarnya pula.

Pengamat terorisme Hasibullah Satrawi memahami kekhawatiran-kekhawatiran para 
pegiat HAM itu.

"Memang harus dibuat aturan mainnya sedemikian rupa, agar undang-undang yang 
direvisi itu tidak bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak menjadi 
tujuannya," kata Hasibullah. Misalnya tak bisa disalahgunakan untuk menumpas 
gerakan demokrasi di kawasan seperti Papua.

Revisi itu juga harus begitu ketat sehingga tak bisa digunakan untuk tindakan 
asal tangkap kepada siapa saja, tambahnya.

Image captionTodung Mulya Lubis menentang aksi terorisme namun menentang 
kewenangan tak terbatas polisi dalam menindakn terorisme. 
Amandemen UU Terorisme telah diwacanakan beberapa tahun lalu, namun selalu 
mendapat penentangan keras. Juga datang dari beberapa kalangan Islam, yang 
mencemaskan bahwa UU yang sudah direvisi akan membuat polisi bisa menangkapi 
para khatib yang dikhwatirkan akan lebih mudah dituding menyerukan kekerasan 
atau mendukung kelompok garis keras.

Ansyaad Mbai, saat menjabat sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan 
Terorisme, mengatakan bahwa UU Terorisme sekarang lebih bersifat reaktif, dan 
hanya menjadi payung hukum untuk tindakan aparat sesudah terjadinya teror..

Menyusul serangan di pos polisi dan Starbuck di kawasan Sarinah itu, polisi 
telah melakukan penyergapan di sejumlah lokasi di Kalimantan Timur, Jawa Barat 
dan Jawa Tengah, dan menangkap setidaknya 12 orang yang diduga terkait serangan 
itu.

Image captionBerbagai kalangan masyarakat menyatakan perlawanan pada terorisme 
dengan aksi KamiTidakTakut. 
Dalam serangan di kawasan Sarinah, empat warga sipil dan empat penyerang tewas, 
sementara puluhan warga luka, termasuk sejumlah polisi.

Sebelum serangan yang diakui dan ditudingkan pada kelompok yang menamakan diri 
Negara Islam atau ISIS itu, polisi sudah melakukan serangkaian penyergapan dan 
penangkapan terkait informasi akan adanya serangan saat Natal dan Tahun Baru.

Berdasarkan catatan kepolisian pada November 2015 lalu, terdapat 384 warga 
negara Indonesia yang sudah terkonfirmasi bergabung dengan ISIS di Irak dan 
Suriah. Sebanyak 46 di antara mereka sudah kembali ke Indonesia.

Kirim email ke