From: "Daniel Perdana" <[EMAIL PROTECTED]>

 Tentang Kekristenan (Surat Seorang Bapak Kepada Puterinya)
 Oleh: Mula Harahap
 
Boruku yang manis,
 
Tadi pagi--secara tak sengaja--saya menonton acara musik di sebuah stasiun televisi. 
Di panggung yang gemerlapan itu ada sebuah kelompok band,serombongan
 penyanyi latar dan seorang vokalis pria yang bernyanyi-berteriak-teriak seraya 
berjalan kesana-kemari.
 
Mula-mula saya menyangka pertunjukan musik itu adalah pertunjukan musik sebagaimana 
yang biasa kau tonton di MTV, dan yang selalu membuat kita
 bertengkar memperebutkan "remote control", karena saya lebih memilih untuk menonton 
filem tentang ular anakonda di Amerika Selatan atau "killer whale" di
 Laut Artik.
 
Tapi ketika saya sedikit lebih menyimak, maka saya mendengar kata-kata seperti, 
"Kaulah Yang Mahakuasa", 
"Kaulah Yang Mahakasih", 
"Kumenyembah Engkau" dan "Terpujilah Engkau". 
Ternyata yang mereka nyanyikan adalah "lagu-lagu rohani". (Sengaja lagu-lagu rohani 
saya beri tanda petik, karena kalau bukan dari ungkapan-ungkapan seperti tersebut di
 atas, maka sikap dan ekspresi para penyanyi itu tidak ada bedanya dengan yang 
lainnya, yang menyanyikan "I need your kiss", "Hug me, baby" atau "I want to sleep 
with you"). 

Dan saya lama tercenung, ketika pada akhir acara, dari telop di layar teve saya 
diberitahu bahwa yang baru saya tonton itu adalah mimbar agama Kristen!
 
Kemudian saya teringat akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika kau dan ibumu 
bertengkar mengenai persoalan lagu-lagu rohani. Kau protes, karena dalam sebuah acara 
persekutuan remaja yang kalian selenggarakan, ibumu hanya mengatupkan bibirnya dan 
tidak ikut melambai-lambaikan tangan sebagaimana semua yang hadir dalam persekutuan 
tersebut. 
("Mama ini malu-maluin saja," katamu memberondong ibumu. "Sorry, mama tidak mengerti 
lagu-lagu kalian," kata ibumu. "Ya, tapi mama 'kan bisa belajar," katamu lagi. "Akh, 
saya dibesarkan dalam tradisi lagu-lagu 'Dua Sahabat Lama', 'Mazmur & Nyanyian Rohani' 
dan 'Kidung Jemaat'," kata ibumu. "Syair dan melodi lagu-lagu kalian tak bisa meresap 
ke dalam hati mama.").
 
Boruku,
 
Pada dasarnya saya adalah seorang yang progresif dan liberal. Kau tentu menyadari hal 
itu. Dan sikap itu misalnya tercermin dari cara saya membiarkan kalian anak-anak 
memprotes kami orangtua. Dan sikap itu juga tercermin dari toleransi yang saya berikan 
kepada kalian untuk mengekspresikan diri.
 (Kadang-kadang, kalau ompung kalian--ibu saya--ada di rumah, saya jadi malu. Ia 
acapkali mengkritik saya. "Na beha do dibahen ho mangajari angka dakdanakmu?" 
katanya). Tapi dalam urusan lagu-lagu ibadah, maaf, kalau saya juga berada dalam 
barisan orang-orang "konservatif".
 
Sebulan yang lalu, dalam persidangan majelis jemaat di gereja, secara panjang-lebar 
kami juga membahas tentang tuntutan agar kebaktian--paling-tidak kebaktian orang-orang 
muda--diizinkan untuk memakai lagu-lagu rohani kontemporer yang diiringi oleh
 group band. Ada sinyalemen bahwa kebaktian-kebaktian kita yang "konvensional" itu, 
yang memakai "Kidung Jemaat" dan "NKB" serta yang diiringi oleh piano dan orgel itu, 
oleh orang-orang muda dirasakan kurang hangat dankurang menarik.
 
Sebagian kawan-kawan "sintua" berpendapat sebaiknya kita tidak terlalu kaku dan 
mengizinkan saja tuntutan orang-orang muda tersebut. "Yang mereka nyanyikan tokh 
sesuatu tentang Yesus...," kata sebagian kawan. "Daripada mereka 'lari' ke 
persekutuan lain, apa salahnya kita mengakomodasikan saja tuntutan tersebut," kata 
sebagian kawan lagi.
 
Boruku,
 
Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada dasarnya saya adalah orang yang progresif 
dan liberal. Kalau saja urusan lagu-lagu itu hanya sekedar urusan "kulit", "bungkus" 
atau "gaya"; dengan serta-merta saya akan termasuk dalam barisan orang yang setuju.
 (Sebagaimana saya setuju para wanita memakai celana panjang atau orang-orang muda 
memakai jeans ke gereja. Atau sebagaimana saya setuju "sintua"
 berambut gondrong seperti saya ini. Ha-ha-ha!).
 
Tapi--sayangnya--dalam urusan lagu-lagu ini saya melihat ada aspek "isi", "substansi", 
"pemahaman" atau "teologia". Ini bukan persoalan yang gampang
 untuk ditolerir.
 
Boruku,
 
Kau tentu masih ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika kau masih duduk di bangku 
sekolah dasar, kau pernah berkata kepada inangudamu--Tante Poppy,
 "Kalau Bapak sudah nyanyi lagu-lagu bahasa Batak seperti 'Sai Patogu Rohangki', 'Sai 
Tiop Ma Tanganku' atau 'Ise Do Ale-alenta'; itu tandanya Bapak lagi susah, lagi nggak 
punya uang atau lagi marah sama orang..."Kau benar!
 
Menurut pemahaman saya, hidup mengikut Yesus bukanlah hidup yang bebas dari kesakitan 
dan penderitaan dunia ini. Tapi dengan mengikut Yesus saya mendapat jaminan 
penghiburan dan kekuatan untuk menghadapi kesakitan dan penderitaan tersebut.
 Menurut pemahaman saya, jalan salib adalah jalan yang penuh kesukaran, tapi yang saya 
tahu pasti akan berujung pada kemenangan.
 
Bagi saya, kekristenan bukanlah "ecstasy" dan bukan pula "masochism". (Dan untuk 
memahami arti kedua kata itu, sebaiknya kau buka kamus Webster yang ada
 di lemari buku ibumu). Bagi saya kekristenan adalah suka-duka yang dirasakan dengan 
penuh kesadaran dalam perjuangan menuju ke kemenangan. (Iman, Kasih
 dan Pengharapan--begitulah bahasa "kerennya").
 
Lagu-lagu seperti "Sai Patogu Rohangki", "Tersembunyi Ujung Jalan" atau "Nun Di Bukit 
Yang Jauh" saya butuhkan untuk menghibur dan memberi saya kekuatan atas penderitaan 
hidup di dunia yang kadang-kadang tak bisa saya fahami ini. Seperti lagu
 mars pada tentara; begitulah fungsi lagu-lagu tersebut bagi saya. Ia membuat saya 
sadar dan kuat untuk masuk ke pertempuran. Ia tidak membuat saya "mabuk", "fly", "lupa 
diri" atau "syur". (Maaf, saya tidak bisa membedakan, apakah kawanmu yang memegang 
melodi itu, yang meneriakkan "Terpujilah Engkau" berulang-ulang, seraya kepalanya 
naik-turun  seperti ayam yang sedang minum itu, sedang bernyanyi,berzikir atau membaca 
mantera?).
 
Boruku,
 
Akhir-akhir ini banyak sekali "guru" yang menawarkan metode dan latihan bagi manusia 
untuk bisa merasakan "asketik", kenikmatan "spiritual" atau kenikmatan "bersatu dengan 
Tuhan" lepas dari konteks dunia. Buku-buku, kursus-kursus atau
 persekutuan-persekutuan yang berkaitan dengan hal tersebut pun bermunculan seperti 
jamur di musim hujan. Banyak dariteman-teman saya yang tertarik dan
 mengajak saya untuk mencoba bergabung ke sana. Tapi saya tidak tertarik dan tidak 
merasa perlu untuk mencari kehangatan persekutuan dengan Tuhan lewat cara-cara seperti 
tersebut di atas.
 
Kehangatan persekutuan dengan Tuhan saya rasakan dalam perjalanan memikul salib di 
dunia ini.
 Kehangatan persekutuan dengan Tuhan saya rasakan dalam kesadaran bahwa saya adalah 
bagian dari dunia tapi tidak untuk menjadi serupa dengan dunia. Inilah
 pemahaman yang diwarisi secara turun-temurun dari  ompungnya ompung saya, bapaknya 
ompung saya, ompung saya, bapak saya (ompungmu), saya dan (saya
 berharap) kau.
 
Boruku,
 
Mungkin apa yang saya jelaskan di atas terlalu abstrak bagimu. Karena itu biarlah saya 
jelaskan dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi di tengah keluarga kita:
 
Empat bulan lalu kita mendapat kabar bahwa Ompung Maruli--amanguda saya--oleh dokter 
dinyatakan positif menderita kanker paru-paru. Kita bingung dan sedih. Kita bingung 
karena kita tidak tahu darimana uang harus diperoleh untuk biaya perawatan. Seperti 
kau tahu, ompungmu hanya seorang pegawai biasa yang hidup pas-pasan. Karena itu, kita 
berdoa. Sanak keluarga di Medan berdoa. Sanak keluarga di Jakarta
 berdoa. Kita berdoa memohon kesembuhan seraya saling bahu-membahu mengumpulkan 
uang--yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak, karena sebagian besar dari kita sedang 
mengalami kesulitan ekonomi--untuk biaya perawatan rumah sakit.
 
Tidak ada "mujizat" seperti yang difahami oleh kebanyakan orang. (Duit yang beberapa 
kali kita kumpulkan tetap saja pas-pasan  dan ompungmu pun semakin parah saja). Tapi 
kita tidak merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Bahkan kita merasa Tuhan hadir di tengah 
pergumulan kita.
 
Dua minggu lalu, setelah tubuhnya habis digerogoti oleh sel-sel kanker,ompungmu 
menyatakan diri siap untuk meninggalkan dunia ini. Dengan tenang dan penuh kesadaran 
ia minta agar diberi pelayanan perjamuan kudus yang terakhir. Dan malamnya ia pun 
pergi untuk menghadap Sang Bapa--Pencipta dan Pemilik Hidupnya. Tidak ada mujizat 
penyembuhan dan tidak ada solusi bagi tagihan rumahsakit yang menggunung. Tapi semua 
kita--terutama yang hadir di sekeliling ranjangnya malam itu--bisa merasakan genggaman 
tangan Yesus. Indah sekali!
 
Itulah spiritualitas yang kita pahami. Kehadiran dan penyertaan Tuhan kita rasakan 
dalam pergumulan hidup sesehari dan biasa-biasa saja, di dunia nyata ini.
 
Boruku,
 
(Kini kita kembali ke topik pembicaraan kita). Yang menjadi keberatan saya ialah, 
bahwa sebagian besar syair lagu-lagu yang disebut sebagai "lagu-lagu rohani" masakini 
itu, kurang pas dengan pemahaman saya tentang hidup bertuhan. (Satu-dua memang ada 
yang pas).
 
Saya merasa kurang "sreg" kalau sebuah lagu berulang-ulang hanya mengatakan, "Hebat 
sekali Kau, Tuhan! Hebat sekali Kau, Tuhan!" atau "Mahabesar Kau, Tuhan! Mahabesar 
Kau, Tuhan!". Tuhan yang saya fahami adalah Tuhan yang tidak membutuhkan pujian 
seperti itu. Tuhan yang saya fahami bukanlah Tuhan yang "sipanggaron".
 
Tuhan yang saya fahami justeru adalah Tuhan yang merasa terpuji, kalau dalam nyanyian 
yang saya panjatkan saya bisa merasakan operasionalisasi dari
 kehebatan dan kebesaranNya. Sama halnya, saya tidak akan merasa terpuji kalau kau 
hanya mengatakan, "Bapak hebat, deh! Bapak baik, deh!" Tapi saya akan
 merasa terpuji kalau kau mengatakan, "Bapak baik, karena memampukan saya membayar 
uang sekolah tepat waktu dan mendapat cukup uang jajan sehingga bisa
 membeli satu-dua buku bacaan setiap bulan..".
 (Cobalah kau simak baik-baik syair beberapa lagu kegemaran saya di Buku Ende, Kidung 
Jemaat atau NKB. Kau pasti bisa lebih memahami apa yang saya  maksudkan).
 
Saya juga merasa kurang "sreg" kalau orang bernyanyi sampai "lupa diri".
 
Boruku,
 
Sama halnya dengan dirimu, saya juga pernah mengalami masa muda. Saya adalah generasi 
The Rolling Stone, Led Zeppelin, CCR, Bee Gees atau The Cats. Sampai sekarang  saya 
masih hafal luar-kepala sebagian dari lagu-lagu itu. Pada masanya dahulu, saya juga 
berpotongan rambut, berpakaian dan bertingkah-laku seperti musisi-musisi idola saya 
itu. Tapi pada waktu itu pun saya sadar, bahwa ekspresi "pop" hanya pas untuk 
urusan-urusan di luar gereja.
 
Kalau kami "marminggu" di HKBP Sudirman--Medan, maka dengan senang hati budaya atau 
ekspresi pop itu kami tinggalkan di luar pintu gereja. Kami melangkah
 masuk dengan menenteng Buku Ende yang bersampul hitam, kami menyanyikan lagu-lagu 
yang ada di sana dengan gembira dan kami mendapatkan "sesuatu". Dan
 "sesuatu" itulah yang kini--kalau saya sedang gelisah, sedih atau takut--suka saya 
lantunkan di dalam hati.
 
(Dua tahun lalu, bersama seorang teman, saya terpaksa bermobil  di malam hari, 
melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kecuali kami, tidak ada orang lain di 
tempat itu. Mobil mendaki dengan tersendat-sendat dan setiap saat bisa saja muncul
 orang dari balik hutan yang lebat  untuk menyergap dan menghabisi kita. Saya takut. 
Tak ada hal lain yang saya lakukan kecuali menyetel kaset Trio Lasidos yang 
menyanyikan lagu-lagu Buku Ende tersebut. Rasa takut saya memang tidak hilang
 mutlak, tapi saya menjadi lebih tenang, pasrah dan kembali meyakini bahwa ada Dia di 
"atas" sana yang berkuasa atas saya dan yang memiliki hidup saya).
 
Boruku,
 
Saya tidak melarangmu untuk mengeksplorasi "lagu-lagu rohani" kontemporer itu. Tapi 
sebagai pengimbang, saya juga ingin agar kau mengeksplorasi lagu-lagu Buku Ende, 
Kidung Jemaat atau Mazmur dan Nyanyian Rohani.
 
Mungkin saja, pada saat-saat awal, lagu-lagu tersebut terasa kurang sreg di telingamu. 
Tapi cobalah terus. Saya rindu, bahwa suatu ketika kelak, kita sama-sama melantunkan 
lagu "Sai Tiop Ma Tanganku" (Ayat 1 sampai 5), dan merasakan "getaran" yang sama. 
Memang, lagu-lagu tersebut tidak membuat kita bergoyang atau menjadi "fly" untuk 
merasakan kehadiran Tuhan. Ia justeru membuat kita merasakan
 kehadiran Tuhan dalam penuh kesadaran.
 
(Kau tentu belum pernah mengalami peristiwa, dimana--bersama-sama dengan beberapa 
teman--kau  menyanyikan lagu "Sai Tiop Ma Tanganku" di sekeliling seorang kekasih yang 
"terminally ill" dan sedang bersiap menghadap Yesus-nya. Tapi saya sudah pernah 
mengalami hal tersebut. Saya menangis, tapi tidak merasa sepenuhnya ditinggalkan. Saya 
kecewa, tapi tidak merasa sepenuhnya dikhianati. Saya takut, tapi tidak merasa 
sepenuhnya dilucuti. Dan semua itu saya rasakan karena kekayaan syair lagu).
 
Boruku,
 
Itulah beberapa pikiran dan gagasan saya di seputar lagu-lagu "rohani" populer 
masakini. Kalau kau mempunyai pemikiran lain dan tidak bisa menerima apa
 yang saya sampaikan, silakan utarakan. Melalui diskusi yang diterangioleh Roh Kudus 
saya berharap, kita bisa membangun suatu pemahaman yang lebih benar
 tentang kekristenan kita dan bagaimana bentuk pengekspresiannya yang paling pas.
 
Horas,
 
Bapakmu
 (Manusia Biasa--Yang Baru Ingat Akan Tuhan Kalau Hatinya Sedang Susah)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70
http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/IYOolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
     Mailing List Jesus-Net Ministry Indonesia - JNM -
Daftar : [EMAIL PROTECTED]
Keluar : [EMAIL PROTECTED]
Posting: [EMAIL PROTECTED]

Bantuan Moderator : [EMAIL PROTECTED]
WebSite: http://jnm.clear-net.com (Webmaster wanted!)
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
     http://groups.yahoo.com/group/jesus-net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
     [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
     http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke