From: Mundhi Sabda Lesminingtyas 

Kegelisahan Hati
(Oleh Lesminingtyas)

Hari pertama dan kedua mengikuti SPIK (Seminar Pembinaan Iman Kristen), saya
mendapat semangat baru untuk terus kembali kepada kebenaran Firman Tuhan.
Saya diingatkan untuk mencintai Tuhan melebihi apapun. Dari atas mimbar, 
berkali-kali Pdt. Stephen Tong mengingatkan bahwa Injil tidak cukup hanya kita 
terima dan percayai, tetapi juga harus dikabarkan.

Hari ketiga, sebelum berangkat ke tempat penyelenggaraan SPIK saya dan teman 
saya; Anton terlebih dulu makan malam di Plaza Gajah Mada, sambil menunggu 
teman-teman lain untuk berangkat bersama. Di sela-sela makan, Anton 
menceritakan keluarganya yang belum seluruhnya menerima Tuhan Yesus.
Walaupun papanya masih setia dengan budaya leluhur serta rajin sembahyang kubur 
dan kokonya masih atheis, tetapi saya melihat tangan Tuhan telah bekerja dalam 
keluarga Anton. Dari keluarga non Kristen itu setidaknya telah membuahkan 2 
anak Tuhan, yaitu Anton dan adiknya. Bahkan saya lihat Anton giat sekali 
belajar teologi Reformed Injili.
Ada sedikit kegelisahan di hati ketika saya membandingkan keluarga saya dengan 
keluarga Anton. Ayah saya memang dulu seorang islam muhammadiyah, sedangkan ibu 
islam kejawen. Karena kasih Tuhan melalui guru di sekolahnya, ayah dan ibu 
memutuskan untuk mengikut Kristus dan menikah secara Kristen. Singkat cerita, 
ayah menjadi seorang Kristen yang fundamentalis dan aktif dalam penginjilan.

Sebagai orang tua, ayah mengharapkan anak-anaknya mempercayai dan melakukan apa 
yang tertulis di dalam Alkitab, tidak lebih dan tidak kurang. Namun dari 6 
anaknya, sekarang ini tinggal saya dan satu kakak saya yang sepaham dengan 
ayah. Walaupun dua  kakak saya tetap beragama Kristen,  tetapi ayah saya sering 
kali sedih melihat mereka karena tidak setia pada Injil. Kedua kakak saya lebih 
mengutamakan ajaran gereja dari pada kebenaran Firman Tuhan. Mereka juga lebih 
mendengarkan perkataan pemimpin gereja dari pada perkataan Tuhan.
Perjalanan iman keluarga Anton memang hampir bertolak belakang dengan keluarga 
saya. Keluarga Anton yang dulu tidak mengenal Kristus, telah membuahkan seorang 
Anton yang memiliki spirit untuk back to Bible. Diibaratkan pohon, orang tua 
saya telah menghasilkan 6 ranting yang dibesarkan dalam Pokok Yang  Benar, 
yaitu Kristus. Namun sayang, kini
tinggal 2 ranting yang tetap menggantungkan diri pada Pokok dan rindu untuk 
berbuah. Saya sangat gelisah mengingat 2 ranting dalam keluarga kami yang tidak 
berbuah dan 2 ranting lainnya yang mati dan lepas dari Pokok.

Selama SPIK hari ketiga berlangsung, hati kecil saya berkata "Walaupun saya 
hanya bagian kecil dalam keluarga, tetapi saya akan mengajak kakak untuk 
mengobarkan semangat Reformed Injili di dalam keluarga". Saya yakin hal itu 
akan menyenangkan hati Tuhan sekaligus membahagiakan kedua orang tua saya.
Menjelang akhir acara, Pdt. Stephen Tong memanggil peserta yang terbeban untuk 
mengabarkan Injil. Nurani saya sebenarnya mendesak saya untuk maju ke depan, 
namun  banyak pertimbangan logis yang menahan kedua kaki saya untuk tidak 
menerima panggilan itu. Kata hati saya mulai bertentangan dengan pikiran logis 
saya. Saya benar-benar tidak damai. Saya hanya diam dan menundukkan kepala 
untuk  menyembunyikan kegundahan hati. Ketika Pdt. Stephen Tong bertanya 
setengah menantang "Ayo, siapa lagi, siapa lagi?",
saya pun semakin menunduk dan menunduk. Tak lama kemudian Pdt. Stephen Tong
kembali bertanya "Adakah saudara-saudara yang masih duduk namun hatinya tidak 
damai sejahtera? Mungkin bisa angkat tangan!".
Sebenarnya saya adalah salah satu yang sedang mengalami perang batin, antara 
menerima dan menolak panggilan, namun  saya tidak berani melakukan sesuatu, 
kecuali menangis.

Ketika makin banyak anak-anak Tuhan yang berdiri di depan dan menyatakan 
komitmennya untuk melayani Tuhan, saya masih terus menangis seraya berkata 
"Tuhan, ampuni saya! Bukan saya tidak mau mengabarkan InjilMu, tetapi saya 
tidak mau maruk mengambil semua pelayanan, kalau toh nanti hanya asal-asalan. 
Pakailah anak-anakMu di ruangan ini untuk mengijili orang yang belum mengenalMu 
dan ijinkan saya melayani anak-anakMu yang membutuhkan telinga dan hati saya 
untuk menumpahkan pergumulan pribadinya".
Walaupun saya sudah menghibur diri bahwa apa yang saya lakukan selama ini juga 
melayani Tuhan, tetapi hati kecil saya masih terus mempertanyakan kesungguhan 
saya "Seberapa rela kamu melayani Tuhan? Apakah kamu hanya mau melayani Tuhan 
di tempat-tempat yang mudah dan cukup fasilitas? Kalau Marhtin Luther rela mati 
untuk Tuhan, apa yang kau rela korbankan untuk Tuhan?"

Pertanyaan-pertanyaan itu terus membuat saya gundah. Hati saya semakin gundah 
ketika mengingat perjuangan ayah yang begitu terobsesi dengan Amanat Agung 
dalam Mat 28 : 19-20 : "Karena itulah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan 
baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka 
melakukan segala sesuatu  yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, 
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman".
Waktu kecil dulu, kami memang hidup dalam kekurangan. Ayah dan ibu hanyalah 
guru sekolah negeri dengan gaji yang tak cukup untuk hidup sebulan. Untuk 
menyambung hidup, kami menggarap kebun di sekeliling rumah kami. Karena tidak 
punya cukup uang untuk mengupah buruh, ayah memutuskan untuk mencangkul sendiri 
kebun kami, sepulang mengajar. Menjelang magrib ayah biasanya menuruni bukit  
menuju kampung-kampung lain untuk mengabarkan Injil. Kebetulan rumah kami 
berada di sebuah bukit yang sangat sepi. Memang sejak memutuskan untuk mengikut 
Tuhan Yesus, orang tua saya dikucilkan oleh
keluarga dan orang-orang kampung sehingga kami terpaksa membangun rumah di 
bukit yang cukup jauh dari perkampungan.
Untuk mengabarkan Injil, kadang-kadang ayah harus pulang tengah malam hanya 
dengan obor. Kalau kebetulan hujan turun, badan ayah basah kuyup karena jas 
hujan milik ayah satu-satunya sudah tidak utuh lagi. Untuk melindungi kepala, 
ayah sering menggunakan daun pisang atau daun talas sebagai payung. Karena 
keadaan kami yang serba susah, ayah hanya bermodal dengkul, naik turun bukit 
untuk menginjili orang-orang kampung. Dalam keadaan sesulit apapaun, ayah 
memang selalu berusaha untuk meninggikan nama Tuhan.

Di malam terakhir SPIK saya tak kuasa menahan tangis, karena saya tidak berani 
mengikuti jejak ayah. Saya yakin ayah saya sangat sedih, karena di masa tuanya 
tidak ada satupun anak yang melanjutkan perjuangannya. Hati saya kembali tidak 
damai ketika membandingkan keadaan saya sekarang dengan keadaan ayah jaman 
dulu. Kalau dulu ayah hanya bermodal sandal jepit, obor, jas hujan yang sobek 
di sana sini atau berpayung daun saja berani
mengabarkan Injil, kenapa saya yang mendapatkan banyak kemudahan  tidak berani 
melakukannya? Kalau ayah dulu sanggup memberitakan Kabar Baik sambil menahan 
haus dan lapar, kenapa saya yang selalu kenyang dan bahkan bisa makan di 
restoran, tidak sanggup menceritakan Tuhan Yesus kepada orang-orang yang tidak 
percaya? Kalau dulu ayah berani jalan kaki naik turun bukit untuk mengajak 
orang untuk mempercayai Tuhan Yesus, tetapi mengapa saya yang bisa naik taxi ke 
sana ke mari tidak berani mengikuti jejaknya?

Pergolakan batin terus berlanjut hingga saya meninggalkan tempat SPIK.
Selama perjalanan Jakarta-Bogor, saya terus bergumul sambil melihat kembali apa 
yang telah saya lakukan selama ini. Hati saya kembali bertanya menggelitik 
"Kalau usaha yang dilakukan ayah itu sebuah bisnis yang bersifat profit, apakah 
saya juga akan membiarkannya terbengkalai? Kalau saya bersedia mewarisi usaha 
duniawi, mengapa saya tidak sanggup mewarisi usaha yang sangat mulia untuk 
mewujudkan Amanat Agung dari Tuhan?".
Walaupun saya berkecimpung dalam pelayanan untuk masyarakat miskin dan kaum 
marginal seperti yang diamatkan dalam Matius 25 : 31-46, namun hati kecil saya 
kembali bertanya "Apakah pelayanan saya selama ini telah membuat banyak orang 
mendengar Kabar Baik? Apakah pelayanan saya telah membuat orang berlutut dan 
tunduk di hadapan Tuhan Yesus?"

Untuk sedikit menenangkan batin, saya mencoba menghibur diri dengan melihat 
kembali talenta yang Tuhan berikan dan pelayanan apa lagi yang bisa saya 
lakukan untuk mepersembahkan kembali apa yang telah Tuhan karuniakan kepada 
saya. Rasanya memang kurang bijak kalau saya "maruk", mengambil bagian dalam 
banyak pelayanan tetapi tidak optimal. Saya lalu teringat kata-kata Pdt. 
Julianto Simanjuntak yang menyemangati saya untuk terus menulis. "Membangun 
banyak orang dengan tulisan, sama mulianya membangun orang lewat kotbah" begitu 
kata Pdt. Julianto. "Yes! Saya akan melayani Tuhan lewat tulisan"
kata saya dalam hati.
Ketika membuka-buka reminder ponsel saya, saya kembali teringat dengan 
pelayanan bersama LK3. Saya pikir Tuhan telah memberi saya banyak pelajaran 
lewat berbagai penderitaan. Saya yakin penderitaan yang pernah saya alami bisa 
menjadi berkat untuk menguatkan anak-anak Tuhan dalam kelompok single 
parent/divorce/affair di LK3. Setelah saya merasa menemukan "tempat" yang tepat 
untuk mempesembahkan kembali talenta dan berkat yang Tuhan berikan, saya pun 
berdoa "Tuhan, ampuni saya karena tidak bisa melanjutkan jejak ayah untuk 
mengabarkan Injil ke pelosok-pelosok yang terabaikan gereja. Ijinkan saya 
melayaniMu melalui tulisan dan pelayanan lain di LK3". Selesai berdoa, saya 
segera membuat daftar kegiatan dan topik-topik tulisan. Saya berpikir, 
sampainya di rumah nanti, saya akan segera membuat jadwal pelayanan yang lebih 
rapi sehingga tidak tumpang tindih.

Sungguh tidak saya duga, ketika sampai di rumah kamar kerja saya berubah 
layaknya kapal pecah. Beberapa lembar kain tapis Lampung dan baju pesta saya 
berserakan di lantai. Beberapa kertas berisi dialog cerita Putri Salju 
tertempel di tembok dan pintu. Blush on, mascara, eye shadow dan beberapa 
batang lipstik saya berantakan di dekat meja komputer. Dari pembantu, saya 
mendapat informasi bahwa Dika telah mengajak beberapa temannya bermain di 
rumah. Setelah bosan membaca buku cerita, Dika mencoba membuat script dialog
dari cerita Putri Salju. Dika mengambil barang-barang yang biasa saya pakai 
saat pesta, sebagai "property" untuk "pementasan" Putri Salju.
Rasa lelah dan ngantuk hampir saja menyulut kemarahan saya. Tetapi nafsu saya 
segera  menyurut begitu sadar bahwa sudah tiga hari saya tidak punya waktu 
untuk ngobrol dengan Dika. Selama ikut SPIK, saya memang selalu pulang tengah 
malam, setelah anak-anak tertidur pulas. Biasanya Mika, anak saya yang paling 
kecil terbangun ketika saya memberinya susu. Kami biasanya ngobrol dan bercanda 
sampai kira-kira jam 01.30.
Karena terlalu lelah, saya bangun agak kesiangan sehingga harus buru-buru mandi 
dan bersiap ke kantor. Begitu terus selama tiga hari. Mungkin ini salah satu 
yang menyebabkan Dika kesepian dan bikin ulah.

Kemarahan saya benar-benar lenyap setelah saya melihat dengan teliti para 
pemeran pementasan yang "disutradari" Dika. Saya tidak bisa menahan tawa ketika 
tahu bahwa Dika hanya memilih peran sebagai kurcaci "Aduh nak, sudah banyak 
yang kamu korbankan, kok ya mau-maunya cuma jadi kurcaci" kata saya dalam hati 
sambil mengelus wajah Dika yang sudah 3 hari terlewatkan dari perhatian saya.
Saya merasa sangat bersalah dan saya berniat membayarnya dengan acara akhir 
pekan yang menyenangkan Dika. Namun saya kembali bergumul karena Sabtu malam 
undangan untuk on air di Radio Pelita Kasih. Saat menyiapkan sarapan pagi Dika, 
saya belum punya keberanian untuk minta ijin kepada Dika untuk pulang malam 
lagi. Saya pikir, mungkin setelah Dika pulang sekolah nanti adalah waktu yang 
tepat untuk berbicara panjang lebar sekedar meyakinkannya bahwa kepergian saya 
adalah untuk pelayanan.
Selama Dika berada di sekolah, saya menemani Mika bermain sambil terus mencari 
kata-kata yang tepat untuk memberi pengertian kepada Dika. Namun dari pagi 
hingga siang, saya tidak menemukan satu katapun. Semakin siang, keberanian saya 
semakin menyurut. Sampai akhirnya ketika Dika kembali dari sekolah, nyali saya 
benar-benar lenyap. Saya tidak bisa berpikir sama sekali, kecuali berbicara 
dalam hati "Tuhan, apa yang harus saya lakukan?
Kalau saya pergi berarti saya mengecewaan anak. Namun kalau saya tidak pergi, 
berarti saya mengecewakanMu".

Walaupun saya telah bedoa, hati saya masih saja gundah karena tidak ada satu 
pilihan yang menyenangkan keduanya; baik Tuhan maupun anak saya. Saya 
benar-benar gelisah ketika Dika menanyakan jam berapa kami akan pergi 
jalan-jalan ke toko buku dan makan di luar, seperti biasanya. Beberapa kali 
Dika mengulang pertanyaan yang sama, tapi hampir tidak mendengarnya karena 
pikiran saya sedang kacau dan gelisah.
"Ih.kumaha si emak, ditanya baik-baik malah bengong?!" kata Dika mengagetkan 
saya.
Karena terdesak, saya pun menjawab dengan spontan "Dika ikut ibu ke Jakarta 
karena malam nanti ibu ada pelayanan di radio!"
"Asyik, asyik!" teriak Dika kegirangan.

Karena Dika tidak sempat istirahat siang, selama di perjalanan Dika tertidur. 
Saat siaran dimulai, Dika sangat bersemangat dan kepingin ikut ngomong. Namun 
karena terlalu lelah, belum sempat ngomong Dika sudah tertidur di studio masih 
dengan headphone di kepalanya. Di sepanjang perjalanan kembali ke Bogor, 
lagi-lagi Dika tertidur pulas di jok taxi di samping saya. Melihat Dika 
tergolek tak berdaya, hati saya kembali gundah.
"Nak, kalau ibu sudah berusaha membesarkanmu dalam ajaran dan terang Kristus, 
apakah kamu kelak tega membiarkan dirimu menjadi ranting yang tidak berbuah?" 
tanya saya dalam hati.

Hati saya semakin gelisah ketika teringat ayah yang dulu sesekali mengajak saya 
dalam pelayanannya. Saya memperkirakan Dika pun punya perasaan dan pengalaman 
seperti yang saya rasakan waktu kecil dulu. Rasanya saya tak sanggup 
membayangkan, jika  semangat pelayanan Dika kelak semakin menyurut, seperti 
semangat saya yang tak sebesar semangat ayah saya. "Nak, kalau ibu tidak berani 
mengikuti langkah kakekmu dalam pekabaran Injil, apakah kelak kamu juga tidak 
berani mengikuti langkah ibu dalam pelayanan?" tanya saya gelisah. 
==============================================
From: Mundhi Sabda Lesminingtyas 

Kabar Pdt. Julianto di Nias


Selasa pagi Pak Julianto dan rombongan berangkat ke Sibolga, naik Panther milik 
YPFP. Sorenya sekitar pukul 3, mereka baru sampai Tarutung. Rupanya mobil 
sempat masuk bengkel sekitar 4 jam. Wah, nggak terkejar nih ke Nias malam ini. 
Saya juga nggak bisa membayangkan berapa lama perjalanan Tarutung-Sibolga. 
Kalau hari ini nggak bisa naik kapal, berarti besok malam baru berangkat ke 
Nias. Kabarnya feri ke Gunungasitoli hanya ada malam. Perlu waktu 10 jam sampai 
pelabuhan Gunungsitoli. Dukung dalam doa ya,
teman-teman.
  Beberapa hari lalu teman kami dari GKMI Anugerah yang sedang berada di Nias 
menelepon ke rumah. SOS, katanya. "Saya sudah dua hari menunggu didepan gudang 
Bupati Nias, mau minta sumbangan untuk orang-orang yang kelaparan di sekitar 
saya. Tapi DO (delivery order)-nya tidak kunjung ditandatangani."
  Bagaimana ini? Sumbangan menumpuk di kantor Bupati, tidak disalurkan kepada 
yang berhak!  Kami tidak tahu bagaimana menindaklanjuti permintaan ini. Jadi, 
kami menghubungi wartawan Suara Pembaruan, kalau-kalau bisa mengetuk hati 
Bupati kita.

Bagi Bapak/Ibu/Saudara yang terbeban untuk mendukung pelayanan LK3 
saudara-saudara kita di Nias, bisa menyalurkan bantuan dana ke rekening BCA - 
KCP Cempaka Putih Permai
No. rek. 5730158001 a.n MSH. Lesminingtyas.
Untuk memudahkan kami dalam pencatatan, setelah Bapak/Ibu/Sdr mentransfer dana, 
mohon memberi tahu  melalui SMS ke 08151661312  atau email : [EMAIL PROTECTED]  
dan [EMAIL PROTECTED] Bila  memungkinkan bukti transfer mohon di fax  ke LK3 : 
021-55650281
  Salam hangat,
  Roswitha 

[Non-text portions of this message have been removed]



-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: jesus-net@yahoogroups.com

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke