<http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=273204&kat_id=100> <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=273204&kat_id=100>
Wajah Elvi (4 tahun) menebar rasa gembiranya. ''Aku punya boneka yang bagus sekali. Rambutnya keriting, pakai mahkota seperti ratu.'' Begitu bocah itu bercerita pada teman bermainnya, Ella (4). Ella memandang dengan rasa ingin tahu dan setengah kagum. Maklum, sudah lama ia tak punya boneka baru. Namun, Elvi sebenarnya tak memiliki boneka yang dia ceritakan. Dalam penangkapan orang dewasa, ucapan gadis cilik itu sebagai berbohong. Berbohongkah Elvi? Menurut psikolog dari Bagian Anak RS Dr Sardjito/Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM), Dr Indria Laksmi Gamayanti Psi, ucapan seperti itu bukan berbohong dalam arti sebenarnya. Fenomena berbohong pada anak, kata dia, perlu dilihat dari berbagai sudut di antaranya dari sudut usia. *Ajak ke realita* Gamayanti menjelaskan, pada anak-anak yang sangat muda usia (di bawah lima tahun), belum bisa membedakan antara realita dan angan-angan. Seperti halnya contoh kasus Elvi, dalam angan-angan anak itu sebetulnya menginginkan sesuatu. Ia ingin boneka yang bagus sekali, tetapi diucapkan sebagai sesuatu yang nyata. Karena itu dia bercerita pada temannya bahwa ia mempunyai boneka yang bagus sekali. Apabila orang tua mendengar apa yang dikemukakan anak-anak seperti Elvi, Gamayanti menyarankan agar jangan langsung memarahi. Apalagi membentak anak, katakanlah Elvi, di hadapan temannya bahwa dia berbohong. Orang tua seharusnya menunjukkan atau memberi tahu pada anak tentang hal yang sebenarnya. Sebaiknya orang tua mengatakan kepada anak dengan bahasa yang lebih bijaksana sehingga ia bisa mengerti bahwa apa yang dikemukakan itu bukan hal yang sebenarnya. ''Misalnya, 'Kamu sebetulnya belum punya boneka yang bagus. *Kayaknya* kamu ingin boneka yang bagus ya?'''ungkap Gamayanti yang juga sebagai dosen di Center for Bioethics and Medical Humanities FK UGM. Apa jadinya bila anak pada usia di bawah lima tahun mengatakan sesuatu hal yang dia angan-angankan sebagai sesuatu hal yang nyata, kemudian orang tuanya yang mendengar langsung membentak sambil mengatakan, ''kamu berbohong!'' Perlakuan seperti itu, kata Gamayanti, bisa membuat anak menjadi bingung dan ada perasaaan bersalah. Karena itu, ''Anak sebaiknya diajak bicara pelan-pelan ke alam realita,'' tambah dia. *Menyelamatkan diri* Lain lagi bila anak sudah berusia 7-8 tahun. Pada umur-umur tersebut, ungkap Gamayanti, barang kali anak sudah bisa berbohong dalam arti sebenarnya. Hal ini untuk mendapatkan pengakuan dari temannya, atau untuk menyelamatkan diri supaya tidak dimarahi. ''Dengan berbohong akan menguntungkan dirinya, karena dia bisa terhindar dari hal yang tidak menyenangkan, misalnya dimarahi atau ditegur,'' katanya. Sebetulnya, kata dosen tamu di Fakultas Psikologi UGM ini, anak berbohong itu justru lantaran mendapatkan ajaran dari orang dewasa. Yakni, karena anak akan dimarahi bila berbuat salah. Karena itu, dari berbohong anak mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya, sehingga tidak jadi dimarahi. Gamayanti menyebut sebuah contoh. Ketika si anak berbuat salah seperti memecahkan gelas, secara otomatis orang tua membentaknya. Akibatnya, anak tersebut mengelak dan mengatakan bukan dia yang memecahkan gelas tersebut. Dengan cara begitu, si anak selamat dari kemarahan orang tuanya. Hal itu merupakan sebuah proses pelan-pelan yang dipelajari anak dari lingkungannya. ''Bila anak selalu mendapat kecaman, dengan pelan-pelan akan terbentuk pola hingga dewasa suatu kepribadian yang tidak menyenangkan yaitu selalu berbohong,'' kata Gamayanti. Adalah tugas orang tua untuk meyakinkan pada anak untuk mengatakan yang sebenarnya, jangan berbohong. Misalnya, bila si anak memecahkan gelas, katakan pada dia bahwa gelas pecah tidak apa-apa, yang penting ia mengakui telah memecahkannya. Dan, katakan pada anak bahwa lain kali dia harus hati-hati waktu memegang gelas supaya tidak pecah. Gamayanti melihat kebiasaan berbohong pada pribadi-pribadi berkaitan dengan kecenderungan dalam masyarakat. Ia menandai bahwa masyarakat kita secara umum mudah menghakimi, memarahi atau menyalahkan. Itulah yang membuat munculnya pertahanan/mengelak/berbohong. ''Saya kira kita banyak menemukan orang dewasa yang seperti itu. Cukup jarang orang yang berani mengatakan bahwa 'saya salah atau saya khilaf'. Kalau orang berbuat salah justru mengambinghitamkan yang lain atau mengelak bahwa bukan dia yang berbuat salah,'' tutur dia. Karena itu, lanjut Gamayanti, menjadi tugas orang tua untuk menanamkan kepada anak sejak kecil supaya berani mengatakan yang sebenarnya. Kalau anak berbuat salah dan mengakuinya, kita harus membenarkan sikap dia. Orang tua atau lingkungannya juga harus berubah, jangan mudah menyalahkan atau memarahi bila anak melakukan kesalahan. ''Kalaupun anak berbuat salah, maka tunjukkan kesalahan dia dan apa akibatnya serta bagaimana supaya dia tidak mengulangi kesalahannya,''saran dia. *Lebih Baik Cari Solusi* Si kecil berbohong? Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Elizabeth Pantley dalam *Perfect Parenting, The Dictionary of 1,000 Parenting Tips*memberikan sejumlah tips: * Ingatlah, anak-anak berbohong karena beragam alasan. Mengajarkan pada anak tentang nilai kebenaran membutuhkan waktu, pengajaran, dan kesabaran. * Jangan sok jadi detektif, menyelidiki kebohongan anak dengan sederet pertanyaan. Nyatakan saja fakta-fakta yang Anda ketahui. ''Permennya hilang dan di mukamu berlepotan cokelat. Ke kamarlah dulu dan datang ke sini begitu kamu mau membicarakannya dengan ibu.'' * Gunakan waktu untuk mencari solusi ketimbang menyalahkan anak. ''Entahlah bagaimana bisa terjadi, tapi kenyataannya lampu ini pecah. Apa yang akan kita lakukan?'' * Bersikaplah langsung dan jujur. Jika Anda tak yakin anak memberi pernyataan yang jujur, katakanlah, ''Kedengarannya itu bukan ucapan yang benar.'' * Jika anak bicara jujur, janganlah menguliahinya. Pujilah kejujurannya, dan fokuskan pada solusi tanpa amarah. Jangan pula mengatakan, ''kalau kamu mengatakan sejujurnya, tak akan dihukum.'' Kita semua melakukan kesalahan, tapi kita perlu menerima tanggung jawab dari tindakan kita itu. Lebih baik, ''Bila kamu berbohong, kamu akan kena masalah yang lebih besar.'' * Tinjau ulang harapan Anda. Anak terkadang berbohong karena merasa mereka tak bisa memenuhi harapan Anda. Introspeksi pada respons Anda terhadap kesalahan dan kekurangannya. Pastikan Anda memberinya ruang atas ketidaksempurnaannya. * Contohkan kejujuran. Ingatlah, Anda memberi pelajaran pada anak setiap waktu, disadari ataupun tidak. * Bila anak mengembangkan suatu pola berbohong dan terus berbohong meski kebenarannya sudah terungkap, mintalah bantuan saran profesional.