terus terang saya ini termasuk yang paling jarang membaca koran republika (online sekalipun). dengan alasan isi beritanya yang terlalu nyata dan lugas amat tendensius dan suka bikin gerah perasaan. namun pagi ini aku dapat kiriman dari seseorang. olehnya itu, aku mohon pendapat netters kuli-tinta sekalian. terimakasih, mbah soeloyo ----------- ----- Original Message ----- From: Tris <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Cc: <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Wednesday, January 12, 2000 8:48 AM Subject: [Muslim Okayama] Re: [musholla] Iftar bareng #musholla - 2 (Late) Assalamu'alaikum Ini ada Artikel dari Republika wassalam tris =================== Perayaan Natal Bersama di Tengah Konflik SARA Hussein Umar Sekjen DDII/Ketua Dewan Pimpinan KISDI Tidak seperti Perayaan Natal Bersama (PNB) tahun-tahun sebelumnya, PNB tahun ini yang dilaksanakan 27 Desember 1999, kelihatan lebih meriah. Enam stasiun TV swasta menyiarkan langsung PNB yang dihadiri puluhan ribu kaum Nasrani. Dua hari sebelumnya, 25 Desember 1999, beberapa stasiun TV swasta juga sudah menyiarkan Siaran Langsung Misa Natal dari Vatikan. Yang kemudian menimbulkan kontroversi dan memicu protes dari umat Islam adalah Siaran Langsung Misa Natal dari ''Gereja Betawi'' di Kampung Sawah Jakarta. Entah apa motif kaum Nasrani di gereja itu yang hadir ke gereja dengan menggunakan simbil-simbol adat Betawi yang sudah sangat kental dengan budaya Islam. SCTV yang menyiarkan langsung misa di Gereja Betawi itu akhirnya terpaksa meminta maaf, setelah diprotes keras oleh umat Islam, khususnya warga Betawi. (Republika, 31 Desember 1999). Harian Kompas (26/12/99) menyebut perayaan Natal di Gereja Betawi itu sebagai hal yang unik. ''Suasana unik terasa pada perayaan Natal di Gereja Betawi di pinggiran Jakarta, yakni Kampungsawah, Pondok Gede, Bekasi. Dipimpin Pastor Rudolf Kurris SJ, yang sekarang menjadi Pastor Paroki Santo Servatius Kampungsawah, dengan jumlah umat saat ini sekitar 4.000 jiwa, di mana 800-an adalah warga Betawi Kampungsawah yang tinggal di sekitar Gereja... Umat mengenakan baju-baju terbarunya, sebagian mengenakan kopiah bagi yang putra dan kerudung bagi yang putri.'' Sebagaimana halnya SCTV, berita di Harian Kompas tentang misa Natal di Gereja Betawi itu menunjukkan betapa antusiasnya koran yang mengemban misi Katolik itu dalam menyiarkan berita yang justru menyinggung perasaan umat Islam. Melihat berita Kompas tersebut, jumlahnya ternyata sangat mencengangkan. Di sekitar satu gereja saja, yang jemaatnya 4.000, sebanyak 800 orang di antaranya adalah orang Betawi yang sudah jadi Kristen. Rasanya tidak logis, jika umat Islam, khususnya warga Betawi tidak tersinggung dengan gerakan Kristenisasi kaum Nasrani seperti itu. Bisa dibayangkan hal semacam ini akan terjadi di daerah-daerah minoritas Muslim seperti di Timtim, NTT, dan Maluku, yang umat Islam di sana sudah dibunuh dan diusir. Bertahun- tahun Uskup Belo berkampanye di luar negeri bahwa di Timtim terjadi Islamisasi terhadap warga Katolik timtim. Padahal, di masa integrasi, jumlah umat Katolik justru meningkat pesat jumlahnya. Tahun 1972, orang Katolik hanya 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Mengomentari tuduhan-tuduhan terjadinya Islamisasi di Timtim, Prof Bilver Singh, seorang penganut Sikh, menulis dalam bukunya Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan: ''Tuduhan-tuduhan jahat ini didorong tidak lain kecuali oleh ketakutan, meski tidak berdasar, bahwa benteng Kristen dan Katolik di Timor Timur akan dikepung oleh gerombolan-gerombolan Jawa-Islam.'' (hal 311). Gara-gara isu Katolikisasi di Timtim itulah, maka puluhan ribu umat Islam di Timtim, khususnya yang pendatang, terusir dari daerah tersebut. Ekspose yang besar-besaran dari beberapa media massa dan semangat beragama yang ekspansif dari kaum Nasrani terhadap Islam pada kegiatan Natal tahun ini sebenarnya justru sangat memprihatinkan. Sebab hal itu masih menunjukkan betapa tidak sensitifnya kaum Nasrani dalam menangkap sensitivitas umat Islam. Lebih ironis lagi, ekspose Natal besar-besaran itu justru terjadi di saat konflik agama di Ambon sedang memuncak dan masih belum lamanya kejadian pembakaran Kompleks Kristen Doulos di Cipayung (16 Desember 1999), serta di tengah suasana umat Islam sedang menjalankan ibadah malam Ramadhan. Menyimak acara-acara yang ditampilkan dalam acara PNB dan beberapa sambutan yang disampaikan, dapat dilihat dengan jelas, bahwa acara itu sebenarnya lebih ditujukan kepada umat Islam. Tidaklah tepat jika acara semacam itu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya toleransi beragama di Indonesia. Sejak tahun 1981, MUI sudah mengeluarkan fatwa, bahwa menghadiri PNB adalah haram hukumnya. Kaum Nasrani juga berulangkali diimbau agar tidak perlu menggelar acara ''Natal Bersama''. Kalau mereka mau ''natalan'', hendak beribadah kepada Tuhan mereka, mengapa harus melibatkan umat beragama lain. Mengapa acara itu tidak dilakukan untuk intern mereka sendiri saja? Apakah umat Islam harus juga mengadakan ''Idul Fithri Bersama''? Apa umat Budha perlu melaksanakan ''Waisak Bersama''? Dan umat Hindu melakukan ''Nyepi Bersama''? Anehnya, Presiden dan pejabat-pejabat pemerintah selalu menghadiri praktek kehidupan beragama yang tidak sehat seperti itu. Melihat ''kegigihan'' kaum Nasrani dalam melaksanakan ''Natal Bersama'' dan merayakan berbagai kegiatan misa keagamaan yang dengan sengaja ditujukan kepada umat Islam, dapat disimpulkan, bahwa gerakan Kristenisasi di Indonesia masih terus dijalankan dengan serius. Dan itu tidak mengherankan, sebab begitulah yang senantiasa diinstruksikan oleh tokoh- tokoh dan pemuka agama Kristen. Dalam buku Sejarah Gereja yang ditulis Dr Berkhof, terbitan BPK Gunung Mulia, cetakan ke-8 tahun 1990 halaman 321, disebutkan: ''Boleh kita simpulkan bahwa Indonesia adalah suatu daerah pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit firman Tuhan. Jumlah orang Kristen Protestan sudah 134 juta lebih, akan tetapi jangan kita lupa ... di tengah-tengah 150 juta penduduk. Jadi tugas zending gereja-gereja muda di benua ini masih sangat luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak seberapa banyak itu yang perlu mendengar kabar kesukaan, tetapi juga kaum Muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan Injil. Apalagi bukan saja rakyat jelata, lapisan bawah, yang harus ditaklukkan oleh Kristus, tetapi juga dan terutama pada pemimpin masyarakat, kaum cendekiawan, golongan atas dan tengah.'' Itulah misi Kristenisasi yang digariskan oleh kaum Nasrani dari kalangan Protestan. Dari agama Katolik, instruksi untuk melakukan Kristenisasi diberikan langsung oleh Paus. Koran The Strait Times edisi 24 Januari 1991 memuat Surat Edaran Paus yang berisi seruan Paus kepada kaum Katolik untuk menyebarkan agama Kristen. Dalam Surat Edaran atau fatwa gerejani yang dikatakan sebagai ''Redemtory Missio'' atau The Churchs Missionary Mandate itu, diserukan, agar umat Katolik mengambil tindakan untuk menyebarkan ajaran Katolik. Paus menegaskan pentingnya melakukan Kristenisasi terhadap semua bagian dunia (to evangelise in all parts of the worlds), termasuk negeri-negeri di mana hukum Islam melarang perpindahan agama. Paus menekankan, agar negeri-negeri Islam, demikian juga negara-negara lainnya, segera mencabut peraturan-peraturan yang melarang orang Islam memeluk agama lain. Tanpa menyebut negara secara langsung, Paus menyinggung negara-negara di Kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia, di mana para misionaris ditolak kehadirannya. Kepada mereka Paus mengatakan, ''Bukakanlah pintu untuk Kristus (open the doors to Christ)!'' Demi menjalankan misi mereka, para misionaris Kristen seringkali tidak mempedulikan apakah tindakan mereka itu akan menimbulkan keresahan di tengah umat Islam atau tidak. Kristenisasi dimaksudkan dengan sengaja untuk merusak akidah umat Islam dan memusuhi Islam. Bukan sekadar untuk mencari pengikut Yesus yang sebanyak-banyaknya. Sebab, jika mereka sekadar mau menambah pengikut Kristen, mereka tidak akan memfokuskan kegiatan mereka kepada umat yang sudah beragama, khususnya umat Islam. Oleh sebab itu, kaum misionaris Kristen selalu menolak upaya-upaya untuk menciptakan kode etik penyiaran agama. Aturan-aturan pemerintah yang sudah ditetapkan sebagai dasar pijakan untuk menciptakan kerukunan kehidupan beragama di tanah air senantiasa mereka tolak. Sebagai contoh, dalam Musyawarah Antar-Golongan Agama, 30 November 1967, pihak Kristen menolak suatu klausul yang diajukan oleh pejabat Presiden Soeharto yang berbunyi, ''tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.'' Kalangan Kristen juga menolai SK Menteri Agama No 70 dan SK No 78 Tahun 1978 yang mengatur masalah penyiaran agama dan bantuan luar negeri terhadap lembaga keagamaan di Indonesia. SKB Menag dan Mendagri No 1 Tahun 1969 terus-menerus digugat. Badan Pekerja Musyawarah Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) membentuk satu tim dengan tugas menelaah SK tersebut. Dalam salah satu bagian hasil telaah tim tersebut disebutkan: ''Hal-hal yang diputuskan sekarang ini akan mempunyai pengaruhnya dalam tahun-tahun dan puluhan tahun yang akan datang. Dalam kesadaran itulah tinjauan ini dengan segala kelemahan dan kekurangannya dipersembahkan, dengan ajakan: karena itu saudara-saudara yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan. Sebab, kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia.'' Dalam acara Musyawarah Antar-Agama di Gedung Dewan Pertimbangan Agung Jakarta tersebut, wakil pihak Kristen, Dr Tambunan menegaskan, bahwa pihaknya tidak dapat menerima pembatasan penyebaran agama kepada kelompok tertentu, sebab ada perintah dalam Injil yang berbunyi: ''Dan kamu akan menjadi saksi bagiku, baik di Yerusalem, baik di seluruh tanah Judea atau di Samaria, sehingga sampai ke ujung bumi (Kisah Rasul-rasul 1:8); dan ''Pergilah ke seluruh dunia dan maklumkanlah Injil ke seluruh makhluk.'' (Markus 16:15). Di tengah ramainya protes umat Islam, seperti kasus Doulos dan kasus Gereja Betawi, dan di tengah suasana konflik SARA di Ambon dan di tempat lain, di dalam PNB tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid justru mengeluarkan pernyataan yang sensitif dan kontroversial. Meskipun masih menjadi orang penting di World Conference on Religion and Peace dan Shimon Peres Foundation, tetapi di acara PNB itu, Abdurrahman Wahid berpidato sebagai Presiden RI. Pidatonya disimak dan didengarkan langsung oleh jutaan umat Islam Indonesia. Usai acara Natal Bersama tersebut, telepon saya berkali-kali berdering dari berbagai daerah, yang isinya senada, yaitu memprotes ucapan-ucapan Presiden Abdurrahman Wahid. Seperti misalnya, ucapan ''Assalaamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh'' yang dengan sengaja ditujukan umat Nasrani. Padahal, sejak kecil, orang-orang Islam sudah diajarkan, bahwa ucapan salam itu hanya untuk orang Islam. Juga ucapannya: ''Saya turut merasakan gembira dengan datangnya hari Natal pada tahun ini. Suka cita ini bukanlah hanya monopoli Anda-anda yang beragama Kristen saja, tapi adalah kegembiraan kita semua. Ini tertuang baik di dalam kitab suci kaum Kristiani maupun di dalam Al Quranul Karim yang saya percayai, karena di sana diterangkan adanya seorang Juru Selamat yang datang ke dunia. Dari semua penafsiran Alquran menyatakan, bahwa Sang Juru Selamat itu adalah Isa Al Masih. Banyak orang menyayangkan mengapa kita menyebutkan kata Yesus Kristus, padahal mereka tidak tahu, bahwa kata Yesus Kristus dalam bahasa Arabnya adalah Isa Al Masih yang disebutkan Alquran. Karena itu bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, juga adalah harus konsekuen merayakan malam Natal. Lebh-lebih pada saat ini.'' Seorang Muslim tidak pernah diajari bahwa Juru Selamat mereka adalah Yesus kristus. Tidak ada ajaran Alquran seperti itu. Juga tidak ada seorang ulama atau satu kitab kuning maupun kitab putih pun yang mengajarkan bahwa umat Islam harus ikut bergembira ria dan juga harus merayakan Natal. Ucapan-ucapan Presiden seperti itu sudah terlalu jauh dan melampaui batas-batas toleransi beragama, sebab hal itu sudah memasuki wilayah akidah atau keimanan, yang seharusnya tidak dicoba untuk dicampuradukkan. Ucapan Presiden seperti itu bukannya membangun kerukunan umat beragama, tetapi malah menumbuhkan budaya munafik di antara umat beragama dan memunculkan persoalan keagamaan yang lebih serius di kalangan umat Islam sendiri. ---------------------------------------------------------------------- -- Toys, Books, Software. Save $10 on any order of $25 or more at SmarterKids.com. Hurry, offer expires 1/15/00. http://click.egroups.com/1/646/4/_/30099/_/947591652/ -- Easily schedule meetings and events using the group calendar! -- http://www.egroups.com/cal?listname=muslim-okayama&m=1 -= Dual T3 Webhosting on Dual Pentium III 450 - www.indoglobal.com =- Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan LAKUKAN SENDIRI dengan mengirim e-mail kosong ke alamat; Bergabung: [EMAIL PROTECTED] Keluar: [EMAIL PROTECTED] Sambut MASA DEPAN BARU Indonesia!