Selasa, 09 Nov 2004,
Militer Monopoli
Pahlawan? Oleh Asvi Warman Adam
*
Siapa yang dianggap sebagai pahlawan? Sidney
Hook dalam buku The Hero in History membedakan antara eventfulman dan
event-makingman. Yang pertama adalah orang yang terlibat dalam suatu
peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa. Bisa
saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang
tepat mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas.
Namun, figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu
mengendalikan peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai tujuan yang
diinginkannya. Soekarno (sebagaimana halnya Mahathir bagi Malaysia) dengan
pidato-pidatonya yang inspiratif bisa dimasukkan ke dalam kategori
tersebut.
Pertanyaannya, apakah tokoh yang berprofesi militer
termasuk jenis yang pertama atau kedua? Kenyataannya, taman makam pahlawan
didominasi militer dan seperempat di antara pahlawan nasional berasal dari
profesi itu.
TMP (Taman Makam Pahlawan) Kalibata saat ini dihuni
sekitar 7.000 tokoh. Enam ribu di antaranya berasal dari militer dan hanya
seribu orang dari kalangan sipil. Militer didominasi AD (Angkatan Darat)
sebanyak 5.000 tokoh dan sisanya seribu orang lagi dari AL, AU, serta
Polri. Dari kalangan sipil yang berjumlah seribu itu, hanya 23 orang yang
menjadi pahlawan nasional (di antaranya adalah H Agus Salim).
Sejak
dilakukan pemindahan makam dari Ancol ke Kalibata pada 1959, sampai hari
ini terdapat sekitar 125 pahlawan nasional. Seperempat di antaranya
berasal dari militer. Peristiwa G 30 S/1965 dengan seketika melahirkan 10
pahlawan. Yakni, enam jenderal AD dan seorang perwira pertama yang diculik
serta dibunuh di Lubang Buaya, seorang polisi Karel Satsuit Tubun
(pengawal rumah Waperdam Leimena), serta dua perwira lain yang tewas di
Jogjakarta (Katamso dan Sugiono).
Di antara lima tokoh yang
diangkat sebagai pahlawan nasional pada 2002, terdapat dua militer, yaitu
Jenderal Nasution dan Jenderal GPH Jatikusumo.
Mengapa banyak
militer yang menjadi pahlawan, apalagi yang menghuni taman makam pahlawan?
Jawabannya terdapat pada definisi pahlawan itu seperti yang tercantum
dalam Peraturan Presiden No 33 Tahun 1964. Pahlawan adalah a) warga negara
RI yang gugur dalam perjuangan -yang bermutu- dalam membela bangsa dan
negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang
dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang
membuat cacat nilai perjuangannnya.
Kriteria pertama mengacu kepada
militer, sedangkan yang kedua kepada kalangan sipil. Militer lebih banyak
berpeluang menjadi pahlawan seperti yang diberikan kriteria tersebut.
Sedangkan sipil masih diganjal ketentuan "tidak ternoda" -yang tampaknya
ditujukan kepada tokoh yang pernah terlibat dalam pergolakan seperti
PRRI/Permesta. Untuk masa mendatang, ketentuan itu tentu perlu ditinjau
kembali.
Persyaratan untuk memperoleh kavling di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, selain dari pahlawan nasional, adalah orang yang pernah
mendapat bintang tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang
Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, atau bintang-bintang yang
memang disediakan bagi empat angkatan. Yaitu, Bintang Kartika Eka Paksi
(AD), Bintang Yalasena Utama (AL), Bintang Swa Bhuana (AU), dan Bintang
Bayangkara (Polri). Karena itu, militer sangat dominan dalam daftar
penghuni TMP.
Penataan Urusan Kepahlawanan
Sekarang
terjadi pergunjingan di tengah masyarakat tentang pahlawan. Apakah
pengangkatan seseorang itu sebagai pahlawan betul-betul disebabkan jasanya
atau faktor lain seperti politik dan KKN?
Demikian pula dengan
penganugerahan bintang jasa yang terkesan diobral pada masa Soeharto
sampai Habibie. Saat itu, orang-orang yang dekat dengan presiden, termasuk
para menteri (atau mantan menteri) beserta istrinya, diberi bintang jasa.
Bahkan, istri Presiden Soeharto, Ny Suhartinah, diangkat menjadi
pahlawan nasional pada 1996. Pada era Megawati, masih terdengar komentar
miring ketika mertua Presiden Megawati Soekarnoputri mendapat Bintang
Mahaputra Nararya. Ayahanda Taufiq Kiemas tersebut pernah menjadi pejabat
tinggi di Departemen Perdagangan pada 1957-1967. Namun, tidak dijelaskan
apa jasa beliau yang sangat menonjol.
Untuk mengatasi hal itu,
menurut hemat kami, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, seyogianya
pengangkatan pahlawan dan pemberian bintang tanda jasa dilakukan secara
transparan. Sebaiknya nama calon pahlawan atau penerima tanda jasa itu
diumumkan di surat kabar, sehingga bisa dilakukan uji publik. Kalau tidak
ada keberatan dari masyarakat, baru diangkat.
Dengan cara seperti
itu, segala KKN tentu akan segera diketahui. Memang, pengangkatan pahlawan
dan pemberian tanda jasa ini merupakan hak prerogatif presiden. Tanpa
mengurangi hak tersebut, sistem yang lebih terbuka akan menyebabkan
semuanya berjalan lebih baik.
Kedua, kriteria pahlawan nasional
tersebut perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Peraturan presiden itu dibuat pada 1964, sudah beberapa puluh tahun silam.
Dengan demikian, bukan bidang kemiliteran saja yang berpeluang. Tetapi,
tokoh di bidang lain seperti ekonomi, sosial-budaya, dan iptek juga bisa
masuk. Demikian pula, tokoh olahraga, tenaga kerja wanita di luar negeri,
serta pembela HAM (seperti Munir almarhum) bisa diusulkan.
Ketiga,
jangan sampai ada pahlawan yang terkena cekal seperti pada masa Orde Baru.
Sebelum 1965, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo diangkat menjadi
pahlawan nasional pada 1963 dan 1964. Namun, dalam buku Album Pahlawan
Bangsa terbitan Mutiara Sumber Widya (2001) dengan kata sambutan direktur
Urusan Kepahlawanan, Departemen Sosial, serta direktur Sarana Pendidikan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di antara 109 pahlawan (yang mulai
diangkat 1959 sampai 2001), tidak tercantum nama Tan Malaka dan Alimin
Prawirodirdjo.
Pencekalan pahlawan dari golongan kiri itu
merupakan pelecehan sejarah bangsa. Sebab, gelar pahlawan kedua tokoh itu
tidak pernah dicabut secara resmi. Kalau terus begitu, kapan kita menjadi
bangsa yang besar, bangsa yang menghargai pahlawannya?
* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jakarta
|