Surga Dalam Seteguk Air 
7/9/2009 | 17 Ramadhan 1430 H 
dakwatuna.com – “Tuan-tuan saya akan puaskan keinginan tuan, selama saya bisa 
menghilangkan haus dan lapar saya dan bisa keluar dari padang pasir ini.” 
Wanita itu menggeretakkan giginya saat meminta sekantong air dari rombongan 
kafilah yang melewatinya.

Sinar mentari berangsur lenyap tersapu malam, kegelapan merangkak naik untuk 
bertahta, ketika sebagian besar mata sudah harus diistirahatkan, ketika itu 
sebagian manusia masih harus berjibaku dengan perjuangan terhadap nasib. Maka 
sebagian manusia berubah wajah. Mereka menanggalkan topeng religiusnya, mereka 
juga melepaskan semua jubah sosialnya. Dengan wujud asli, entah sebagai setan 
atau apa. Sebagian menjadi sosok pelacur, maling atau rampok, yang mencoba 
mengadu keberuntungan di antara kerasnya sejarah yang terus bergulir.

Sejak senja mulai menjelang, wanita lacur itu memulai aktivitasnya dengan 
bersolek di depan cermin. Memoles diri dengan make up dan gincu. Dengan sedikit 
kemanjaan mungkin, karena ia sempat membayangkan betapa tidak bernilainya hidup 
yang harus melayani ‘Syahwat’ para hidung belang.

Tapi di benaknya, ia akan merasa lega kalau bisa secepatnya keluar dari 
kungkungan nasib buruk yang menderanya. Tak ada pilihan, yang ada hanya 
bagaimana bisa bertahan hidup dengan cara apapun. Kehidupannya sudah 
benar-benar tak menentu. Semua laki-laki di kampungnya banyak yang telah 
meninggalkan rumah dan keluarga mereka, entah pergi ke mana. Pelacuran tumbuh 
di mana-mana. Setiap orang harus mempertahankan dirinya dari serangan lapar.

Zaman itu banyak terjadi kerusakan karena ulah kaisar Romawi yang zalim. 
Kelaparan dan kemisikinan merajalela di negeri Palestina. Berbagai cara 
dilakukan rakyat terutama para kaum miskin untuk melawan kelaparan dan 
kemiskinan itu. Seorang ibu terpaksa menjual anaknya seperti menjual pisang 
goreng. Perampokan, pembunuhan, penganiayaan tak kenal peri kemanusiaan lagi.

Perempuan muda itu terlihat terlalu tua dibandingkan dengan usia sebenarnya. 
Wajahnya kuyu diguyur penderitaan panjang. Padang pasir yang kering dan gersang 
telah mengubah gaun putih miliknya menjadi jubah berwarna hitam dengan renda 
ungu tua di tepian jubah. Ia mulai menawarkan diri kepada siapa saja yang mau, 
meski dengan harga yang murah.

Malam itu dilaluinya tanpa seorangpun yang menjamah dirinya. Padahal ia terus 
berusaha melenggak-lenggok menawarkan diri. Namun para lelaki  yang ditemuinya 
malah menjauhinya. Bila bertemu dengan perempuan tersebut, mereka melengos 
menjauhinya karena jijik melihatnya. Tidak ada daya tarik lagi.

Sementara pagi mulai menampakkan diri. Baginya kedatangan siang adalah 
penderitaan, karena tak berbekal apapun. Ia tidak mempunyai keluarga, kerabat 
ataupun sanak saudara. Sementara hari itu harus dilaluinya tanpa makanan dan 
minuman. Namun perempuan itu tidak peduli, karena pengalaman dan penderitaan 
mengajarinya untuk bisa tabah.

Segala ejekan dan caci maki manusia diabaikannya. Ia berjalan dan berjalan, 
seolah tak ada pemberhentiannya. Ia tak pernah yakin, perjalanannya akan 
berakhir. Namun sepanjang jalan itu sunyi saja, sementara panas masih terus 
membakar dirinya. Entah sudah berapa jauh ia berjalan, namun tak  seorangpun 
yang mendekatinya.

Ia berjalan dan terus berjalan hingga rasa lelah menyerangnya. Udara panas 
padang pasir dan debu bercampur dengan peluh yang terus mengalir dari tubuhnya. 
Ia berjalan tertatih tatih dan akhirnya terseok seok menapaki padang pasir. Ia 
melihat oase yang membentang di hadapannya. Semangatnya pun terus menyala demi 
mencapai oase itu. Tak berapa lama tubuhnya sudah bersandar pada sebatang pohon 
palem. Ia menghirup dalam dalam kesejukan oase itu. Hingga ia tersedak saat 
mendengar seseorang berteriak padanya. Mengusir dirinya agar tidak mendekat 
sumber air milik orang itu.

Padang pasir sahara itu memang sangat luas, mencakup sepertiga wilayah bumi 
ini. Kering dan berpasir  karena rendahnya angka hujan maka suhu pada siang 
hari begitu menyengat dan bisa membuat otak mendidih, konon karena saking  
panasnya, orang-orang gurun biasa memanggang roti hanya dengan dikubur di pasir 
dan roti akan matang dan hasilnya tidak kalah nikmat dari yang dibakar  di 
dalam oven, baunya yang semerbak harum akan terbawa angin kemana-mana dan 
membelai hidung orang-orang yang kebetulan lewat.

Ternyata perjuangannya untuk mendapatkan air belum berakhir. Lalu dia pun 
melanjutkan perjalanannya sambil menahan haus dan lapar sekaligus memberi 
semangat pada dirinya. Dadanya terasa sesak dengan nafas yang terengah-engah 
kelelahan yang amat sangat. Betapa lapar dan hausnya ia…

Ketika rasa haus dan laparnya tak tertahankan lagi, sayup-sayup ia mendengar 
suara lonceng unta, ia bertemu dengan serombongan pedagang yang berjalan ke 
arah lain di padang pasir. Di atas pundak unta rombongan pedagang itu 
tergantung sekantong air. Ia meminta sedikit air pada rombongan pedagang itu, 
namun kafilah itu tidak bersedia memberikan airnya. Kafilah-kafilah itu hendak 
menjual airnya dengan mahal, sebab di padang pasir, air sangat berharga.

Wanita itu mengumpulkan sisa tenaga sebisanya untuk merayu para kafilah itu. 
Dia rela menukar dirinya dengan sekantong air itu. Para kafilah kemudian 
menjadi ragu. Mereka berpikir, harga wanita itu tidak sebanding dengan air 
miliknya.

Tapi mereka juga takut air persediaannya akan terbuang. Wanita itu 
menggeretakkan giginya, lalu berkata pada kafilah itu, “Tuan-tuan saya akan 
puaskan keinginan tuan, selama saya bisa menghilangkan haus dan lapar saya dan 
bisa keluar dari padang pasir ini.”

Kafilah itu tidak mempedulikannya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan 
sambil memacu unta tunggangannya. Kafilah itu menertawakannya sembari berkata : 
“Dasar perempuan sial, perjalanan kami masih sangat panjang baru bisa keluar, 
bagaimana mungkin kami membagi air kepada orang macam kau.” Ia tidak peduli 
dengan ejekan kafilah itu, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Karena tidak ada air, ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya pusing mata 
berkunang-kunang, lemas tidak bertenaga. Namun ia tetap bersikeras terus 
berjalan,  kemudian, ia merasa dirinya hampir tidak sanggup bertahan lagi.

Di ujung jalan nampak bayang-bayang air, seolah ada lautan, sedang banjirkah? 
Namun saat mendekat ternyata tidak ada air, hanya ilusi. Jalan di depannya 
masih tetap meninggalkan pemandangan seolah ada genangan itu.

Tepat di saat itu, kembali ia mendengar lonceng unta, lagi-lagi serombongan 
kafilah padang pasir berlalu di sisinya. Lalu ia meminta minum pada kafilah 
ini. Tapi kafilah ini hanya ingin menjual airnya lebih mahal.

“Hei, mana ada orang yang akan mempedulikan kau, perempuan pembawa sial, bisa 
keluar hidup-hidup itu sudah bagus!” Kafilah itu berseru sambil tertawa 
mengejek, namun wanita itu tidak peduli dan terus berjalan.

Dua hari kemudian, dalam keadaan tidak adanya air, ia berusaha dengan susah 
payah berjalan sampai di ujung padang pasir. Sampailah ia di sebuah desa yang 
sunyi. Desa itu sedemikian gersangnya hingga sehelai rumputpun tak tumbuh lagi. 
Perempuan lacur itu memandang ke arah kejauhan. Matanya nanar melihat kepulan 
debu yang bertebaran di udara. Kepalanya mulai terasa terayun-ayun dibalut 
kesuraman
wajahnya yang kuyu. Tapi, karena sudah lemas di saat demikian, tidak ada lagi 
tenaga untuk melangkah. Akhirnya ia terkulai lemas.

Dalam pandangan dan rasa hausnya yang sangat itu, ia melihat sebuah sumur di 
batas desa yang sepi. Sumur itu ditumbuhi rerumputan dan ilalang kering dan 
rusak di sana-sini. Wanita itu mencoba mendekat untuk memastikan bahwa yang 
dilihatnya bukan fatamorgana. Ia menepi di pinggirnya sambil menyandarkan 
tubuhnya yang sangat letih. Rasa hauslah yang membawanya ke tepi sumur tua itu.

Sesaat ia menjengukkan kepalanya ke dalam sumur tua itu. Tak tampak apa-apa, 
hanya sekilas bayangan air memantul dari permukaannya. Mukanya tampak 
menyemburat senang, namun bagaimana harus mengambil air sepercik dari dalam 
sumur yang curam? Perempuan itu kembali terduduk.

Tiba-tiba ia melepaskan stagennya yang mengikat perutnya, lalu dibuka sebelah 
sepatunya. Sepatu itu diikatnya dengan stagen, lalu dijulurkannya ke dalam 
sumur. Ia mencoba mengais air yang hanya tersisa sedikit itu dengan sepatu 
kumalnya. Betapa hausnya ia, betapa dahaganya ia.

Air yang tersisa sedikit dalam sumur itu pun tercabik, lalu ia menarik stagen 
itu perlahan-lahan agar tidak tumpah. Namun tiba-tiba ia merasakan kain bajunya 
ditarik-tarik dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya seekor anjing dengan 
lidahnya terjulur ingin meloncat masuk ke dalam sumur itu. Sang pelacur pun 
tertegun melihat anjing yang sangat kehausan itu, sementara tenggorokannya 
sendiri serasa terbakar karena dahaga yang sangat.

Sepercik air kotor sudah ada dalam sepatunya. Kemudian ketika ia akan 
mereguknya, anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil merintih. Pelacur
itupun mengurungkan niatnya untuk mereguk air itu. Dielusnya kepala hewan itu 
dengan penuh kasih. Si anjing memandangi air yang berada dalam sepatu.

Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia menarik napas panjang sambil 
berkata : “Anjing ini hampir mati kehausan.”

Lalu perempuan itu meregukkan air yang hanya sedikit itu ke dalam mulut sang 
anjing. Air pun habis masuk ke dalam mulut sang anjing, dan perempuan itu
pun seketika terkulai roboh sambil tangannya masih memegang sepatu…

Melihat perempuan itu tergeletak tak bernafas lagi, sang anjing menjilat-jilat 
wajahnya, seolah menyesal telah mereguk air yang semula akan direguk perempuan 
itu. Pelacur itu benar-benar telah meninggal.

Peristiwa luar biasa, bukan sekedar adegan wanita pelacur merelakan seteguk air 
untuk seekor anjing yang sama-sama kehausan. Tapi wanita itu telah melepaskan 
keterikatan jiwanya terhadap ikatan-ikatan duniawiyah. Ya, dalam perjalanan 
hidup ini, jika ada padang pasir yang sama, kita baru bisa keluar hanya dengan 
melepaskan keterikatan ini. Harta benda bisa dicari, tapi kesempatan untuk 
mendapatkan akhir hidup yang baik, itu yang sulit!

Perjalanan kadang kala letih didera cambukan ‘nasib’ yang terus bergerak 
layaknya ombak yang menghempas bebatuan cadas. Hanya saja tak ada pilihan untuk 
menghentikan perjalanan itu. Roda yang berputar sangat deras, dan manusia 
takkan mampu menghentikan hal itu.

Dari Abi Hurairah r.a. dari Rasulullah saw berabda, “Telah diampuni seorang 
wanita pezina yang lewat di depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah 
sumur. Dia berkata, “Anjing ini hampir mati kehausan”. Lalu dilepasnya 
sepatunya lalu diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Maka diampuni 
wanita itu karena memberi minum. (HR Bukhari)


Kirim email ke