----- Original Message ----- 
From: masjid annahl 
Sent: Tuesday, May 26, 2009 11:44 AM


Seri : Keluarga
Sabun Colek
Rabu, 06/05/2009 13:35 WIB 
 Kalau diibaratkan hidup berumah tangga seperti mengendarai bus, peran ganda 
memang tidak bisa dipungkiri. Adakalanya kondektur merangkap jadi sopir. Dan 
adakalanya pula, sopir berperan ganda sebagai kondektur.

Hidup berpasangan memang penuh warna-warni. Terlebih ketika sebuah pasangan 
telah teranugerahi buah hati. Pelangi hidup jadi kian semarak. Dan tiap warna 
memberikan kenangan tersendiri yang sulit terlupakan.

Di antara warna itu adalah ketika seorang suami ingin merasakan repotnya jadi 
seorang isteri. Ini otomatis menyangkut beban isteri pada anak-anaknya. Apa 
saja. Mulai masak, mengurus anak, menata perabot rumah, mencuci dan menyetrika 
pakaian, serta menampung keluhan anak-anak.

Mungkinkah? Jawaban sebenarnya bukan sekadar mungkin, tapi harus. Karena semua 
tugas itu memang terpikul di pundak suami. Suamilah yang paling bertanggung 
jawab atas semua beban hidup keluarga. Semantara isteri hanya sebagai 
kepanjangan tangan suami.

Buat suami yang mampu, mereka menyediakan para pembantu buat tugas-tugas rumah 
seperti itu. Ada juru masak, tukang cuci, perawat anak, dan tukang kebun. Tapi, 
buat yang kantongnya pas-pasan, masih ada cara lain. Mau tidak mau, suami mesti 
terjun mengurus seisi rumah. Setidaknya, itulah yang kini dialami Pak Hasan.

Bapak lima anak ini sadar betul kalau tugas isteri itu sangat berat. Belum lagi 
kesibukan sosial di masyarakat. Dan kesibukan luar itu bisa datang dari dua 
arah: sebagai pelaku dan sebagai peserta. Kalau dua sebagai itu tergabung, 
kesibukan luar bisa berlipat-lipat.

Buat Pak Hasan, seorang isteri adalah aset keluarga yang sangat mahal. Itulah 
kenapa ia bukan sekadar mengikhlaskan isterinya aktif di masyarakat, bahkan 
memberikan semangat ketika hasrat aktif itu mulai redup. Kalau sudah begitu, 
Pak Hasan mesti siap dengan urusan rumah. “Ah, cuma masak ama nyuci ini lah. 
Gampang!” tekad Pak Hasan sambil menatap sang isteri pergi.

Mulailah ia repot-repot memasak mie instan. Mie siap, telor ada, air dalam 
panci mulai tampak mendidih. Tapi.... Sesekali Pak Hasan menoleh ke arah 
anak-anak yang tak sabar menanti. Ada yang mulai menangis, ada yang 
teriak-teriak, ada juga yang sibuk berebut piring dan sendok. “Sabar, Nak!” 
suara Pak Hasan menambah riuh suasana.

Sejenak, ia seperti teringat sesuatu. Tatapannya tiba-tiba begitu tajam ke arah 
dua benda di hadapannya: mie dan telor. “Eh iya. Mana yang lebih dulu masuk, 
ya. Mie apa telor? Lha, saya kok jadi bingung,” suara spontan Pak Hasan 
tiba-tiba. Sementara, suara tangis dan teriakan anak-anaknya kian nyaring. Di 
luar dugaan, luapan air mendidih lebih dulu mematikan kompor sebelum Pak Hasan 
mengambil keputusan: antara mie dan telor.

Pernah juga Pak Hasan berepot-repot memandikan tiga anaknya yang masih balita. 
Sementara dua anaknya yang di SD sudah berangkat ke sekolah. Satu anaknya yang 
akan mandi tampak menangis, “Nggak mau ayah. Dingin. Ani nggak mau mandi!” 
Sedang di kamar mandi sudah tampak dua anaknya yang lain sedang guyur-guyuran 
dengan baju masih melekat di badan. “Hati-hati, Nak. Nanti masuk kuping!” 
teriak Pak Hasan sambil menggiring satu anaknya yang masih menangis ke kamar 
mandi.

Sesaat Pak Hasan terdiam. Ia seperti mengingat sesuatu, “Ah iya, sabun mandinya 
habis.” Pak Hasan tampak bingung. Nggak mungkin memandikan anak dengan bersih 
kalau nggak dengan sabun. Tapi, siapa yang mau pergi ke warung. Tak ada orang 
lain kecuali dia dan tiga anaknya yang sedang mandi. Kalau ditinggal pergi, ia 
khawatir anak-anaknya terjatuh. Duh, gimana dong? Pak Hasan tambah bingung.

Sejenak, matanya menangkap sesuatu di bak pencuci piring. Ah, itu dia. Pak 
Hasan bergegas mengambil sabun colek yang biasa digunakan isterinya buat cuci 
piring. “Yah, masih sama-sama sabun,” ucapnya sambil menghampiri anak-anaknya 
yang mulai kedinginan. Satu per satu, anak-anak diolesi sabun, dibilas untuk 
kemudian digosok dengan handuk. Mandi pun selesai.

Mulailah Pak Hasan menyiapkan baju salin anak-anak. Ia teliti satu per satu 
baju yang ada. Mulai dari kecocokan dengan cuaca yang musim hujan, warna, dan 
keserasian atasan dan bawahan. Saat itulah ia kembali dihibur dengan suara 
merdu tangis anak-anaknya. Kali ini, bukan cuma satu. Tapi ketiga-tiganya. 
“Aduh, gatal ayah! Badan adek gatal nih!”

Mendengar itu, spontan Pak Hasan menghampiri anak-anaknya. Ketiganya tampak 
sibuk menggaruk-garuk tangan, badan, dan kaki. “Kamu kenapa, Nak?” suara Pak 
Hasan agak panik. Tak ada jawaban kecuali tangis yang kian menderu. “Lha, 
kenapa ya? Jangan-jangan...sabun colek itu. Ya Allah!”

Pak Hasan menatap tiga anaknya yang sedang tidur siang. Sesekali, ia kembali 
mengolesi obat gatal di kaki sang anak yang hilang karena tergaruk. “Kasihan 
anak-anakku!” suara batin Pak Hasan sesaat setelah ia beranjak ke ruang tengah.

Dari ruang itulah ia bisa melihat hampir separuh isi rumahnya. Tampak ruang 
tamu yang acak-acakan. Dua kursi terbalik, dan taplak meja terlihat menjuntai 
di atas lemari pajangan. Belum lagi pemandangan lantai yang begitu semarak 
dengan mie instan mentah yang berserakan.

Ia pun menoleh ke ruang dapur. Tampak di sana piring-piring kotor saling 
bertumpukan. Dua gelas plastik tergeletak di lantai dengan genangan larutan 
warna coklat. Tak jauh dari situ, baju dan celana dalam anak-anak berserakan.

Saat itu, Pak Hasan teringat sesuatu. Ia kian sadar betapa tugas seorang isteri 
tidak mudah. Berat! Ah, ternyata lebih mudah jadi sopir daripada berperan 
sebagai kondektur. (muhammad...@eramuslim.com)

Sumber : eramuslim.com



Kirim email ke