Membela Ahmadiyah berdasarkan HAM
Focus Oleh : Redaksi 02 Aug 2005 - 1:00 am
oleh: Adian Husaini
Pembela Ahmadiyah berlindung dalam HAM untuk membolehkan aliran sesat.
Jika ada aliran yang 'menghina' agama lain, bolehkan dibiarkan atas nama
HAM?
Rabu (27/7/2005) lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mengumumkan temuan awalnya, bahwa dalam kasus penyerbuan Kampus Mubarak
milik Ahmadiyah telah terjadi indikasi pelanggaran HAM. Seperti kita
ketahui, belakangan ini, para pembela Ahmadiyah bendasarkan dirinya pada
konsepsi HAM, bahwa setiap orang bebas memeluk agama apa saja dan
menyebarkan agamanya.
Masalah HAM sudah lama menjadi perdebatan panjang di kalangan Muslim.
Seyogyanya, kaum Muslim Indonesia juga mempunyai kesepakatan tentang hal
ini. Apakah semua pasal dalam Piagam Universal tentang HAM (Universal
Declaration of Human Right) itu dapat diterima oleh umat Islam. Bagi yang
mengimani Piagam ini, maka dia akan meletakkannya di atas Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah SAW. Benar dan salah, diukur dengan ukuran Kitab Suci
HAM ini.
Dengan kata lain, mereka menjadikan teks HAM lebih tinggi kedudukannya
dari teks Kitab Suci umat Islam.
Pasal 18 Universal Declaration of Human Right menyatakan, Setiap orang
mempunyai hak untuk berpikir, berperasaan, dan beragama; hak ini meliputi
kemerdekaan untuk menukar agama atau kepercayaan, dan kemerdekaan baik
secara perseorangan maupun secara golongan, secara terbuka dan tertutup,
untuk memperlihatkan agama dan kepercayaannya dengan mengerjakannya,
mempraktikkannya, menyembahnya, dan mengamalkannya.
Sesuai dengan konsep ini, maka orang mau memeluk dan mengamalkan agama
jenis agama apa saja harus dihormati dan diberi kebebasan. Tidak pandang
apakah mereka sembahyang dengan telanjang atau berendam di kolam, saat
tengah malam.
Bagaimana jika agama itu melecehkan agama lain? Apakah itu harus
dibiarkan. Dan negara tidak boleh melarangnya?
Sebut saja misalnya, salah satu Kitab aliran Kebatinan di
Indonesia, yang bernama Darmogandul, dalam salah satu bait
Pangkur-nya menyatakan: Akan tetapi bangsa
Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah
sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala
(jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam
hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.
Ada lagi ungkapan dalam Kitab itu: Adapun orang
yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya
melakukan zikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah,
artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore
berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik,
kepala ditaruh di tanah berkali-kali.
Semua makanan dicela, umpamanya: masakan
cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah,
sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa,
kodok dan tikus goreng.
Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus
anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu
dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura
dirinya terlalu bersih.
Saya mengira, hal yang menyebabkan santri
sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan
dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu
malam.
"Baginya ini adalah halal walaupun dengan
tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan
dagingnya.
Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak
dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau
partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab
kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?
Prof. Rasjidi, yang menerjemahkan naskah Darmogandul itu dari bahasa Jawa
ke Bahasa Indonesia, membuat ringkasan ajaran aliran ini.
Diantaranya:
(-) Menurut Darmogandul, yang penting dalam Islam bukan sembahyang,
tetapi syahadat sarengat. Sarengat artinya:
hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat
juga berarti hubungan seksual.
(-) Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat
al-Baqarah sebagai berikut: Zalikal artinya jika tidur, kemaluan
bangkit; kitabu la artinya kemaluan-kemaluan laki-laki masuk secara
tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan; raiba fihi hudan artinya
perempuan telanjang; lil muttaqin artinya kemaluan laki-laki berasa
dalam kemaluan
perempuan. (Dikutip dari buku Perkembangan Kebatinan di Indonesia,
karya Hamka, Bulan Bintang, 1971, hal. 22-23).
Begitulah ajaran salah satu aliran Kebatinan yang juga mengaku sebagai
satu agama.
Sesuai konsep HAM tersebut, maka aliran seperti ini juga harus diberi
kebebasan dan tidak boleh dilarang apalagi dihentikan penyebarannya
secara paksa.
Siapa yang memaksa untuk menghentikan ajaran agama semacam ini, apalagi
dengan menggunakan kekerasan, maka mereka akan dicap sebagai pelanggar
HAM, dan dapat diproses ke pengadilan.
Pasal HAM tentang kebebasan beragama inilah, yang menurut tokoh
Muhammadiyah, Prof. Dr. Hamka, harus ditolak oleh umat Islam. Secara
khusus tentang masalah ini, Hamka menulis: Yang
menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang
Islam, bukanlah Islam statistik.
"Saya seorang Islam yang sadar. Dan Islam saya pelajari dari
sumbernya, yaitu Al-Quran dan
Al- Hadits. Dan saya berpendapat
bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau
saya akui saja sebagai orang Islam tetapi syariatnya tidak saya jalankan
atau saya bekukan.
Terhadap orang yang menerima konsep dalam HAM itu sebagai hal yang
universal, Hamka mengingatkan, bahwa orang itu telah turut dengan sengaja
menghancurkan ayat-ayat Allah dalam Al-Quran.
Kata Hamka: Dengan demikian, Islamnya
diragukan. Bagi umat Islam sendiri, kalau mereka biarkan penghancuran
Islam yang diselundupkan di dalam bungkusan Hak-hak Asasi Manusia ini
lolos, berhentilah jadi Muslim, dan naikkanlah bendera putih, serahkanlah
aqidah dan keyakinan kepada golongan yang telah disinyalemen oleh ayat
217 Surat Al-Baqarah itu, bahwa mereka akan selalu memerangi kamu, kalau
mereka sanggup, selama kamu belum juga murtad dari agama
Islam.
Dalam memandang masalah Ahmadiyah, seyogyanya yang harus diteliti pertama
adalah ajaran dan status Ahmadiyah.
Dalam Munasnya ke-7 di Jakarta, MUI kembali menegaskan, bahwa Ahmadiyah
adalah ajaran yang sesat dan menyesatkan, dan mendesak pemerintah agar
menindak tegas paham tersebut.
Seperti ditegaskan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, masalah
Ahmadiyah akan selesai, jika Ahmadiyah mengakui, bahwa mereka adalah
kelompok atau aliran di luar Islam.
Selama mereka mengaku Islam, maka mereka akan terus menjadi masalah dan
duri dalam daging umat Islam. Sebab, memang ada prinsip-prinsip aqidah
yang berbeda antara Ahmadiyah dengan Islam.
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dalam siaran
pers-nya tanggal 27 Juli 2005, menjelaskan tentang
perbedaan prinsip antara rukun iman Ahmadiyah
dengan Islam. Meskipun mereka mengaku rukun imannya sama dengan
rukun iman umat Islam, tetapi ada perbedaan prinsip
dalam masalah kenabian dan kitab suci.
Selain beriman terhadap kenabian Muhammad saw, mereka juga mewajibkan
manusia beriman kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Yang tidak beriman
kepada Ghulam Ahmad dikatakan sebagai sesat.
Untuk meyakinkan dan menakut-nakuti orang yang tidak percaya kepadanya,
Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu-wahyu yang mengutuk orang-orang yang
mengingkarinya.
Misalnya, pengakuannya, : Dan dari sejumlah ilham-ilham itu, ada
diantaranya yang didalamnya sejumlah ulama yang menentangku dinamakan
Yahudi dan Nasrani. (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal. 19).
Dan katanya, Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang
diterima Imam yang ijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat,
sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia
mengutamakan keraguan atas keyakinan. (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib
al-Rahman, hal. 38).
Ghulam Ahmad juga mengaku, dan termasuk diantara tanda-tanda (kebenaran
dakwahku) yang nampak dalam zaman ini ialah matinya orang-orang yang
menentangku dan menyakitiku serta memusuhiku habis-habisan.
Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah ditanya oleh
Jawaharlal Nehru mengapa kaum Muslimin bersikap keras untuk memisahkan
Ahmadiyah dari Islam?
Iqbal menjawab: Ahmadiyah berkeinginan untuk
membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad saw) satu ummat yang baru bagi
nabi Hindi.
Balitbang Depag RI, tahun 1995 menerbitkan hasil penelitiannya tentang
Ahmadiyah, yang antara lain menyimpulkan: Mirza Ghulam Ahmad mengaku
telah menerima wahyu, dengan dengan wahyu itu dia diangkat sebagai Nabi,
rasul, Almasih Mauud dan Imam Mahdi.
Ajaran dan faham yang dikembangkan oleh pengikut jemaat Ahmadiyah
Indonesia khususnya terdapat penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan
Al-Quran dan al-Hadits yang menjadi keyakinan umat Islam umumnya, antara
lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah
saw.
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Almanar, Juz II, menyatakan: Mereka
(Ahmadiyah) itu ada dua golongan. Segolongan menyatakan (Mirza Ghulam
Ahmad) al-Qadiyani adalah pembaharu dan bukannya nabi. Mereka ini ialah
ahli bidah.
Segolongan lagi menyatakan bahwa ia adalah seorang (nabi) yang diberi
wahyu oleh Allah. Mereka ini adalah orang-orang kafir, murtad.
Didandingkan dengan Darmogandul, segi perusakan Ahmadiyah terhadap Islam
tentulah lebih besar, meskipun bahasa yang digunakan lebih halus.
Karena itu, mestinya para pembela Ahmadiyah mengkaji kembali konsepnya
tentang HAM, sebelum melakukan pembelaannya yang membabi buta terhadap
semua agama atau aliran
yang merusak agama Islam.
Kaum Muslim juga punya hak untuk melindungi keyakinannya agar tidak
dirusak.
Ibarat menanam sebuah pohon, maka sulit diterima akal sehat, jika petani
membiarkan saja benalu parasit yang menempel dipohonnya. Wallahu alam.
(Jakarta, 29 Juli 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta
107 FM dan www.hidayatullah.com
----------------
Ahmadiyah dan Masalah Kebenaran
Focus Oleh : Redaksi 01 Aug 2005 - 11:00 pm
oleh: Adian Husaini
Ada cendekiawan dan ulama melakukan pengkaburan antara iman dan kufur,
dan antara mukmin dan "kafir". Ia juga mengkaburkan haq dan
bathil .
Pada Hari Jumat tanggal 15 Juli 2005, Markas Ahmadiyah Indonesia yang
berlokasi di Parung Bogor, diserbu oleh massa umat Islam. Akhirnya,
markas itu ditutup resmi oleh aparat, dan Jemaat Ahmadiyah dievakuasi
dari tempat tersebut. Pemda dan aparat Bogor -- merujuk kepada keputusan
MUI dan Departemen Agama juga kemudian menutup pusat kegiatan Ahmadiyah
di kota itu.
Kasus Ahmadiyah itu kemudian memunculkan banyak ragam wacana keagamaan.
Salah satunya, adalah masalah diskursus tentang kebenaran dan kebebasan
beragama. Masalah yang sekian lama menjadi bahan perbincangan, kemudian
menghangat kembali. Ada yang menyatakan, bahwa manusia tidak berhak
menghakimi keyakinan orang lain, dan memaksakan keyakinannya terhadap
orang lain.
Dia kutip ayat al-Quran, Barangsiapa yang mau
silakan beriman, dan siapa yang mau silakan kafir. Jadi,
biarkanlah saja orang mengikut pendapat apa saja, dan menyebarkan
pendapatnya, apa saja jenisnya. Termasuk paham Ahmadiyah, yang mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Sebagai contoh, ungkapan Masdar F. Masudi, salah satu Ketua PBNU, yang
dikutip Harian Kompas (20/7/2005), yang menyatakan, NU merasa tidak
berhak menfatwakan sesat terhadap para pengikut Ahmadiyah.
Dia juga menyatakan, bahwa Allah-lah yang Maha Tahu siapa diantara
manusia yang berpetunjuk dan yang tersesat. Dalam Kongres NU ke-5 di
Pekalongan tahun 1930, diputuskan tentang jenis-jenis kafir: (1) Kafir
ingkar: ialah orang yang tidak mengenal Tuhan sama sekali dan tidak
mengakuinya, (2) Kafir juhud: ialah orang yang mengenal Tuhan dalam hati,
tetapi tidak mengikrarkan dengan lesannya, seperti Kafirnya iblis dan
orang Yahudi. (3) Kafir nifaq: ialah orang yang mengikrarkan dengan
lisan, tetapi tidak mempercayai Tuhan dalam hatinya, (4) Kafir Inad:
ialah orang yang mengenal Tuhan dalam hatinya dan mengikrarkan dengan
lisannya, tetapi tidak taat kepada-Nya.
Merujuk kepada Keputusan Kongres/Muktamar NU yang dikutip dari Kitab
Syarah Safinatun Najah itu, kita dapat memahami, bahwa NU dengan tegas
menyebut Iblis dan Yahudi sebagai kafir. Iblis kafir karena membangkang
kepada Allah dan Yahudi juga jelas-jelas kekafirannya karena tidak
mengimani kerasulan Muhammad saw.
Dalam masalah keimanan, kita mengenal rukun iman, yakni beriman kepada
Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan takdir
Allah. Keenam perkara itu termasuk ke dalam rukun, artinya keimanan
seseorang tidak sah jika tidak mencakup keenam rukun tersebut. Yang
namanya rukun salat artinya, salat kita batal jika tidak mengerjakan
salah satu rukunnya, seperti niat, ruku, sujud, itidal, dan
sebagainya.
Oleh sebab itu, masalah iman dan kufur, mukmin dan kufur, adalah masalah
mendasar dalam Islam. Seharusnya menjadi tugas para ulama untuk
menjelaskan kepada umatnya, mana yang lurus dan mana yang sesat, mana
yang iman dan mana yang kufur.
Ulama tidak seyogyanya malah membuat masalah menjadi kabur, dengan
menyatakan, bahwa manusia tidak berhak memutuskan mana yang benar dan
mana yang salah. Hanya Allah saja yang berhak menghukumi. Hanya Allah
saja yang tahu mana yang sesat dan mana yang mendapat petunjuk.
Pengkaburan seperti itu sangat tidak benar, mengingat, setiap hari,
setiap Muslim minimal 17 kali berdoa kepada Allah: Ya Allah tunjukkanlah
kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat atas mereka dan bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai atau
jalannya orang-orang yang sesat. Rasulullah saw juga mengajarkan doa
kepada kita: Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang haq itu haq dan
berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah
kepada kami yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami
untuk menjauhinya.
Tugas para ulama atau cendekiawan adalah menunjukkan mana yang salah dan
mana yang benar. Itulah tugas kenabian yang diamanahkan kepada para
pewaris Nabi (ulama). Karena itu, sejak puluhan tahun lalu, NU sudah
menjelaskan jenis-jenis kaum kafir. Komentar Masdar semacam itu tentunya
tidak mewakili suara resmi NU, dan hanya pendapat pribadi yang oleh media
massa dibuat seolah-olah mewakili suara NU. Dalam kitab-kitab aqidah
Asyariyah juga penuh dengan penjelasan tentang kekeliruan paham
Mutazilah.
Sebagai contoh, Imam al-Ghazali sama sekali tidak ragu-ragu ketika
menyebutkan tentang kekeliruan sejumlah pemikiran para filosof, seperti
pemikiran tentang keabadian alam. Dalam Kitabnya, al-Munqidh Minadh
Dhalal, dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa golongan dahriyyin,
yakni yang tidak mengakui adanya Tuhan, dan mengakui bahwa alam ini ada
dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh suatu pencipta, adalah termasuk
kafir zindiq. Begitu juga golongan thabii, yang tidak mengakui adanya
sorga, neraka, ganjaran bagi tindakan ketaatan, dan siksaan bagi pelaku
maksiat, dinyatakan al-Ghazali sebagai golongan kafir zindiq.
Jadi, sebagai ulama, maka tugas pentingnya adalah menunjukkan mana yang
haq dan yang bathil, mana yang maruf dan mana yang mungkar. Sebab, amar
maruf nahi munkar, adalah kewajiban penting atas kaum Muslim.
Jika seseorang masuk dalam golongan bingung (golbin), maka dia tidak akan
dapat melakukan kewajibannya dengan baik.
Keyakinan merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi seorang
manusia. Ketika seseorang kehilangan keyakinan, dan senantiasa berada
pada keraguan akan sesuatu (golongan bingung/golbin), maka ia telah
memasuki satu fase kehidupan yang penuh dengan kegamangan dan tidak akan
pernah merasakan kebahagiaan hakiki.
Dalam puisinya Bal-e-Jibril, penyair terkenal Pakistan, Mohammad Iqbal
mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap
hilangnya keyakinan kaum muda Muslim terhadap agamanya.
Padahal, menurut Iqbal, keyakinan adalah aset yang sangat penting dalam
kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang
manusia, maka itu lebih buruk ketimbang perbudakan.
Dikatakan Iqbal dalam puisinya: Conviction enabled Abraham to wade into
the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing;
Know."
Kita perlu menggarisbawahi peringatan Iqbal tersebut. Seorang yang hilang
keyakinan terhadap agamanya, terhadap kebenaran dan kesesatan, maka ia
akan bersikap tidak peduli dengan kemungkaran.
Cara berpikir individualisme dan cuekisme terhadap kemungkaran bukanlah
lahir dari pandangan hidup Islam, melainkan cara pandang Barat yang
menjungjung tinggi paham kebebasan individu. Karena itu, dalam system
hukum Barat, perzinahan dan minuman keras, tidak dianggap kejahatan
selama tidak merugikan orang lain.
Siapa pun yang berzina, asal suka sama suka, maka dia tidak dianggap
melakukan tindak kriminal. Siapa pun yang meminum khmar, asal dilakukan
sendiri dan tidak mengganggu orang lain, maka hal itu bukan kejahatan.
Cara pandang semacam itu tidak sama dengan cara pandang Islam. Karena
itu, di Barat tidak ada konsep amar maruf nahi munkar, sebagaimana
dalam ajaran Islam.
Ketika pandangan hidup Barat yang individualis merasuk dalam alam pikiran
kaum Muslim, maka tindakan amar maruf nahi munkar, dapat dipandang
sebagai satu bentuk kejahatan yang tidak disukai oleh masyarakat.
Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali mengutip satu ungkapan dari
Hudzaifah Ibnul Yaman, Akan dating suatu zaman, ketika bangkai keledai
akan lebih mereka sukai daripada seorang mukmin yang biasa melakukan amar
maruf nahi munkar.
Menjelaskan tafsir QS al-Maidah ayat 105, Ibnu Masud r.a. menyebutkan
akan datangnya satu zaman dimana orang yang melakukan amar maruf nahi
munkar akan dibenci dan dikecam.
Banyak kalangan yang mengaku cendekiawan saat ini rajin menggunakan
ungkapan jangan merasa benar sendiri, jangan menghakimi keyakinan
orang lain, jangan merasa menjadi Tuhan, dan sejenisnya.
Arah dari ungkapan-ungkapan itu ialah agar orang Muslim tidak peduli
dengan lingkungannya; tidak peduli dengan kerusakan dan kemungkaran yang
berkembang di sekelilingnya, karena itu semua adalah hak asasi manusia.
Hak asasi setiap orang untuk meyakini dan menyebarkan keyakinannya. Tidak
boleh diganggu dan dihalangi, apalagi dihentikan. Apapun jenis
kepercayaan dan tindakannya.
Dalam kasus Ahmadiyah, banyak sekali ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan
oleh berbagai pihak yang sifatnya asbun, asal bunyi, tanpa melalui
pengkajian masalah yang serius. Bahkan, banyak yang bernada membela
Ahmadiyah, yang jelas-jelas kesesatannya.
Dalam tulisannya di Harian Republika (20/7/2005), Wakil Ketua KISDI KH A.
Khalil Ridwan, menjelaskan tentang kesesatan aliran Ahmadiyah.
Keputusan Konferensi Organisasi Islam se-Dunia (14-18 Rabiulawwal 1394 H)
dan keputusan Rabithah Alam Islami telah menetapkan bahwa Ahmadiyah
adalah sekte yang menyesatkan dan tidak ada kaitan dengan agama Islam.
Negara-negara Islam juga dilarang menyebarkan paham ini. Keputusan Munas
Alim Ulama se-Indonesia tahun 1980 telah memutuskan bahwa Ahmadiyah
adalah kelompok di luar Islam, sesat dan menyesatkan.
Ini dituangkan dalam Keputusan No 05/Kep/Munas II/MUI/1980 (pada 17 Rajab
1400H/1 Juni 1980M, ditandatangani oleh Ketua MUI Prof. Dr. Hamka dan
Sekretaris Drs H. Kafrawi MA, juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI (Menag)
Alamsyah R. Prawiranegara). Di samping itu juga ada Surat Edaran Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama No D/B4.01/5099/84, tgl 20
September 1984, yang berisi penegasan supaya ulama menjelaskan tentang
sesatnya Jemaat Ahmadiyah.
Sudah bertumpuk-tumpuk fakta-fakta yang membuktikan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad yang dipercayai oleh Ahmadiyah sebagai nabi adalah nabi palsu.
Jadi, dalam pandangan Islam, Ahmadiyah adalah sebuah kemungkaran, karena
menyerang aqidah yang paling asas, yaitu konsep
tentang kenabian.
Karena ajaran ini disebarluaskan ke tangah masyarakat Muslim, tentu,
sesuai dengan ajaran Islam, kaum Muslim berkewajiban mencegah dan
menghentikannya. Tidak ada kemungkaran yang lebih besar daripada
kemungkaran dalam bidang aqidah.
Korupsi iman merupakan jenis korupsi yang paling besar, dibandingkan
korupsi harta. Karena itu, aneh sekali jika ada sebagian kalangan Muslim
yang menganggap enteng masalah ini, dan lebih menganggap penting masalah
pemilihan lurah, camat, atau walikota.
Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa syarat pertama pelaku
amar maruf nahi mungkar adalah mukallaf (yakni yang telah terbebani
kewajiban agama), muslim, dan mampu. Maka, orang gila, anak kecil, orang
kafir, atau yang tidak berkemampuan, tidak terbebani dengan kewajiban
melaksanakan amar maruf nahi mungkar.
Jadi, selama seseorang tidak masuk kategori kafir, gila, atau anak-anak,
maka ia wajib melaksanakan kewajiban agama ini. Bahkan, kata al-Ghazali,
tindakan amar maruf nahi mungkar tetap wajib dilakukan, meskipun mereka
tidak mendapatkan izin dari penguasa (wa in lam yakuunuu madzuniina).
Imam al-Ghazali juga menyebutkan, amar maruf nahi
mungkar bisa dilakukan dengan cara memberi nasehat atau dengan
cara memaksa.
Untuk pemberi nasehat disyaratkan adanya sifat adil, yakni si pemberi
nasehat bukanlah orang yang fasik, yang hobi melakukan maksiat.
Sementara itu, syarat adil tidak diperlukan dalam pelaksanaan amar
maruf nahi mungkar dengan kekuatan (secara paksa). Karena itu, menurut
Imam Ghazali, seorang yang dikenal sebagai fasiq sekalipun, boleh
menghancurkan persediaan khamr atau alat-alat dan tempat maksiat
sepanjang dia mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk itu.
Penjelasan Imam al-Ghazali tentang amar maruf nahi mungkar dengan tangan
ini, insyaallah, akan kita bahas secara khusus pada catatan berikutnya,
mengingat banyaknya pendapat yang dikeluarkan oleh para tokoh bahwa
Islam tidak mengajarkan cara-cara kekerasan dalam berdakwah.
Dengan itu, mudah-mudahan kita tidak tersesat dalam opini yang salah, dan
dapat menilai suatu kasus dengan adil, tanpa terburu-buru menyalahkan
atau membenarkan satu pihak. Wallahul Muwafiq ilaa aqwamit thaariq.
(Jakarta, 22 Juli 2005).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan kerjasama Radio Dakta
107 FM, bekasi dan
www.hidayatullah.com
--------------------------------------------------------------
Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913
Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com