----- Original Message ----- 
From: masjid annahl 
Sent: Friday, November 05, 2010 9:55 AM



Oleh: Muhammad Nuh

dakwatuna.com – Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada 
sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang 
pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan 
berbentuk benang kusut. Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang 
bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, 
tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak 
seimbang.

Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah 
meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, 
dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun 
meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, 
kadar kolesterol naik.

Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, 
kekebalan tubuh pun melemah. Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu 
lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, 
tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan 
pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak. Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak 
heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh 
diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta 
berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.

Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa 
dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan 
hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. 
Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit 
dan kematian buat selamanya. Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu 
mengungkung manusia.

Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara 
jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah 
upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok 
dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.

Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad.

Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila 
dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu 
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan 
di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini 
(dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)

Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang 
sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi 
ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma 
sekadar tempelan. Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka 
dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji 
lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka 
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui 
orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa 
yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi 
kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji 
menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu 
(ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji 
terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” 
(Al-Bukhari)

Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan 
dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, 
akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah 
pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, 
dan dibentuk. Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia.

Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan 
dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. 
Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang 
dalam.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua 
jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” 
(Al-Balad: 10-11)

Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus 
segar dalam jiwa seorang hamba Allah.

Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. 
Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir. Masih banyak mereka 
yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit.

 Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis 
hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

sumber : dakwatuna.com


Kirim email ke