Apa Pantas Berharap Surga?
Oleh: Bayu Gawtama + SBR

Sholat dhuha cuma dua rakaat, tahajjud juga hanya dua rakaat, itu pun sambil
terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih
ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala
macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu.
Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu
lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau
"Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apakah pantas
kita mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan
derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka
bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat
pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar
mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para
sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu
demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh
tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi
hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini
tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman
itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya
satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang
lupa, kadang sibuk, kadang malas. Apakah kita termasuk yang  mengaku
beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk
meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka
terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam
dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi
mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan
menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah y
ang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, itu pun dipilih mata
uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat
baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan
bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal,
amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum?
Kalau sudah seperti ini, apakah pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur
lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata
miliki Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan
teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih
dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali
pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat
kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga
sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi
permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh
turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan
saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat
keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana.
Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas
hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang
beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang
berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita
menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus
bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang
ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi
mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun
selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan
dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah.
Apakah Orang-orang seperti kita ini.. pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang
disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang tak
beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau
menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih
bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia
tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan?
Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu.
Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita
baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu
penyesalan.

Astaghfirullaah.
.


------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, 
seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)

Kirim email ke