Opini - Hidayatullah

Pemilu 2009: Memilih Atau Tidak Memilih

Sebagaian masyarakat begitu muak melihat gaya hidup anggota DPR. Karenanya,
sebagian bahkan berpikir tidak memilih. Tapi apa efeknya?

Oleh:
Nuim Hidayat, M.Si
Sekjen Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Kota Depok

"Leiden is lijden " (Kasman Singodimedjo)

Pemilu 2009 ini mungkin dilema bagi orang-orang muslim yang terpelajar,
kritis dan bukan caleg. Memillih atau tidak memilih. Diskusi ramai baik di
kantor-kantor, masjid atau internet tentang pemilu ini.  Suara mengajak
golput pun mengemuka baik oleh beberapa aktivis gerakan Islam, seperti HTI,
Anshorut Tauhid maupun beberapa kelompok sekuler yang frustasi terhadap
sistem demokrasi di Indonesia .

Pemilu yang ketiga paska tumbangnya Orde Baru ini, memang menjadikan banyak
orang semakin kritis. Rakyat melihat bagaimana sehari-hari polah tingkah
wakil yang dipilihnya selama lima tahun atau sepuluh tahun itu.  Bagaimana
kepedulian wakil rakyat partai-partai Islam itu kepada orang-orang miskin,
kepada kader-kader dakwah yang melarat, gagasan-gagasan pembangunan yang
Islami dan keseriusan perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam
di daerah dan nasional dalam Undang-undang dan lain-lain.

Kita memahami adanya sekelompok orang yang menginginkan golput dalam pemilu
ini.  "Pemilu ini seperti judi," kata Ridwan Saidi.  Maksudnya banyaknya
caleg yang mengeluarkan uang milyaran dan berharap uang akan balik modal
ketika ia menjabat, memang sekilas seperti judi.  Tapi, mungkin orang lain
bisa berpendapat seperti investasi dalam dagang.

Meutya Hafidz caleg dari Partai Golkar, dalam sebuah dialog di Metro TV
sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ia telah mengeluarkan uang 300 juta
dalam kampanyenya di Sumatra Utara.  "Mungkin nanti akan menghabiskan sampai
500 jutaan" tuturnya.  Mantan wartawan yang pernah disandera mujahidin Irak
ini menyatakan bahwa itu adalah biaya untuk spanduk, pamflet, jamuan makan
untuk konstituen, tim yang membantunya dalam kampanye dan lain-lain. Ia
menyatakan biaya yang ia keluarkan seharusnya sampai 1 milyar sampai
kampanye selesai nanti.

Memang biaya pemilu nasional tahun ini luar biasa. Yaitu menurut KPU sebesar
Rp. 47.941.202.175. 793, hampir 48 trilyun. Dengan jumlah pemilih (DPT)
sekitar 174 juta orang. Bila dijumlahkan antara pengeluaran yang
dibelanjakan oleh para caleg dan anggaran dari KPU mungkin jumlahnya lebih
dari 60 trilyun.


Sistem Pemilu

Memang kalau kita amati, sistem pemilu ini luar biasa borosnya.  Bagi
orang-orang yang telah mengikuti beberapa pemilu, kemungkinan besar akan
jengkel dengan banyaknya spanduk, pamflet, billboard, bendera yang dipajang
hampir di tiap gang, atau jalan-jalan di kota. Bila kita melihat 'model
demokrasi' yang diterapkan di Malaysia atau di negara-negara maju, nampaknya
tidak norak seperti yang terjadi di Indonesia.

Pemborosan ini, makin bertambah bila model pemilihan bupati/ walikota atau
gubernur tidak diubah.  Kabarnya di pemerintahan atau DPR sendiri kini
sedang diupayakan untuk penghapusan pemilihan langsung kepala daerah itu.

Terhadap pemborosan negara ini, kita teringat nasehat Sultan Muhammad al
Fatih, pembebas Konstantinopel Turki kepada anaknya (dan juga kepada para
pemimpin-pemimpin negara): "Janganlah kamu menghambur-hamburka n harta
negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari
yang sewajarnya.  Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran."

Memang bila para calon anggota DPR mengeluarkan ratusan juta atau milyaran
dalam kampanye, mungkin kita akan sulit mengharapkan anggota DPR itu tidak
memboroskan uang negara. Perhitungan modal atau investasi 1 milyar misalnya,
maka anggota DPR mungkin akan berhitung bila gaji mereka di senayan 50 juta
sebulan ditambah uang sidang dan lain-lain 60 juta misalnya (bulan-bulan
tertentu bisa 75-100 juta), maka dalam waktu tidak lebih dari 17 bulan uang
akan balik modal. Maka 43 bulan berikutnya adalah tinggal memanen untung.
(Tentu ada pengecualian bagi calon wakil-wakil rakyat yang melarat atau yang
mengeluarkan dana hanya puluhan juta).

Padahal, harusnya partai-partai Islam, PKS, PBB, PPP dan lain-lain bila
ingin mengadakan perubahan secara fundamental di negeri ini, maka
caleg-caleg itu harusnya minta penurunan gaji, bukan kenaikan gaji.  Gaji 25
juta dengan ritme kerja DPR Pusat yang kerjanya rombongan itu (lain dengan
menteri yang pekerjaannya individual), tentu sudah cukup memadai.  Seorang
wakil rakyat, apalagi dari partai Islam, harusnya memberikan teladan tidak
memboroskan uang negara. Tapi sulit kita mengharap mereka akan minta dan
berjuang untuk penurunan gaji, karena perhitungan modal kampanye yang telah
mereka keluarkan.  Apalagi bila caleg itu tidak bisa mengekang nafsu
memmiliki harta itu yang memang tidak ada habisnya.  Orang yang kaya
biasanya ingin terus bertambah-tambah kekayaannya.

Kenapa gaji DPR perlu diturunkan? Karena DPR adalah wakil rakyat yakni yang
mewakili suara rakyat. Ketika gaji DPR besar, maka Gaji Menteri, Presiden
atau Pejabat Negara lain ingin lebih besar pula. Karena yang membuat UU
untuk penggajian adalah DPR, maka merekalah yang harusnya memberi teladan
terlebih dahulu. Mereka seharusnya mikir bahwa di tengah-tengah mereka
rakyat miskin masih berjumlah hampir 40 juta orang dengan penghasilan di
bawah 200 ribu per bulan. Maka kadangkala timbul pertanyaan di benak gaji
wakil rakyat 50 juta sebulan itu halal, haram atau syubhat? (Ingat harta itu
adalah harta rakyat. Ibaratnya DPR atau pegawai pemerintah itu seperti amil
yang harus mengalokasikan gaji untuk harta yang dikumpulkan amil itu
sekedarnya.  Bukan menjadi amil kemudian menumpuk-numpuk kekayaan dari harta
rakyat itu. Barangkali perkecualian bagi anggota-anggota DPR yang bersedekah
separo gajinya atau lebih).


Tidak Memilih?

Melihat gaji, kinerja dan gaya hidup sebagian besar anggota DPR, kita
mungkin muak.  Mengaku wakil rakyat, tapi seringkali ia hanya mewakili
dirinya sendiri atau partainya dan dalam kerja sehari-harinya tidak serius
memikirkan rakyat. Bila dalam masa kampanye menyerukan agar
berbondong-bondong masyarakat miskin atau kader-kader hadir atau
mendukungnya, seringkali setelah terpilih, dan rakyat miskin itu butuh
bantuan, kebanyakan penyakit "pelit bin medit (Jawa, red)" menghinggapi
(cerita banyaknya kader-kader yang miskin butuh bantuan tidak dipedulikan
anggota DPR itu sangat banyak). Lupa otaknya terhadap kader-kader yang naik
motor berpanas-panasan, bensin beli sendiri, bahkan kadang-kadang harus
merelakan cuti kantor atau tidak mendapatkan uang hari itu karena mendukung
caleg atau partai itu.

Akhirnya dengan model gaya hidup anggota DPR itu, banyak orang berpikir
nggak ada gunanya untuk milih.  Kelakuan partai sekuler dan partai Islam
ternyata sama saja.

Kita memahami cara berpikir orang-orang golput ini. Tapi pertanyaannya 'dengan
tidak memilih itu' apakah pemilu gagal? Apakah keadaan akan berubah lebih
baik? Pertanyaan itu yang harus kita jawab.

Bila kita berpikir cermat, maka memilih ternyata lebih baik. Meski
kebanyakan wakil rakyat adalah 'brengsek', tapi masih ada beberapa orang
yang baik.  Mereka yang muslimnya bagusnya, hidupnya sederhana, peduli
kepada masyarakat miskin, suka bekerja keras dan lain-lain. "Bila kita tidak
memilih maka suara kita yang mestinya masuk ke orang-orang yang mungkin baik
itu (caleg-caleg partai Islam), jadi hilang," kata politisi Islam, Hartono
Mardjono dan Hussein Umar almarhum. Suara partai sekuler/ kristen jadi
tambah, karena mereka tidak menganjurkan golput. Bila kita memilih ada
kemungkinan orang yang baik terpilih. Bila tidak, maka kemungkinan orang
baik terpilih itu jadi hilang. Apalagi ketika gereja-gereja menyuruh
warganya memilih. Arti memilih itu lebih penting lagi, ketika masyarakat
Islam menjadi minoritas atau seimbang komposisinya di sebuah daerah
pemilihan dengan orang non Muslim.

Maka penulis ingat ketika Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi tidak
menganjurkan golput di tahun 70, 80 atau 90 an, meski saat itu yang naik ke
panggung politik adalah para politisi Islam kelas dua.  Pak Natsir, Pak
Roem, Pak Syafruddin politisi Islam kelas satu, dilarang berpolitik saat itu
dan akhirnya membentuk Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia. Para tokoh itu
melihat perubahan masyarakat, bukanlah berpangkal dari politik, perubahan
masyarakat dari pendidikan dan dakwah. Politik hanyalah membantu perubahan
itu dan ia bukan titik sebab atau sentral perubahan.

Begitulah, keadaan ini kita jalani. Karena kita memang ditakdirkan hidup di
Indonesia yang lagi euforia terhadap kebebasan. Kita tidak hidup di Arab
Saudi yang tidak ada pemilu.  Kita ingin memperbaiki negeri Indonesia ini
agar lebih baik dan lebih Islami.  Dan dalam sunnatullah perubahan sosial,
perubahan masyarakat itu terjadi bertahap.  Tidak ada perubahan di dunia
ini, perubahan sosial yang tiba-tiba meskipun dengan revolusi.

Apalagi dan alhamdulillah kita di Indonesia ini, para tokoh-tokoh Islam
pendahulu kita telah memperjuangkan Piagam Jakarta menjadi landasan negara.
Meski kemudian yang disahkan adalah UUD 45 setelah proklamasi 1945, tapi
dalam Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45.
Menurut tokoh Masyumi Mohammad Roem, Piagam Jakarta itu lebih tinggi dari
UUD 45. Karena jiwa lebih tinggi dari fisik. Artinya perjuangan penegakan
syariat Islam di negeri ini, mempunyai landasan yang kuat di negeri ini.
Tergantung saat ini bagaimana para ahli hukum Islam dan kita semua
masyarakat Islam, baik yang berjuang dalam sistem maupun luar sistem
bersama-sama mengaplikasikan syariat Islam ini menjadi Undang-undang yang 'applicable'.

Dan sunnatullah perjuangan adalah dimulai dari pemimpin. Baik pemimpin
formal (anggota DPR, menteri, bupati/ gubernur, dll)  maupun pemimpin
informal (pemegang media massa, kyai, ustadz, dosen, guru, aktifis gerakan,
dan lain-lain).
Bila pemimpin tidak memberikan teladan, maka rusaklah pengikut-pengikutny a.
Biasanya kerusakan sebuah gerakan, partai atau organisasi, bahkan negara
dimulai dari kerusakan pemimpin-pemimpinny a.  Pepatah yang terkenal "Ikan
busuk dari kepalanya". Dan kesederhanaan, tidak bermewah-mewah adalah ciri
utama dari seorang pemimpin Islam.

Maka suatu hari di tahun 1925, Mohammad Roem diajak ngaji oleh Kasman
Singodimedjo dan Soeparno ke rumah Haji Agus Salim.  Jalan ke rumah Agus
Salim itu becek bila kena hujan dan saat Kasman datang, Agus Salim Salim
berkomentar: "Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan manusia dan
sepeda terbalik." Kasman menjelaskan ke Roem bahwa kemarin ia ditunggangi
sepeda bukan ia menunggangi sepeda. Maka Kasman menjawab ke Agus Salim: "Een
leidersweg  is een lijdensweg, Leiden is lijden." Maknanya: "Jalan pemimpin
bukan jalan yang mudah, Memimpin adalah menderita."







------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)

Kirim email ke