From: "MundhiSabda Lesminingtyas" <[EMAIL PROTECTED]> Miskin Tidak Harus Mengemis Bagian 8 (Oleh : Lesminingtyas)
Keputusan saya untuk menginap di rumah pengurus yayasan mitra kerja- pihak yang yang diaudit- sebenarnya merupakan keputusan yang sangat mahal dan beresiko. Saya katakan beresiko karena banyak rambu-rambu yang telah saya langgar. Demi obyektivitas dan idependensi dalam pelaksanaan audit, lembaga kami sebenarnya melarang staf menerima jamuan atau pemberian dalam bentuk apapun dari pihak yayasan mitra kerja maupun pelaksana proyek. Beberapa staf senior di kantor saya juga mengajarkan bahwa demi keselamatan dan keamanan, saya sebaiknya tidak makan dan minum apa yang disajikan oleh proyek. Terlebih lagi proyek-proyek di Kalimantan Barat yang sebagian besar masuk dalam daftar proyek bermasalah. Namun bagi saya selama saya obyektif, jujur dan berpegang pada kebenaran, saya tidak takut berada sangat dekat dengan siapapun. Terlebih lagi kalau saya datang dengan niat baik, saya yakin lawan bisa menjadi kawan dan racun bisa menjadi berkat. Keputusan saya juga merupakan sesuatu yang mahal karena walaupun saya telah menyerahkan uang seharga tarif hotel dan anggaran makan di restoran, saya tahu persis tidak akan mendapatkan jamuan yang sebanding dari keluarga Anton. Tetapi bagi saya persaudaraan tidak bisa ditukar dengan fasilitas mewah di hotel atau makanan lezat di restoran. Terlebih lagi setelah beberapa kali berdoa, nurani saya selalu mengatakan bahwa lebih baik menukar kamar berAC, kasur empuk, bathtub lengkap dengan air panas di hotel dengan dipan kayu tak berkasur di rumah keluarga Anton yang diselimuti dengan hangatnya persahabatan. Setidaknya saya merasa sedikit terhibur kalau biaya akomodasi yang saya serahkan, sedikit banyak bisa membantu keluarga Anton untuk menyediakan makanan bergizi untuk anak-anaknya, walau hanya untuk beberapa hari saja. Sayapun merasa senang bisa berkawan dengan ketiga anak keluarga Anton, yaitu Ester, Josua dan Yemima. Walaupun anak-anak itu tampak kurus dengan rambut yang kemerah-merahan, persis tamanan yang kurang pupuk, setidaknya masih ada harapan dan keceriaan dalam hari-hari mereka. Satu hal lagi pelayanan gratis namun berharga dan tidak mungkin saya dapatkan di hotel berbintang sekalipun, yaitu saya bisa turut serta dalam persekutuan doa yang biasa dilakukan keluarga Anton untuk membuka dan menutup hari demi hari. Saat memulai tugas audit, saya tidak mempunyai bayangan sedikitpun tentang keadaan proyek kemanusiaan yang merupakan hasil kemitraan lembaga kami dengan yayasan di bawah GKTI (Gereja Kristus Tuhan Indonesia). Satu-satunya data keuangan dan catatan pelayanan yang saya bawa dari Jakarta sudah tidak terbaca lagi karena terguyur air saat saya menyeberangi Sungai Kapuas. Saya hanya bisa berdoa, memohon supaya para pelaksana proyek tidak membaca ketidaksiapan saya dalam melakukan tugas audit. Hal pertama yang wajib saya lakukan saat audit adalah cash opname. Tetapi entah apa yang terjadi, Pimpro memberitahu saya bahwa bendahara proyek akan datang agak siang. Feeling saya mengatakan bahwa pasti ada hal-hal yang aneh di proyek itu. Untuk mengisi waktu, saya melihat ID Card anak-anak asuh yang jumlahnya mencapai empat ratusan. Hati saya agak tersentak ketika melihat foto Ester dan Josua dengan ID Number 234 dan 240 tetapi dengan nama yang berbeda. Paling tidak saya menemukan 2 pelanggaran. Yang pertama : kebijakan lembaga kami tidak memperbolehkan keluarga pengurus yayasan mitra kerja dan para pelaksana proyek mendapatkan bantuan dari proyek. Yang kedua : proyek telah memalsukan data, dengan mengganti nama Ester menjadi Magda dan Josua menjadi Matius. Walaupun sudah cukup alasan untuk mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut, saya tetap berusaha menenangkan hati sambil mencari akal bagaimana saya harus membuka fakta-fakta penyimpangan tanpa melalui perselisihan. Secepat kilat saya menyusun daftar 10% anak yang ditetapkan sebagai sample untuk dikunjungi, dengan menyertakan kedua nomor misterius itu. Begitu bendahara datang sayapun segera melakukan cash opname dan memeriksa semua bukti transaksi. Siang harinya saya menyerahkan daftar sample kunjungan kepada pimpro."Ini daftar anak-anak yang harus dikunjungi. Tolong siapkan ID card dan kartu pelayanan masing-masing anak" pinta saya "Wah Bu, ini ada anak-anak yang tinggal di atas gunung yang sulit dijangkau. Bolehkah kami mengganti beberapa anak dalam daftar ini dengan anak-anak yang lain ?" tanya pimpro dengan raut muka yang tidak jujur. "Daftar itu dibuat oleh staf kantor pusat Jakarta, kita tinggal melaksanakan saja" jawab saya sambil berkata dalam hati "Lu nggak tahu ya, kalau staf kantor pusat yang membuat daftar itu ada di depan lu !" "Tapi medannya sulit untuk dikunjungi, Bu !" kilah pimpro. "Ya, itu resiko dari pelayanan. Kalau kita sudah berani memutuskan untuk melayani anak-anak yang tinggal di puncak gunung, kitapun harus berani untuk ke sana. Bagaimana kita tahu apa yang mereka butuhkan kalau kita tidak pernah mengunjunginya" saya mulai berceramah "Supaya tidak ada kesulitan, saya minta Pekerja Sosial pendamping anak-anak itu saja yang menemani saya selama home visit" lanjut saya. Saya berharap dengan berkawan akrab dengan pekerja sosial, saya bisa mendapatkan informasi yang penting yang tidak mungkin keluar dari mulut pimpro atau bendahara. Namun apa yang terjadi tidak semudah yang saya bayangkan. Pekerja sosial itu ternyata juga merupakan kroni dari pimpro dan pengurus yayasan. Dengan gelagat yang mencurigakan, pekerja sosial selalu saja mencari-cari alasan supaya saya tidak mengunjungi anak dengan ID number 234 dan 240. "Bu, anak nomor 234 dan 240 itu rumahnya jauh sekali dan tidak bisa dijangkau dengan oplet" kata pekerja sosial menakuti saya. "Berapa kilo dari tempat ini dan dengan apa kalian biasa ke sana ?" tanya saya pura-pura tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dalam hati saya berkata "Lu, mau membohongi gua, ya ? Tidak bisa !" "Wah jauh sekali. Kira-kira 7,5 kilo meter dan hanya bisa dicapai dengan sepeda" jawab pekerja sosial. "OK, kalau begitu kita ke sana" kata saya datar. Saya langsung menuntun sepeda inventaris proyek dan menyerahkannya kepada pekerja sosial itu "Kita pergi sekarang. Pak Aloy naik sepeda ini dan saya akan membonceng". Saya tidak memberi kesempatan pekerja sosial itu mengelak lagi. Saya hanya ingin kebenaran dan kejujuran keluar langsung dari mulut-mulut anak Tuhan yang kebetulan dipercaya mengelola proyek. Setelah mengayuh sepeda kurang lebih 2 km, kami melewati rumah keluarga Anton. Saya tahu persis seharusnya Pak Aloy membelokkan sepeda ke rumah tersebut, tetapi tampaknya Pak Aloy masih ingin bermain-main dengan saya. Dan sayapun menerima dan menikmati permainannya itu. Sebenarnya saya tahu persis kalau saya sedang dikerjain. Tetapi saya juga tidak kurang akal untuk balik ngerjain. "Kalau lu gila, gua bisa lebih gila lagi !" kata saya dalam hati. Saya biarkan saja Pak Aloy mengorbankan otot betisnya untuk menggenjot sepeda sampai kira-kira jarak 5 km. Saat jalanan agak menanjak saya sengaja tidak turun supaya Pak Aloy kepayahan dan segera menyerah, mengakui kebohongan proyek. Tetapi biarpun telah bermandi peluh, Pak Aloy tetap setia menutupi borok kroni-kroninya di proyek. Walaupun Pak Aloy telah bersekongkol membohongi saya, sedikit demi sedikit timbul juga rasa kasihan dalam hati saya. Terlebih lagi ketika saya lihat Pak Aloy yang mulai menghirup dan menghembuskan nafas dengan mulutnya. Dengan sedikit rasa kemanusiaan, saya mengajak Pak Aloy untuk beristirahat sebentar. Sayapun mentraktir Pak Aloy untuk minum di sebuah warung kecil dengan harapan Pak Aloy mau terbuka dengan saya. "Bagaimana Bu, kita masih akan melanjutkan perjalanan kira-kira 2,5 km lagi, atau cukup sampai di sini saja ?" tantang Pak Aloy. "Terserah Pak Aloy, yang penting saya bisa bertemu dengan Matius ID number 234 dan Magda ID number 240 ini" jawab saya sambil menyodorkan kedua ID card misterius itu. Saya mengatakan terserah kepada Pak Aloy karena keputusan memang ada di tangannya. Kalau ia jujur dan mengakui bahwa data anak itu fiktif, maka perjalanan tidak perlu dilanjutkan. Tetapi karena mulut Pak Aloy belum juga mau mengeluarkan kejujuran, dengan cara apapaun saya akan terus meminta Pak Aloy untuk menggenjot dan menggenjot lagi. Bersepeda sampai ujung duniapun bagi saya tidak ada masalah, karena ke manapun kami pergi, saya tidak perlu mengeluarkan tenaga dan tanpa harus bermandi peluh. "Lumayan, hitung-hitung menikmati semilirnya angin Desa Sijangkung" kata saya dalam hati. Ketika kami sampai di batas desa, Pak Aloy membelokkan sepedanya ke sebuah gubuk yang berpenghuni orang Jawa. Ketika seorang ibu keluar menemui kami, sayapun menanyakan apakah keluarga tersebut memiliki anak yang bernama Matius atau Magda. Ibu itu hanya menggeleng tak bersemangat melayani kami. Karena saya tahu bahwa perempuan itu orang Jawa, maka sayapun mengajaknya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibu kami. "Bu, kulo tiyang nJawi. Kulo sowan mriki kepengin ngertos kawilujenganipun Ibu sakeluargo. Kulo kepingin ngertos, menapa Ibu kagungan putra ingkang naminipun Matius kalian Magda ?" dalam Bahasa Jawa yang halus saya mengatakan bahwa saya datang dari Jawa, ingin tahu keadaan keluarga itu. Sayapun menanyakan apakah keluarga itu punya anak yang bernama Matius dan Magda. "Anak kulo kalih, estri sedaya. Ingkang ageng naminipun Suwarni, ingang alit naminipun Sumini. Kalih-kalihipun saweg tilem amargi sakit malaria" dengan sikap well come, perempuan itu mengatakan bahwa ia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Suwarni dan Suwarti, yang keduanya sedang tidur karena sakit malaria. "Sampun dangu pikantuk bantuan saking yayasan, Bu ?" masih dalam Bahasa Jawa saya menanyakan apakah keluarga tersebut sudah lama mendapat bantuan dari yayasan. Dengan polos perempuan itu menjawab "Rumiyin pikantuk, namung sampun langkung saking setahun mboten dipun paringi malih" tanpa diketahui oleh Pak Aloy yang asli Dayak, perempuan itu telah memberikan informasi bahwa sudah setahun lebih bantuan tidak sampai pada tujuan. Ketika perempuan itu pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman, saya ingin sekali Pak Aloy mengakui kebohongan-kebohongan proyek. Namun rupanya roh kudus masih jauh di luar hati Pak Aloy. "Gimana nih Pak Aloy, kita mau cari Matius dan Magda ke mana lagi ?" tanya saya agak mendesak. Dengan muka pucat Pak Aloy berusaha meyakinkan saya bahwa data yang tertulis di kartu yang dibuat oleh proyek itu benar. "Bu, anak-anaknya sedang pergi ke ladang ya ?" tanya Pak Aloy yang tidak tahu kalau saya telah mendapat informasi tentang anak-anak dalam keluarga tersebut. "Sedang tidur Pak. Kedua-duanya kebetulan sedang sakit" jawab perempuan itu. "Coba Bu, tolong bangunkan anak Ibu" Pak Aloy memerintah perempuan itu. "Eh, nggak usah !" cegah saya "Biarpun kita bisa memaksa orang sakit untuk bangun, kita tidak mungkin bisa mengubah anak-anak perempuan yang bernama Suwarni dan Sumini menjadi laki-laki yang bernama Matius" saya mulai sewot. Pak Aloy hanya terdiam. Setelah kami berpamitan, saya masih sempat menggoda Pak Aloy "Yuk, kita bersepeda lagi ! Enak dech bersepeda keliling kampung. Kayaknya lebih asyik lagi kalau rumah Matius ada di ujung utara desa dan rumah Magda di ujung selatan sana. Apa lagi kalau pakai acara kesasar seperti ini, makin asyik lagi. Apa perlu saya minta perpanjangan waktu tugas di sini ? Jarang lho, saya punya kesempatan bersepeda santai seperti ini, apalagi kalau tinggal membonceng saja !" Pak Aloy hanya tersenyum malu. Tidak ada pilihan lain, Pak Aloy harus menggenjot kembali sepedanya dan saya tinggal menikmati hasilnya. Ketika kami melewati rumah keluarga Anton untuk yang kedua kalinya, saya menawarkan kepada Pak Aloy untuk beristirahat. Maksud saya supaya di rumah itu Pak Aloy sadar bahwa sebenarnya saya sudah tahu bahwa kartu yang bertuliskan nama Matius dan Magda adalah ID card dan kartu pelayanan untuk kedua anak keluarga Anton. Tetapi karena Pak Aloy menolak untuk mampir ke rumah keluarga Anton, saya tetap membiarkan Pak Aloy menggenjot sepeda untuk membawa saya kemanapun ia suka. Setelah kepayahan menggenjot sepeda bolak-balik sejauh 15 km, Pak Aloy mengajak Pak Edy yang dipercaya sebagai Pimpro itu berbicara di belakang saya. Beberapa saat kemudian Pimpro itupun mencoba merayu saya "Bu, apakah kedua anak ini harus tetap Ibu kunjungi ?" tanya Pak Edy dengan sorot mata cemas. "Ya" jawab saya tegas tapi tetap lembut "Tapi kalau sekiranya anak-anak itu sudah tidak ada lagi di desa ini, ya tidak usah dipaksakan. Gampang saja tho, tinggal coret saja namanya dan saya akan meminta ke kantor pusat di Jakarta untuk menonaktifkan nomor tersebut. Nggak susah kok !" jawab saya pelan. "Masalahnya ini sulit Bu !" kata Pak Edy itu terbata-bata. "Apanya yang sulit ? Saya masih sanggup kok beberapa hari bersepeda sama Pak Aloy. Ya, khan Pak Aloy ?" kata saya berusaha melibatkan perasaan Pak Aloy. Pak Aloy hanya tersenyum malu-malu. "Sudahlah, santai saja ! Besok pagi saja kita lanjutkan acara bersepeda kita ! Kalau kaki Pak Aloy sudah pegal-pegal, khan masih ada Pak Edy ! Bagimana, setuju ?" kata saya berusaha mengajak para pelaksana proyek untuk rileks supaya bisa berpikir jernih dan mau menggunakan nuraninya. Malam harinya, setelah selesai makan malam Pak Anton dan istrinya mengajak saya untuk menghadiri family altar yang diadakan oleh sekelompok jemaat GKTI. Walaupun doa dan pujian dilakukan secara kharismatik dan tidak sesuai dengan adat istiadat gereja saya, saya merasa tidak ada masalah untuk bersekutu dan memuji Allah bersama dengan jemaat itu. Dalam acara tersebut saya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Pak Aloy. Entah kenapa selama acara berlangsung, saya selalu ingin melihat wajah Pak Aloy. Saya terus menatap mata Pak Aloy dalam-dalam, layaknya seorang gadis yang sedang mencari-cari kejujuran dan ketulusan cinta di mata kekasihnya. Beberapa kali Pak Aloy menghindarkan pandangan supaya mata kami tidak saling bertatapan. Namun setiap kali tatapan mata kami saling beradu, Pak Aloy tak ubahnya seperti cacing kepanasan. Lama kelamaan Pak Aloy tidak tahan juga. Pada saat yang tepat, Pak Aloy maju ke depan membawa beban yang menghimpitnya. Ia berlutut, menangis dan mengakui dosanya karena hari itu ia telah membohongi seseorang. Iapun minta dukungan doa dari jemaat supaya dosanya diampuni. --bersambung- [Non-text portions of this message have been removed] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM - Daftar : [EMAIL PROTECTED] Keluar : [EMAIL PROTECTED] Posting: jesus-net@yahoogroups.com Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED] -=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/