Tarif Listrik Bakal Naik Lagi
KAPAN PEMERINTAH MEMIHAK RAKYAT?! Keterlaluan! Mungkin, itulah komentar sebagian besar masyarakat
menanggapi rencana Pemerintah untuk menaikkan kembali Tarif Dasar Listrik (TDL)
pada tahun ini; konon rencananya sampai 100 persen. Jika rencana itu terbukti,
lengkaplah sudah penderitaan masyarakat. Bagaimana tidak?! Selama tahun lalu,
Pemerintah telah menaikkan harga BBM 2 kali, bahkan yang terakhir rata-rata 100
persen. Dampak kenaikan BBM ini sudah dirasakan oleh semua pihak; kasus gizi
buruk dan kelaparan makin banyak akibat semakin menurunnya daya beli dan
melambungnya harga-harga kebutuhan pokok; pengangguran makin meningkat akibat
banyaknya industri yang mem-PHK karyawannya karena tidak sanggup lagi menanggung
beban usaha; perusahaan yang gulung tikar makin banyak akibat tidak kuasa
memikul biaya operasional; dll. Setelah BBM naik, di beberapa daerah, Pemerintah
Daerah (PDAM) juga telah menaikkan tarif air, yang tentu saja semakin menambah
beban masyarakat.
Kepastian Naiknya Tarif Dasar Listrik (TDL)
Sebagaimana diberitakan, keputusan pemberlakuan TDL baru akan diumumkan
paling cepat 1 Februari dan selambat-lambatnya 1 April 2006. Proposal kenaikan
TDL itu pekan ini sudah di meja kerja Menko Perekonomian Boediono. Kepala
Bappenas Paskah Suzzeta mengemukakan, berdasarkan simulasi yang dibahas,
kenaikan TDL untuk kelompok konsumen dengan daya 1.300 volt ampere (VA) hingga
10.000 VA bisa mencapai 83-90 persen. Khusus untuk rumah tangga dengan kapasitas
daya terkecil, yakni 450-900 VA, kenaikan tarifnya di bawah 7 persen. Kenaikan
TDL yang cukup tinggi juga bisa terjadi untuk kelompok konsumen industri.
Simulasi kenaikan tarif itu dibuat dengan memperhitungkan besaran subsidi
listrik yang didapat PLN dari Pemerintah tidak bertambah, atau tetap Rp 17
triliun seperti dalam APBN 2006. Dengan kenaikan harga BBM, tahun ini PLN
membutuhkan subsidi Rp 38 triliun. Akibatnya, masih ada kekurangan sekitar Rp
21,5 triliun. Paskah mengatakan, kekurangan Rp 21,5 triliun tersebut
disimulasikan ditutupi dengan cara menaikkan tarif, karena terlalu berat bagi
Pemerintah untuk menaikkan subsidi dalam kondisi keuangan saat ini. (
Kompas.com,
19/1/2006).
Rencana kenaikan TDL ini tampaknya dipastikan benar-benar akan terbukti.
Presiden SBY sendiri sudah menyatakan bahwa Pemerintah akan memilih opsi
kenaikan TDL secara tepat, realistis, dan terutama tidak menambah beban rakyat;
tetapi juga menyehatkan PLN. (Kompas.com, 24/1).
Alasan Pemerintah
Pemerintah beralasan, langkah untuk menaikkan TDL itu adalah pilihan
terakhir yang bisa diambil mengingat kondisi PLN yang buruk saat ini. Selama
enam bulan terakhir, catatan keuangan PLN terus mengalami defisit (rugi) akibat
beban kenaikan harga BBM, khususnya solar. Pasalnya, hampir 40 persen pembangkit
listrik PLN masih bergantung terhadap pasokan solar. Karenanya, wajar jika PLN
meminta Pemerintah dan DPR untuk meninjau TDL. Apalagi Pemerintah hanya
menyanggupi subsidi senilai Rp 17 triliun dari Rp 38 triliun yang diajukan PLN.
Sisanya sebesar Rp 21 triliun harus dipenuhi dengan menaikkan tarif. (Liputan6.com, 24/1).
Dampak Kenaikan TDL
Menurut kalangan dunia usaha, kinerja sejumlah industri dipastikan bakal
tertekan akibat kenaikan TDL. Bahkan para pengusaha sejumlah industri sudah
siap-siap mengurangi jumlah tenaga kerja mereka jika kebijakan menaikkan TDL
sebesar 100% tetap dijalankan. (Tempointeraktif.com,
18/1)
Wakil Ketua Komisi VI DPR yang membidangi BUMN, Lili Asdjudiredja, misalnya
mengatakan "Saya memperkirakan 40 persen dari sekitar 800 pabrik TPT (Tekstil
dan Produk Tekstil) di Jabar akan gulung tikar. Buruh yang terkena PHK
diperkirakan mencapai
150.000, dengan asumsi, setiap pabrik mem-PHK sekitar 500 karyawannya,"
katanya.
Lili, yang juga pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) ini
mengatakan, harga TDL di Indonesia adalah termahal setelah Filipina. Saat ini,
harga TDL saja sudah hampir sama dengan upah buruh. Jika naik lagi berarti harga
TDL lebih tinggi dari buruh. "Ini menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa
lampu merah bagi kematian industri dalam negeri sedang dinyalakan,"
katanya.
Sampai hari ini Komisi VII DPR RI belum bisa menerima alasan-alasan
Pemerintah, karena belum menyebutkan tingkat efisiensi yang dilakukan PLN.
Apalagi beban masyarakat akibat kenaikan TDL sudah makin berat pasca kenaikan
BBM belum lama ini. Demikian disampaikan anggota Komisi VII FKB DPR RI Ali
Mubarok dan Ali Mudlori pada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (23/1)
seusai rapat tertutup dengan Komisi VII DPR bersama Tim Teknis yang membahas
kenaikan TDL dan PLN.
Selama ini, menurut Ali Mudlori, Pemerintah sudah memberikan subsidi kepada
PT PLN sebesar Rp 15 triliun, tetapi ternyata PLN meminta tambahan lagi sekitar
Rp 30 triliun. Mungkin, karena Pemerintah tidak mensubsidi seratus persen, maka
PLN tetap ngotot akan menaikkan TDL tersebut. Padahal kalau berbicara
alur-ilang, itu kerugian yang harus ditanggung Pemerintah sendiri.
Ia menambahkan, jika kenaikan itu diberlakukan antara 15 persen hingga 45
persen, maka akan membuka terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja) cukup besar
dari perusahaan-perusahaan yang tidak mampu lagi membayar biaya listrik.
Diperkirakan tingkat pengangguran dari 40 juta orang pada tahun lalu, akan
bertambah 10,25 juta sehingga menjadi 60,25 juta pengangguran pada tahun 2006
ini dan ini akan menjadi problem sosial di dalam negeri. (Eramuslim.com, 24/1).
Fakta Kenaikan TDL
Kenaikan TDL bagi masyarakat Indonesia bukan barang baru. Pada bulan
Oktober 1994, rezim Orde Baru mengumumkan kenaikan TDL untuk ke-11 kalinya
dengan kenaikan rata-rata TDL 7-68% dari TDL lama. Selanjutnya Mentamben waktu
itu, IB Sudjana, mengatakan bahwa Pemerintah mulai menerapkan kenaikan tarif
listrik berkala tiga bulan sekali. Tingkat kenaikannya akan mengacu pada harga
bahan bakar dan tenaga listrik yang dibeli, inflasi, serta nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing. (Republika, 22 Oktober 1994).
Sepuluh tahun lalu fraksi "partai penguasa" (FKP) di DPR melalui ketua
fraksinya Mustahid Astari, mengatakan bahwa kenaikan TDL ada kaitannya dengan
perubahan status PLN menjadi PT (Persero) Listrik Negara, yang memunculkan
tuntutan bagi perusahaan untuk menjadi lebih mandiri. Ia menambahkan, salah satu
syarat agar PLN mendapatkan dana pembangunan-baik yang bersumber dari perbankan
dalam dan luar negeri maupun dari masyarakat melalui penjualan saham dan
obligasi-adalah tingkat laba yang memadai, yang besarnya ditentukan oleh tarif
dan ongkos produksi.
Dalam analisisnya (Kompas, 24 Oktober 1994), Kwik Kian Gie yang
waktu itu menjadi pengamat ekonomi, melihat adanya keanehan-keanehan pada
perubahan kebijakan Pemerintah tentang kelistrikan, dari kebijakan harga
terjangkau oleh rakyat banyak-dengan risiko PLN selalu merugi dan disubsidi
APBN-menjadi kebijakan harga listrik sebagai barang dagangan biasa yang harus
mendatangkan laba. Ia mengatakan, dalam kebijakan seperti itu, harga ditentukan
berdasarkan harga pokok plus laba; artinya tanpa peduli apakah harganya
dirasakan berat atau tidak oleh konsumen. Komponen pembentuk harga yang
dirasakannya aneh adalah harga beli listrik dari swasta, perubahan tingkat
inflasi, dan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dalam komponen
harga beli listrik dari swasta, akan muncul pola pikir kolusi antara penguasa
(PLN) dan swasta penghasil listrik, bahkan-mengingat listrik sebagai barang
vital yang menguasai hajat hidup orang banyak-semua produsen listrik swasta dan
PLN akan menjadi kartel ofensif yang sangat jahat dan merugikan kepentingan
rakyat banyak.
Kebijakan yang memberatkan tersebut ternyata terus berjalan hingga hari
ini, lebih dari 10 tahun kemudian. Entah sudah berapa persen kenaikan tarif hari
ini dibandingkan dengan TDL 10 tahun yang lalu.
Akar Masalah: Pendekatan 'Dagang'
Dari uraian di atas jelas bahwa kenaikan TDL yang terus berlangsung secara
periodik sejak 10 tahun lalu pangkal masalahnya adalah perubahan PLN dari Perum
yang lebih berorientasi pada kesejahteraan umum ke PT Persero yang berorientasi
pada laba bagi para pemegang saham. Semakin besar bagian privat dari saham PLN,
semakin jelas tuntutan kenaikan laba dan otomatis kenaikan harga.
Karena itu, kita melihat, sama seperti ketika merumuskan kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM), Pemerintah lebih melakukan pendekatan 'dagang'
(ketimbang pendekatan 'pelayanan') saat menyusun proposal kenaikan TDL. Tujuan
kenaikan TDL jelas, tidak lain untuk mengurangi tekanan defisit yang merongrong
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Makin besar defisit PLN, subsidi Pemerintah
makin besar. Alasan paling pokok dari proposal kenaikan TDL itu adalah mahalnya
harga BBM. Biaya BBM untuk pembangkit PLN tahun 2006 diperkirakan Rp 51 triliun,
sementara besaran subsidi APBN 2006 hanya Rp 15 triliun. PLN meminta Pemerintah
memberi subsidi dalam bentuk pengurangan harga bahan bakar minyak, bukan subsidi
tunai. (Suarakarya-online.com, 19/1).
Namun, karena permintaan PLN untuk mendapatkan harga BBM yang lebih murah
tampaknya sulit diberikan, PLN kemudian mengajukan kenaikan TDL. Di sini jelas,
lagi-lagi, pendekatan 'dagang'-lah yang digunakan Pemerintah.
Solusi Islam
Islam memberikan petunjuk tentang kepemilikan listrik sebagai bagian dari
kepemilikan umum kaum Muslim atau milik bersama umat. Pengelolaannya dilakukan
sepenuhnya oleh negara, sebagai wakil dari umat, untuk dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
Manusia
berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan energi. (HR Abu
Dawud).
Hadis tersebut memberikan pengertian pada sarana umum. Tentu saja sarana
umum tidak terbatas pada ketiga jenis barang di atas; di dalamnya termasuk
listrik.
Sarana umum ini, menurut Islam, adalah milik umum dan tidak boleh dikuasai
oleh pribadi atau swasta. Oleh karena itu, langkah melakukan privatisasi PLN
sejak 10 tahun lalu tidak bisa dibenarkan menurut hukum Islam. Sebab, dengan
privatisasi itu berarti negara menjual barang/aset yang bukan miliknya. Bumi,
air, sungai, lautan, tambang-tambang, hutan, jalan-jalan, dan segala sarana dan
prasarana umum, termasuk yang dikelola PLN adalah milik umum kaum Muslim. PLN
sebagai alat negara (dulu saat menjadi Perum) adalah hanya pemegang amanah untuk
mengelola harta milik umum.
Karena itu, dalam kasus TDL ini, manakala memang PLN tidak bisa
diefisienkan lagi, maka subsidi harus dipertahankan bahkan ditingkatkan (dengan
laba PLN sama dengan nol) agar mendapatkan harga TDL termurah (bahkan kalau bisa
gratis) bagi mayarakat umum penguna listrik rumah tangga. Subsidi dari mana?
Dari hasil ekspolitasi hutan, lautan, tambang-tambang minyak, gas, dan
barang-barang tambang lainnya. Dengan itu ada harapan TDL turun dan rakyat hidup
lebih sejahtera.
Islam memberikan prinsip pengelolaan bagi Pemerintah, yakni:
memberikan kemudahan bukan memberi kesulitan pada masyarakat. Rasulullah saw.
Bersabda, tatkala beliau berpesan kepada dua orang gebernur baru yang akan
memerintah di Yaman:
Mudahkanlah mereka dan janganlah kalian persulit. (HR al-Bukhari
dan Muslim).
Khatimah
Kenaikan TDL, dengan dalih apapun, pada hakikatnya adalah sebuah tipuan
terhadap rakyat banyak yang menjadi pemilik sebenarnya dari listrik negara.
Siapapun yang memerintah rakyat kaum Muslim hendaknya sadar akan tanggung jawab
kepemimpinan mereka di akhirat kelak. Ingatlah sabda Nabi Muhammad
saw.:
Tidaklah seseorang yang Allah kehendaki untuk mengurus memimpin rakyat
mati, sementara dia menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan baginya
surga. (HR Muslim).
'Alla kulli hal, keberadaan pemerintah dimanapun adalah untuk
melayani kepentingan rakyat. Jika pemerintah sudah tidak lagi mempedulikan
urusan rakyatnya, dan tidak mau peduli dengan kesulitan yang dihadapi
masyarakat, lalu untuk apa ada pemerintah?
dari milis tetangga.
|