(Inspirasi) Kau Dengan Gunung Mu, Aku Dengan Gunung Ku
Posted by: "~ Made Teddy Artiana ~" made.t.arti...@gmail.com
Mon Apr 26, 2010 5:12 am (PDT)


*Kau Dengan Gunung Mu, Aku Dengan Gunung Ku*

ditulis oleh Made Teddy Artiana, S. Kom


Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan
kehadiran kita didunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin
kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang
berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel
telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini
satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai
pemenang"*

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang ulama
yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi
kalau boleh jujur, aku tidak terlalu sependapat dengannya. Uraian beliau
tentang persaingan kuanggap tidak seratus persen benar.

*Mengapa ?*

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan
sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak
? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa/terpaksa
belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena
persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar. Kebiasaan ini
diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

*Tips dan trick memenangkan kompetisi.*

*Kiat mengalahkan pesaing.*

*Cara mengetahui strategi Competitor.*

*Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.*

*Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.*

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan hal-hal seperti itu
sehingga hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini
mutlak benar ? Benarkah segalanya begitu terbatas ? Benarkah hidup ini tidak
menyediakan kecukupan untuk semua orang ? Benarkan TUHAN yang sangat tidak
terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita 'ditakdirkan' harus saling
sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini
hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri
sebagai wasit -sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai
pecundang-pecundang malang.

Kontradiksi dengan semuanya itu. Bukankah sedari kecil kita juga telah
sering mendengar pengajaran-pengajaran sebagai berikut :

"Mungkin bukan rejeki kita"

"Sudah menjadi rejeki dia"

"Rejeki itu sudah kita bawa ketika kita lahir"

"Setiap manusia sudah punya rejeki masing-masing"

"Menjemput rejeki"

"Rejeki tidak mungkin tertukar"

"Iri hati kita tidak menambah atau mengurangi rejeki orang lain"

Periksalah seluruh kitab suci di atas muka bumi ini dan temukan sebuah ayat
tentang persaingan. Tentang betapa sedikitnya kemampuan TUHAN memberikan
rejeki pada umat-NYA. Tentang betapa terbatasnya segala sesuatu. Dari
sanakita akan mendapat gambaran yang jauh berbeda dengan dunia yang
didalamnya kita sudha bernafas sejak kecil.

Lalu dari mana doktrin ini berasal ? Apakah pendapat dunia sekuler telah
begitu mencemari kita ?

Kita tahu bahwa ada dua jenis manusia didunia ini. Mereka yang beriman dan
mereka yang berotak. Ini tidak berarti orang-orang beriman tidak memiliki
otak sama sekali dikepala mereka, atau begitu juga sebaliknya mereka yang
berotak sama sekali tidak memiliki iman dihati mereka. Ini hanya sebuah
istilah yang ingin menggambarkan "tentang apa yang mendominasi kehidupan
mereka sehari-hari".

Bagi mereka yang mengagung-agungkan otak, lebih percaya hanya kepada apa
yang mereka lihat, alami dan pelajari. Namun kaum beriman -yang seringkali
bersandar pada hati- menaruh kepercayaan pada apa yang tidak kasat mata.
Janji TUHAN, pahala, dan lain sebagainya.

Kedua golongan ini saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan
lain. Mungkinkah diktat besar mengenai persaingan kemudian ditandatangani
disini, lalu diterima sebagai sebuah kebenaran turun temurun ?

Kita belajar karena ingin menduduki ranking tertentu atau bahkan lebih parah
dari itu : karena takut tidak lulus dan takut tidak memenuhi syarat
pekerjaan di masyarakat. Hanya segelintir orang yang belajar karena rasa
ingin tahu yang tulus.

Ingin mendapat pendapatan atau jabatan yang lebih tinggi. Bisnis yang lebih
hebat. Uang yang lebih banyak. Lalu mulai bermanuver, politiking,
si-sa-si-ji-sa-si : sikut sana sini, jilat sana-sini. Apakah pendekatan
'memberikan yang terbaik dan berkarya sehebat mungkin' sudah terlalu kuno
dan kurang efektif lagi ?

Bukankah 'memperbaiki diri' adalah salah satu takdir yang harus kita penuhi
? Bahwa orang yang keadaannya sama saja dengan hari kemarin adalah
orang-orang yang merugi dan bahwa orang-orang yang keadaannya lebih buruk
dari kemarin adalah orang-orang terkutuk ? Sama sekali bukan alasan siapa
menang dan siapa kalah. Siapa yang mendapat dan siapa yang terpaksa
menyerahkan.

Lalu untuk apa kita belajar, memperoleh gelar Prof, Dr., SH, S. Kom, MBA,
MSI, TKW, HIV ? Untuk apa seluruh daya upaya, pengorbanan, keringat,
strategi, riset, kreatifitas dan usaha yang telah kita dikerahkan ?

*Untuk menggali tambang emas gunung rejeki kita masing-masing ! *

Itu juga berarti, sama sekali tidak menjadi masalah jika kita saling
membantu, saling sokong, saling memberi informasi rahasia, saling
menyumbangkan tips dan trik, karena kita tidak sedang berebutan menggali
satu gunung rame-rame, tapi yang kita lakukan adalah menggali gunung rejeki
kita masing-masing, yang sudah ditentukan TUHAN menjadi bagian kita sejak
kita lahir.

Saling jegal ? Buat apa !?

Itu hanya sebuah pemborosan energi yang sudah pasti membuat pekerjaan
menambang emas kita masing-masing jauh lebih lambat dari kecepatan
sebenarnya. Lebih jauh dari itu, hanya merupakan kegiatan yang mengotori
hati nurani dan mengundang hal-hal buruk terjadi pada hidup kita.

Sedikit banyak ini merupakan kabar baik bagi para pencundang, bahwa ternyata
masih begitu banyak harapan dalam hidup ini. Sebaliknya merupakan kabar
buruk buat mereka-mereka yang selama ini membusungkan dada, karena merasa
telah mengalahkan banyak orang dalam hidupnya. Bahwa ternyata kemenangan
yang mereka raih adalah palsu. Para pemenang palsu ini berlari kesetanan
padahal tidak ada yang mengejar mereka. Menggali membabi buta, padahal yang
mereka gali adalah gunung mereka sendiri, yang tidak mungkin diganggu gugat
oleh siapapun. *Oooh poor fake winner*.

Bahkan Sun Tzu dalam strategi perangnya mengatakan secara implisit bahwa
musuh yang sebenarnya ada dalam diri kita. Sehingga seorang jenderal perang
yang ceroboh, akan terbunuh. Penakut, akan tertangkap. Lekas marah, akan
mudah terprovokasi dan mereka yang begitu sensitif akan kehormatan akan
dengan mudah dipermalukan. Bukankah itu semua ada dalam diri kita ? Dengan
kata lain yang membuat kita terbunuh, tertangkap, marah, dan dipermalukan
adalah diri kita sendiri dan sama sekali bukan orang lain. Jadi pemenang
sejati adalah mereka yang mengalahkan bagian dari diri mereka yang buruk dan
sama sekali bukan mengalahkan orang lain.

*Jadi bagaimana membuat persaingan tidak relevan lagi ? *

Agak sedikit berbeda dengan pendekatan yang Blue Ocean Strategy tawarkan
(ada baiknya jika kita kembali kepada kebenaran awal, takdir mula-mula
manusia) bahwa : kau berhadapan dengan gunung rejeki mu dan aku berhadapan
dengan gunung rejeki ku.

*Otomatis persaingan menjadi sangat tidak relevan lagi.*

Apakah perenungan ini valid ? Apakah ini sebuah kebenaran yang terlupakan
atau lamunan iseng keblinger dari orang yang baru hidup sepertiga abad ?
Semuanya kembali kepada diri kita masing-masing tetapi apapun itu :
"Terjadilah sesuai dengan iman mu !!!" atau dalam bahasa lain "TUHAN adalah
seperti prasangka hamba-NYA".

Oh iya ada sesuatu yang hampir saja terlupakan. Mengenai analogi sel sperma
dan sel telur diatas.

Mungkin ada baiknya jika kita melihat dari sudut pandang berbeda. Yaitu
sudut pandang sel telur. Bahkan satu sel telur tidak perlu merasa kuatir
akan sel sperma untuknya, karena TUHAN telah menyediakan berjuta-juta sel
sperma, yang tanpa diminta berenang dan berusaha membuahinya.

Pola pandang seperti ini memang cenderung ganjil dan nyeleneh.

Tapi paling lewat pola pandang seperti ini berakibat

hidup menjadi begitu luar biasa,

sesama yang selama ini dipandang sebagai ancaman, berubah menjadi partner
yang menyenangkan,

hati yang semula bergejolak dalam pertempuran yang tidak perlu kini mengalir
teduh dan

TUHAN dimuliakan karena ketidakterbatasan kemampuan BELIAU menyediakan
segala sesuatu untuk semua.

*What a wonderfull world !*

*What an abundance life !!*

*What an exciting journey !!!*

(selesai)

*Nb.*
*Ada profile Made Teddy Artiana di Majalah Human Capital terbaru (edisi 73,
April 2010)*

from Bali with love...
*Made Teddy Artiana, S. Kom*
http://semarbagongpetrukgareng.blogspot.com
0813 178 227 20



------------------------------------------------------------------
- Milis Masjid Ar-Royyan, Perum BDB II, Sukahati, Cibinong 16913 -
- Website http://www.arroyyan.com ; Milis jamaah[at]arroyyan.com -

Rasulullah SAW bersabda, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, 
seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga.
(Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu) (HR. Bukhari)

Kirim email ke