From: Mundhi Sabda Lesminingtyas 

Hadiah Terindah Buat Si Miskin
(Oleh : Lesminingtyas)

Menjelang Natal 2004 yang lalu, saya membaca undangan terbuka bagi yang 
terbeban menjadi pendamping Natal Bersama Yayasan KDM (Kampus Diakonia Modern). 
Saat membacanya saya langsung tertarik, karena saya mengasosiakan KDM dengan 
Pdt. Lummy (Alm). Saya diam sejenak mengenang kembali pertemanan saya dengan 
Pdt Lummy dalam pelayanan sosial tahun 1991-1993 yang lalu. Saya pikir, paling 
tidak dalam Natal Bersama KDM kali ini saya akan bertemu dengan penerus Pdt 
Lummy, yang selevel dengan beliau. Itulah sebabnya tanpa pikir panjang lagi, 
saya langsung mendaftar sebagai calon pendamping bagi para gelandangan dan 
pengemis dalam acara Natal tersebut.

Seminggu sebelum pelaksanaan, panitia mengundang kami untuk briefing.
Rencana semula, saya akan mengikuti briefing pada hari Sabtu/9 Januari 2005.
Namun beberapa jam sebelum berangkat, seorang teman menelpon karena betul-betul 
membutuhkan kehadiran saya untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Walaupun teman saya seorang muslim, tapi saya pikir ia betul-betul membutuhkan 
kasih Kristus melalui saya.
Karena saya tidak punya kemampuan untuk menguji apakah benar Tuhan memanggil 
saya untuk pelayanan itu, sayapun lebih aman untuk berprinsip selalu siap sedia 
menerima "interupsi" selama hal itu dapat memuliakan Tuhan. Walaupun saya sudah 
menyusun rencana yang rapi untuk melayani Tuhan, tetapi saya selalu yakin bahwa 
Tuhan jugalah yang mengijinkan saya diinterupsi. Walaupun sudah lama saya 
merencakanan untuk ikut briefing di GKI Wahid Hasyim, namun saya tidak berani 
menolak "interupsi" dari orang-orang yang membutuhkan bantuan saya. Saat itu 
juga saya hanya bisa berdoa "Tuhan, kalau memang
Engkau tidak memanggil saya menjadi pendamping Natal KDM, terserahlah kemana 
Engkau ingin menugaskan!"

Waktu itu saya menduga-duga bahwa Tuhan memang tidak memanggil saya untuk 
melayani para gelandangan dan pengemis. Tapi hati kecil saya berbisik "Bukankah 
kamu masih punya kesempatan untuk mengikuti briefing pada hari Minggunya?". 
Seketika itu juga saya kembali menyusun rencana untuk mengikuti briefing 
kelompok ke 2. Tidak mudah memang, karena saya harus bernegosiasi cukup lama 
dengan anak saya. Anak saya memprotes saya yang menggunakan hari Sabtu dan 
Minggu tidak bersamanya. Untuk mendapatkan persetujuan dari anak saya, sayapun 
memutuskan untuk mengajaknya ikut serta ke GKI Wahid Hasyim.
Perjalanan ke GKI Wahid Hasyim bukanlah perjalanan yang mudah. Sopir taxi yang 
kami tumpangi kesulitan mendapatkan lokasi tersebut. Sambil menengok kanan 
kiri, taxi melaju dari arah Sariah hingga ke Pasar Boplo. Karena kami tak 
menemukannya, taxi yang kami tumpangi berbalik arah lagi. Setelah hampir sampai 
di Tanah Abang, kami baru menemukan lokasi gereja tersebut. Saya hanya 
geleng-geleng seraya bertanya "Tuhan, inikah tanda-tanda dariMu bahwa 
seharusnya saya tidak kemari?". Namun hati kecil saya justru menantang saya
"Kau sering bilang 'always GKI', sekarang mana buktinya? Baru kesulitan mencari 
lokasi gereja saja sudah menyerah, bagaimana mau mencari jiwa-jiwa hilang dan 
sesat?"

Saat calon pendamping yang lain belum masuk ke aula, saya berharap hari itu 
saya akan bertemu dari komisi pemuda yang sehebat dan setangguh teman-teman 
dari Komisi Pemuda GKI Kwitang. Pengalaman saya bekerja sama dengan teman-teman 
pemuda GKI Kwitang, mengukuhkan keyakinan bahwa saya adalah parter yang selevel 
dengan mereka yang bergelar Dr, Engineer, dr dan yang sederajad. Apalagi karena 
seringnya menjadi pembicara atau moderator dalam sebuah seminar atau talk show, 
menambah keyakinan saya bahwa Tuhan menempatkan saya pada posisi sentral dalam 
pelayanan.
Ketika puluhan calon pendamping memasuki aula, saya hanya tersenyum masam
"Ala mak, junior sekaleee!" kata saya dalam hati. Suasana hati saya sungguh 
berbeda dengan suasana saat copy darat member milis Doa Satu Menit. Waktu itu 
saya sungguh merasa terhormat bisa bertemu dan belajar dengan Mang Ucup, Pak 
Andre Matondang dan yang selevelnya. Tetapi saya benar-benar tidak siap untuk 
bertemu dan belajar bersama para junior yang mungkin  berumur 10-15 tahun lebih 
muda dari saya.

Satu hal lagi yang sungguh menyulitkan saya untuk menyakini dan menerima bahwa 
pelayanan tersebut  adalah panggilan Tuhan, adalah ketidaksiapan panitia 
menerima pendamping yang sudah "emak-emak" seperti saya. Saya sungguh kaget 
ketika hendak masuk dalam diskusi kelompok, salah seorang panitia berkata 
kepada saya "Ayo cari kelompoknya! Kalian berempat akan dibimbing oleh satu 
kakak dari panitia".
Belum juga habis perasaan direndahkan, saya kembali menerima "shock therapy" 
dari seorang pantia yang memberikan pembekalan. Tanpa menanyakan latar belakang 
atau pengalaman dari masing-masing calon pendamping, panitia itu langsung 
menghantam dengan "kuliah" bagaimana kami harus berbicara dan mendampingi orang 
miskin. Pengalaman selama 19 tahun malang melintang bersama kaum marginal, 
membuat saya sangat risih harus dikuliahi dengan anak yang baru kemarin sore 
terlibat dalam pelayanan diakonia.

Saya berusaha diam menunduk ketika pembimbing itu menyampaikan "kuliahnya".
Namun ketika ia berpesan kepada calon pendamping untuk aktif berbicara 
(dominan) dan harus banyak memberikan petunjuk kepada para pengemis dan 
gelandangan yang akan didampinginya, naluri "empowering"saya membuat saya tidak 
bisa diam.
"Lho, bukankah untuk mendampingi orang yang menderita, kita harus lebih 
mengaktifkan telinga kita untuk mendengar dan menggunakan hati untuk menerima 
dan mengasihi mereka?" tanya saya yang hanya ingin menunjukkan bahwa tidak 
seharusnya pendamping mendominasi pembicaraan.
"Tapi yang kita dampingi ini orang miskin dan tidak berpendidikan, jadi perlu 
banyak diberi petunjuk" kata panitia itu merasa lebih benar.
Saya hanya bisa tersenyum serasa berkata "Lho, memangnya kita lebih pintar dari 
orang miskin? Dalam hal apa dulu? Kalau soal ketahanan menghadapi penderitaan 
dan kesulitan hidup, justru orang miskinlah mentornya!"

Ketika hendak pulang, panitia itu bertanya "Apakah kalian siap menjadi 
pendamping?"
Walaupun dalam hati saya berkata "Sorry ya, pelayanan kayak gini nggak level 
dech buat saya!", namun saya masih berusaha untuk bergaya sok rohani dan 
berkata  "Saya akan terus gumulkan!"
"Tuhan, pelayanan ini buat saya tidak ada manfaatnya sama sekali! Ijinkan saya 
undur diri dan jangan panggil saya untuk bersama-sama mereka lagi!" kata saya 
dalam hati. Rasa kesal dan kecewa benar-benar memenuhi hati saya.
Satu-satunya yang ada di pikiran saya saat itu adalah pulang secepatnya.

Dalam perjalanan pulang, saya bener-bener bete! Suasana hati yang jauh dari 
suka cita membuat saya tidak tenang. Ketika saya melihat bis "Metro Mini" dari 
Pasar Senen, saya langsung yakin bahwa itulah bis yang bisa membawa kami segera 
sampai di rumah. Saya pun meminta kepada sopir taxi untuk mengejar bis 
tersebut. Begitu taxi berhasil mengejar bi situ, dengan gaya sok yakin, saya 
langsung masuk, duduk di dalam bis dan tidur. Betapa
kagetnya saya, ketika bis itu tidak sampai Cibinong walaupun sudah hampir satu 
jam perjalanan. Ketika saya menengok ke luar jendela, saya baru sadar bahwa 
kami telah salah nak bis ke jurusan Cileungsi. Saya hanya bisa menghela nafas 
panjang untuk mengurangi kekesalan.
Kami pun segera turun untuk mencari angkot jurusan Cibinong. Dua jam waktu yang 
kami butuhkan untuk mencapai Cibinong. Kalau dihitung-hitung, saya telah 
kehilangan waktu hampir tiga jam dari perjalanan yang seharusnya.
Dengan kejadian ini, saya berkeyakinan bahwa menjadi pendamping bukaanlah 
panggilan yang Tuhan kehendaki untuk saya.

Satu minggu saya terus bergumul. Saya masih terus menguji, apakah menjadi 
pendamping benar-benar panggilan Tuhan ataukah keinginan iseng saya untuk 
melayani? Saya mulai bermain-main dengan Tuhan. "Tuhan, kirimkan orang untuk 
menginterupsi dan meminta pelayanan saya di hari Minggu, supaya saya yakin 
bahwa tidak menjadi pendamping bukan karena saya menolak panggilanMu"
Semula saya sudah GR (gede rasa), karena tanggal 13 Januari 2005 adik angkat 
sekaligus kawan rohani saya yang ada di Pontianak meminta bantuan saya untuk 
mengedit tulisannya. Begitu mengirim tulisan via email, adik angkat saya 
langsung pergi ke Sanggau. Ketika saya mengirim SMS untuk menanyakan apakah 
editing tersebut  bisa saya lakukan di hari Minggu, adik saya tidak membalasnya 
karena di Sanggau tidak ada signal. Karena saya kuatir kalau tulisan itu akan 
segera dipakai untuk melengkapi persyaratan study lanjutnya ke sekolah teologi 
di Singapura, malam itu juga saya paksakan untuk mengeditnya hingga selesai 
tengah malam.

Saya kembali geleng-geleng kepala, berharap-harap cemas mendapatkan diinterupsi 
untuk melayani di hari Minggu. Namun sampai Sabtu malam, tidak ada SMS ataupun 
telepon yang membuat saya punya alasan untuk tidak datang ke acara natal KDM. 
Satu-satunya SMS adalah dari adik rohani saya dari GKI yang meminta saya untuk 
menemaninya "ngedate" sama teman barunya. Saya pikir ini bukan interupsi dari 
Tuhan, sehingga saya tak berani meninggalkan rencana pelayanan hanya untuk 
makan-makan.
Sebelum saya tidur, saya masih terus bergumul. Saya berdoa "Tuhan, kalau memang 
Engkau memanggilku untuk menjadi pendamping, bangunkan saya dengan kesegaran 
pada esok pagi jam 03.30 untuk persiapan"

Ketika alarm HP saya berbunyi tepat jam 03.30, Tuhan membangunkan saya dalam 
keadaan  segar. Tapi dasar manusia, saya pun masih menawar. "Tuhan, biarkan 
saya tiduran 30 menit lagi, sambil mempertimbangkan keputusan untuk pergi atau 
tidak". Walaupun saya berusaha memejamkan mata lagi, tapi saya tidak bisa tidur 
"Tuhan, saya ingin melayaniMu, tapi jangan sekarang!" kata saya dalam hati.
Suara hati saya bertanya "Kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?"
Sayapun masih menawar "Tahun depan toh masih ada acara Natal juga!"
Sejenak kemudian hati saya tidak tenang, seraya mempertanyakan "Dari mana kau 
yakin, kalau tahun depan kau masih ada? Pergilah sekarang juga untuk Tuhanmu! 
Hari ini Tuhan ada di antara pengemis, gelandangan dan orang-orang yang 
menderita. Tuhan Yesus menunggu pelayananmu!"
Saya masih saja ingin mengeraskan hati seraya berkata "Tuhan, utuslah saya tapi 
jangan Kau tempatkan saya di bawah supervisi orang-orang yang lebih junior!"
"Kalau tidak di sana, kamu mau diutus ke mana?" suara hati saya kembali 
bertanya.
"Ke Aceh khan lebih keren, Tuhan! Di sana saya bisa berbuat lebih banyak dari 
sekedar pesta Natal!" jawab saya dalam hati.
"Semua orang pergi ke Aceh! Semua bantuan difokuskan ke Aceh! Lalu siapa yang 
memperhatikan pengemis dan gelandangan di ibu kota ini?"
"Tapi saya nggak nyaman diperlakukan layaknya junior Tuhan!" keluh saya.
Suara hati saya kembali mendorong saya  "Soal panitia yang menempatkan kamu 
sejajar dengan para junior, bukan urusanmu. Urusanmu sekarang adalah menjadikan 
nama Tuhan dipermuliakan, dan bukan untuk meninggikan namamu!"

Keakuan saya pun masih saja menawar "Tapi bolehkan, saya nebeng dikit untuk
mendapatkan nama supaya lebih popular ketika melayaniMu? Apakah salah, kalau
pelayanan saya menjadikan nama Tuhan ditinggikan dan nama saya pun terangkat?"
Suara hati saya kembali berkata "Terserah kamu! Tapi kalau kamu sudah mendapat 
imbalan di dunia, kamu jangan berharap lagi mendapatkan tempat yang tinggi di 
hari kekekalan nanti!"

Sayapun segera membulatkan tekad "OK, Tuhan! Saya akan datang melayaniMu di
antara pengemis dan gelandangan itu! Tapi tolong mampukan saya untuk 
menghilangkan kesombongan! Bungkuslah diri saya dengan kebersajaan. Mampukan 
saya untuk selalu rendah hati. Siapkan telinga saya untuk mendengar.
Mampukan saya untuk menerima dan mengasihi mereka dengan hati yang tulus!"

Pagi itu secepat kilat saya mempersiapkan diri. Jam 04.30 saya keluar rumah.
Kabut yang masih pekat dan dinginnya udara Bogor hampir saja menggoyahkan tekad 
saya. Terlebih lagi, sepagi itu di kompleks saya belum ada angkot ataupun ojek 
yang beroperasi. Tidak ada pilihan lain, saya harus berjalan kira-kira 200 
meter melewati jembatan dan tanjakan yang kemiringannya lebih dari 35 derajat, 
yang oleh penduduk dianggap angker. Sejujurnya kaki saya berat sekali untuk 
melangkah. Tapi untuk mengejar waktu, saya paksa kaki saya untuk agak berlari 
sambil berdoa "Tuhan, kalau memang Engkau memanggilku untuk menjadi pendamping, 
jangan biarkan saya berjalan sendiri dalam kegelapan pagi ini!"
Saya terus berdoa sambil ngos-ngosan. Ketika hampir sampai di jembatan yang 
angker itu, tiba-tiba terdengar suara keras seperti seng bergesek dengan aspal. 
Jantung saya hampir copot! Tanpa sadar saya berteriak "Tuhan Yesus, kenapa Kau 
biarkan saya sendiri!"
Sayapun mendengar jawaban "Aya naon neng?!"
Ya, ampun! Ternyata di belakang saya berjalan seorang pemulung yang menarik 
gerobaknya. Sayapun hanya tersenyum malu. Kalau saja orang itu pendeta saya, 
pasti dia akan bilang "Di manakah imanmu, hai orang yang tidak percaya!"

Saya berusaha berjalan cepat mengikuti langkah si pemulung supaya saat di 
tanjakan yang terkenal angker itu saya tidak sendirian. Walaupun saya bersama 
pemulung itu, rasa takut saya tetap tidak berkurang, tetapi justru semakin 
bertambah. Jantung saya berdetak sangat cepat, ketika saya menemukan ingatan 
saya. Seingat saya, selama 4 tahun tinggal di kompleks itu, saya belum pernah 
bertemu dengan pemulung yang beroperasi di pagi yang buta. Begitu sampai di 
jalan yang datar, saya berusaha agak berlari sampai akhirnya saya bertemu 
dengan tukang ojek.
Pagi itu saya sangat buru-buru. Panitia yang menjadwalkan untuk briefing jam 
05.30 di UGD-RSUKI benar-benar sangat menyulitkan saya. Sebenarnya taxi adalah 
satu-satunya pilihan untuk mencapai lokasi tepat waktu. Namun saya tidak merasa 
aman jika harus pergi sendiri dan tertidur di dalam taxi. Untuk memburu waktu, 
sayapun naik bis seadanya ke UKI. Pagi itu sungguh-sungguh berbeda. Saya yang 
biasanyaa naik bis AC dengan tempat duduk yang empuk, pagi itu hanya bisa 
menumpang bis jurusan Bogor-Karawang yang "tidak bermerek"
 (sudah tidak ber AC, kotor dan tidak kebagian tempat duduk, pula!). Tapi saya 
bersyukur karena dengan tidak mendapat tempat duduk, saya tidak akan ketiduran 
dan kebablasan sampai Karawang.

Ketika sampai di UGD-RSUKI sayapun langsung melakukan daftar ulang dan menerima 
snack. Belum sempat menikmati snack, saya dan teman-teman pendamping langsung 
diantar ke Cibubur. Saya bersyukur karena beberapa pemuda dari Gereja Kristus 
Ketapang  dan Gereja Kristus Yesus - Delima bisa menjadi kawan yang akrab. 
Karena kami mengisi waktu dengan bercanda, saya seolah mendapatkan jembatan 
yang menghubungkan saya yang sudah berumur dengan para pendamping yang masih 
sangat belia.
Ketika acara hampir dimulai, kami kembali menerima arahan dari panitia.
Semula saya sudah menyiapkan diri menjadi sejajar dengan para junior. Tapi 
ketika panitia yang berumur kira-kira 15 tahun lebih muda, memanggil saya 
"Ning" saya kembali kaget. Saya yang dibesarkan dalam budaya Jawa yang feodal, 
kadang-kadang saya tidak siap untuk masuk dalam kelompok yang menurut saya 
"Amrik sekali". Saya memang tidak terbiasa memanggil nama orang yang lebih tua, 
dituakan atau dihormati hanya dengan nama saja. Bahkan di kantor pun, Big Boss 
saya yang sudah berambut putih dan menyandang gelar
sepanjang kereta api, selalu memanggil saya "Mbak Ning". Tapi saya pun 
cepat-cepat menenangkan hati saya sendiri "Inilah yang harus kamu korbankan! 
Kamu harus rendah hati secara total!"

Tugas pertama yang harus kami lakukan sebagai pendamping adalah mengalungkan 
bunga kepada para pengemis dan gelandangan, serta membagi balon kepada 
anak-anak yang masih sangat kecil. Saya kembali bertanya kepada Tuhan "Tuhan, 
Engaku memberi saya talenta yang luar biasa. Tapi mengapa saya hanya 
mengerjakan tugas yang sangat sepele seperti ini?"
Suara hati sayapun menjawab "Kalau bukan kamu, mau siapa lagi?"
Sayapun masih berusaha memberontak "Masih banyak anak-anakMu yang bisa Kau 
pakai untuk mengalungkan bunga dan membagi balon. Biarkan saya mengerjakan 
tugas yang lebih penting dan mulia, Tuhan!"
Kembali suara hati saya berkata "Kalau semua anak-anakKu bersikap seperti kamu, 
siapa yang akan menyambut orang-orang miskin itu? Kalau kalian semua tidak mau 
melayaniKu dalam hal-hal yang sepele, apakah aku harus memanggil orang-orang 
yang bukan pilihanKu untuk melayaniKu?"
"Tapi, berikan saya tugas yang tidak sesederhana itu Tuhan!" saya masih menawar
Suara hati saya pun kembali menakhlukkan ke-aku-an saya  "Rendahkan dirimu di 
hadapanKu! Lakukan apa saja dengan penuh kasih, untuk Aku! Jangan pikirkan 
dirimu lagi, tapi sambutlah para pengemis dan gelandangan itu supaya mereka 
merasakan damai Natal, karena sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan 
untuk salah seorang dari saudara-KU yang paling hina ini, kamu telah 
melakukannya untuk AKU." Pagi itu saya diingatkan oleh perkataan Tuhan Yesus 
seperti yang tertulis dalam Matius 25:40.

Begitu para pengemis dan gelandangan itu datang, kami harus berbaur dengan 
mereka. Kami berusaha untuk dekat dan menyambut mereka dengan hangat.
Anak-anak balita dalam gendongan ibunya memandang saya seolah ingin disambut 
juga. Saya bisa memastikan, saat itu tidak ada tindakan yang lebih tepat selain 
menggendongnya. Melihat anak orang lain digendong, beberapa pengemis meminta 
saya untuk menggendong anaknya juga.
Lima menit pertama  tidak masalah. Tapi menit-menit berikutnya, perut saya mual 
sekali. Anak-anak yang tergolong malnourished dan bau tak sedap dari ompol yang 
bercampur dengan keringat dan bau "matahari", sangat jauh berbeda dengan anak 
saya sendiri yang berkulit licin dan wangi. Tiba-tiba saja produksi air liur 
saya langsung meningkat. Dan anehnya, dalam situasi seperti itu saya jijik 
sekali untuk menelan ludah sendiri. Rasa ingin muntah sudah tidak tertahan 
lagi. Untung saja seorang pemuda memberi saya permen
rasa mint, sehingga saya tak jijik lagi menelan ludah sendiri. Walaupun perut 
saya masih agak mual, saya tetap berusaha tersenyum dan mengajak mereka 
terlibat dalam obrolan yang hangat dan penuh kasih. Saya kembali berbicara 
kepada Tuhan "Tuhan inilah hadiah yang terindah dari saya untuk kaum papa! 
Tidak ada yang lebih indah yang bisa saya berikan kepada mereka, kecuali 
pengorbanan diri dan kerendahan hati"

Inilah perubahan besar dalam diri saya, yang rela diperlakukan layaknya junior 
yang seolah tidak tahu sedikitpun tentang kemiskinan. Ini semua saya lakukan 
untuk saudara-saudara kita yang paling hina, karena itulah yang Tuhan kehendaki 
dari saya. Saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk merendahkan diri, 
menyambut dan melayani Tuhan.

[Non-text portions of this message have been removed]



-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke