http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=72451

PEREMPUAN

15 Juli 2009


SELEPAS pemuatan tulisan saya yang berjudul Pendidikan Kegenderan di
Sekolah di rubrik ini, beberapa pembaca memberikan apresiasinya.
Banyak diantara mereka yang melontarkan pertanyaan bercampur rasa
penasaran dan khawatir, apakah kekerasan yang dilakukan ibu terhadap
anaknya juga merupakan pemicu kekerasan gender bagi anaknya kelak,
meski nantinya sudah ada pendidikan gender di sekolah?

Kalau memang benar, mereka menilai pendidikan kegenderan di sekolah
saja tidak cukup sebagai upaya preventif meminimalisasi kekerasan
berbasis gender.

Tak dapat dimungkiri, dalam masyarakat masih kental budaya orangtua
(terutama ibu) menghukum anak jika melakukan kesalahan. Kalau hukuman
itu bersifat mendidik, misalnya diminta menyapu kamar, mungkin tidak
jadi masalah. Itu pun harus dilakukan secara halus dan tidak berkesan
kasar.

Tetapi, bagi kultur kita, hal ini sangat jarang terjadi. Kebanyakan
yang terjadi adalah anak yang melakukan kesalahan atau melakukan
sesuatu yang tak sesuai dengan kemauan ibunya, mendapat amarah,
cubitan, pukulan, bahkan tendangan.

Ditilik dari sisi psikologis anak, hal itu jelas akan memengaruhi jiwa
dan mentalitasnya, sehingga apa yang dialaminya saat kecil akan selalu
diingat hingga masa dewasa.

Parahnya jika anak menafsirkan kekerasan yang dilakukan ibunya itu
merupakan hal yang boleh dilakukannya. Lebih parah lagi kalau anak
memiliki keinginan balas dendam terhadap apa yang dialaminya
(kekerasan oleh ibu) kepada kaum perempuan di sekitarnya, termasuk
teman-teman perempuannya kelak.

Kalau hal itu terjadi, tentu permasalahannya menjadi pelik, sehingga
cara penanganannya pun harus lebih kompleks dan terintegrasi. Tak
hanya satu upaya preventif saja yang perlu dilakukan.

Evaluasi Diri

Kita seharusnya tak boleh tutup mata dengan persoalan ini, karena bisa
saja hal ini menimpa anak kita kelak. Oleh karena itu, sudah
semestinya para ibu mengevaluasi diri masing-masing, apakah selama ini
sikapnya terhadap anak sudah jauh dari kekerasan? Kekerasan di sini
jangan hanya diartikan, misalnya, menendang atau memukul anak.
Kekerasan di sini juga termasuk memarahi anak dengan bentakan atau
mencubitnya.

Memang sudah menjadi kewajiban ibu untuk mengingatkan anak jika
bersalah atau melakukan sesuatu di luar batas normal. Tetapi,
mengingatkan anak tidak harus dengan membentak, memarahi, memukul, dan
mencubitnya. Menjadi lebih elegan jikahal itu dilakukan dengan cara
yang halus.

Justru dengan pendekatan persuasif dan dalam suasana yang tenang, anak
dapat meresapi nasihat ibunya. Karena itu, sikap marah dan beragam
sikap kekerasan lain terhadap anak harus segera dihentikan. Ini
semata-mata guna menjauhkan anak dari pemikiran kekerasan, terutama
kekerasan berbasis gender kelak.

Penelitian mengenai kekerasan ibu terhadap anaknya apakah berpengaruh
terhadap terjadinya kekerasan berbasis gender yang dilakukan si anak
kelak, memang belum pernah dilakukan secara khusus.

Mata Rantai

Tetapi berdasarkan fakta di lapangan, terutama pengalaman saya selama
menjadi konselor di Pilar PKBI, seseorang melakukan kekerasan berbasis
gender umumnya karena meniru kekerasan yang dilakukan ibu kepada
dirinya di masa kanak-kanak. Selain itu, dipengaruhi pula oleh
tayangan film/sinetron di televisi.

Karena itulah, mengapa penanganan kekerasan berbasis gender sangat
membutuhkan peranserta berbagai pihak. Kita semua tak boleh menutup
mata terhadap permasalahan kekerasan berbasis gender yang kini makin
marak terjadi di sekitar kita.

Permasalahan dasar yang mesti dilakukan saat ini adalah memutus mata
rantai penyebabnya. Sebab, dengan tindakan preventif itu, kekerasan
berbasis gender kelak menjadi lebih mudah dikendalikan intensitasnya.
Tentu pemikiran yang saya ungkapkan beberapa waktu lalu perihal
pendidikan gender di sekolah belum bisa sepenuhnya memutus mata rantai
kekerasan berbasis gender.

Akan lebih efektif jika upaya itu ditambah dengan upaya preventif
lain, yaitu menghapus adanya kekerasan ibu terhadap anaknya. Hal ini
memang sulit dilakukan, karena berkaitan erat dengan kultur masyarakat
kita.

Kultur menghukum (fisik) atau memarahi anak ketika berbuat salah atau
tak sesuai dengan keinginan ibu sudah saatnya diubah. Kalau ada
kemauan dari orangtua terutama ibu, pasti hal ini bisa terwujud dengan
baik.

Kita semua tentu tidak ingin kekerasan yang dilakukan ibu terhadap
anaknya justru menjadi awal timbulnya malapetaka di kemudian hari.
Malapetaka yang berarti kekerasan berbasis gender yang dilakukan
anaknya, entah kepada teman wanita atau istrinya, kelak. Hal ini tak
hanya merugikan si anak itu sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat
di sekitarnya. (Hadziq Jauhary-32)

Kirim email ke