PENGGUNAAN KEKERASAN DALAM MENGINGKARI PARA PELOPOR BIDÂ’AH TIDAK BERARTI LOYAL 
TERHADAP KAUM KAFIR
   
  Oleh
  Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
   
   
  Pada prinsipnya, Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar” (perintah kepada 
kebaikan dan mencegah dari kemungkaran) dilakukan dengan lemah lembut dan penuh 
kasih sayang, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa TaÂ’ala.
   
  “Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran 
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” [An-Nahl : 125]
   
  Demikian pula firmanNya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihis Salam
   
  “Artinya : Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah 
melampui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang 
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha : 43-44]
   
  Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda.
   
  “Artinya : Sesungguhnya, tidaklah suatu kelembutan ada pada sesuatu kecuali 
ia pasti menghiasinya dan tidak pula kelembutan itu dicabut kecuali akan 
memperburuknya” [Hadits Riwayat Muslim No. 2594]
   
  Namun demikian, apabila kemunkaran tidak berubah kecuali dengan menggunakan 
semacam kekasaran/kekerasan, maka tidaklah mengapa bila digunakannya, sekalipun 
terhadap sesama kaum muslimin. Tidaklah engkau melihat bahwasanya Allah 
Subhanahu wa TaÂ’ala telah membolehkan peperangan untuk menegakkan hal itu? Dan 
tiada kekerasan yang melebihi peperangan, Allah Subhanahu wa TaÂ’ala berfirman.
   
  “Artinya : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka 
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat 
aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang bebruat 
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [Al-Hujarat : 9]
   
  Terkadang, seorang mukmin bersikap sangat keras dalam mengingkari saudaranya 
melibihi sikap kerasnya terhadap musuh/lawannya. Tidaklah engkau lihat 
kelembutan Nabi Musa terhadap FirÂ’aun, sementara beliau bersikap keras terhadap 
saudaranya, Harun? Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa TaÂ’ala menceritakan 
dengan firmanNya.
   
  “Artinya : Dan dia (Musa) memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil 
menariknya ke arahnya” [Al-A’raf : 150]
   
  (Dari tindakan yang dilakukan oleh Musa terhadap saudaranya Harun,-pent) 
dapatkah seseorang melakukan protes terhadap Musa dengan menggunakan alasan 
“al-wala” (loyalitas) dan “al-bara” (sikap berlepas diri), yaitu dengan menuduh 
beliau membentangkan lisan dan tangan beliau terhadap saudaranya sendiri dan 
bersikap lemah lembut terhadap para thaghut?!
   
  Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun terkadang mencela 
para ulama dari kalangan sahabat beliau dengan celaan yang lebih keras dari 
pada celaan beliau terhadap sahabat lainnya (yang bukan ulama, -pent) apabila 
mereka berbuat kesalahan. Sebagai contoh, ucapan beliau kepada MuÂ’adz bin Jabal 
Radhiyallahu ‘anhu tatkala Mu’adz memanjangkan shalat ketika menjadi imam, 
memimpin kaumnya shalat berjamaÂ’ah, beliau mengatakan.
   
  “Artinya : Apakah engkau ingin menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz?” [Hadist 
shahih riwayat Al-Bukhari no. 6126 dan Muslim no. 465]
   
  Sebaliknya, sikap lemah lembut beliau terhadap seorang Badui (dari gurun 
pasir) yang kencing di masjid (beliau) sebagaimana termaktub dalam Shahih 
Al-Bukhari dan kitab-kitab hadits lainnya. [1]
   
  Demikian pula sabda beliau kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu tatkala 
ia membunuh seorang musyrik dalam peperangan setelah orang itu mengucapkan 
“kalimat tauhid” (Laa Ilaaha illallah)
   
  “Artinya : Wahai Usamah ! Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan 
‘Laa Ilaaha illallaah?! Usamah berkata : ‘beliau terus mengulang-ulangi ucapan 
itu, sehingga aku berangan-angan (seandainya) aku belum memeluk Islam sebelum 
hari itu” {Riwayat Al-Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96]
   
  Dan sungguh Usamah telah mengambil pelajaran penting dari sikap keras 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya, ia menjadikannya sebagai 
sebuah nasihat pada masa terjadinya fitnah setelah peristiwa pembunuhan 
Khalifah Ar-Rasyid, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Tindakan keras 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut atas dirinya telah mewariskan 
padanya sikap ‘tawarru’ (berhati-hati) dari darah-darah kaum muslimin.
   
  Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata.
   
  “Usamah telah mengambil pelajaran penting sejak hari ketika Nabi Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya ; ‘Bagaimana dengan Laa Ilaaha illallaah’ 
wahai Usamah ?!Â’ Maka dia pun menahan tangannya menetapi rumahnya, dengan 
demikian dia telah berbuat baik” [Lihat pada Siyar A’laamin Nubalaa II/500-501]
   
  Aku (penulis) berkata : “Allhu Akbar ! Allah Mahabesar, alangkah agungnya 
pendidikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah hinanya pendidikan 
ala hizbiyyah [2], yang mana sejak ia mengharamkan prinsip ‘bantahan terhadap 
orang yang menyelisihi kebenaranÂ’ sementara para pengikut mereka tidak 
memelihara diri mereka dari menumpahkan darah kaum muslimin, mereka menumpahkan 
darah-darah itu secara sia-sia dengan mengatas namakan jihad, hampir saja tidak 
ada suatu fitnah yang terjadi kecuali mereka sebagai bahan bakar atau 
penyulutnya”
   
  Semua itu sebagai akibat dari sikap ‘mudahanah’ (berbasa-basi dalam masalah 
agama) di antara mereka karena beranggapan bahwa dengan berbuat demikian, 
mereka memanfaatkan orang-orang kafir. Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah berkata : “Seorang mukmin bagi mukmin yang lainnya ibarat kedua 
tangan, yang satu mencuci lainnya, terkadang kotoran (yang ada) tidak mudah 
lepas kecuali dengan mengunakan sejenis (gosokan) keras yang mengharuskannya 
menjadi bersih dan halus, dengan demikian kita memuji kekerasan tersebut” [3]
   
  Jika demikian halnya, maka kelembutan yang diterapkan oleh sejumlah jamaÂ’ah 
Islam terhadap perorangan atau kelompok dari golongan orang-orang jahil yang 
bertindak semena-mena tanpa memikirkan akibatnya sehingga menyebabkan (para 
penguasa) meminta bantuan dari musuh-musuh (Islam) untuk menghancurkan kaum 
muslimin, (sikap lemah lembut tersebut terhadap mereka) tidak termasuk bagian 
dari al-wala (loyalitas) sedikitpun. Karena sikap tersebut, menjadikan mereka 
semakin tenggelam dalam kesesatan karena mereka tidak pernah merasa akan 
besarnya tindak kejahatan mereka. Tidak hanya itu, pada hakikatnya kekerasan 
yang terkadang ditempuh terhadap kaum muslimin (yang menyelisihi kebenaran), 
didorong oleh perasaan “ghairah” (kecemburuan) atas mereka karena melihat 
mereka dikotori oleh beberapa perbuatan yang kotor serta terdorong pula oleh 
sebuah upaya untuk mengokohkan barisan dan menutup/membendung celah/lubang 
barisan itu, agar tidak dimasuki (oleh musuh,-pent). Maka hendaknya
 diketahui latar belakang penggunaan kekerasan tersebut!!!
   
  Oleh sebab itu, Al-Alamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di bawah 
sebuah judul tulisannya : “Dalil-dalil Yang Menyingkap Kekeliruan Sebagian 
Penulis”. Tidak diragukan bahwasanya syari’at Islam yang sempurna telah datang 
dengan membawa peringatan agar waspada terhadap sikap ghuluw (berlebih-lebihan) 
dalam agama dan memerintahkan agar berdakwah kepada jalan kebenaran dengan 
hikmah dan pelajaran yang baik serta membantah dengan cara yang lebih baik. 
Namun demikian, syariÂ’at Islam tidak mengenyampingkan sikap kekerasan dan 
kekasaran jika memang cara itu diletakkan pada tempatnya, yaitu ketika tidak 
bermanfaat lagi penggunaan kelembutan dan dialog (berbantah-bantahan) dengan 
cara yanbg lebih baik. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa TaÂ’ala.
   
  “Artinya : Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang 
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka ….” [At-Taubah : 73]
   
  “Artinya : Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang 
ada di sekitarmu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan 
ketahuilah, bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa” [At-Taubah : 
123]
   
  Juga firmanNya
   
  “Artinya : Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab, melainkan dengan 
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka …” 
[Al-Ankabut : 46]
   
  Adapun jika orang yang berbuat kezhaliman, kekufuran atau kefasikan 
senantiasa melakukannya dan peringatan serta nasihat tidak bermanfaat baginya 
dan tidak diperhatikannya, maka merupakan kewajiban untuk menghukuminya dan 
mensikapinya dengan keras serta memberlakukan hukum yang berhak atasnya, berupa 
pelaksanaan hadd [4], celaan, ancaman atau teguran yang tegas sehingga dia 
berhenti pada batasnya dan berhenti dari perbuatan bathilnya. [5]
   
  Padahal, realita yang muncul dari sikap basa-basi ala partai-partai dan 
hizib-hizib Islam terhadap pelaku bidÂ’ah serta sikap diam mereka terhadap 
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan mereka, yaitu karena mereka telah membatasi 
jalan untuk menuju kepada kejayaan muslimin hanya melalui kotak-kotak suara 
pemilihan umum, lalu merekapun murka terhadap kritikan, karena khawatir akan 
merusak (mengurangi) jumlah suara (pendukung mereka, -pent). Demikianlah suatu 
perbuatan jelek akan diikuti dengan perbuatan-perbuatan jelek lainnya.
   
  Demikianlah ulasan ini dan oleh karena Allah Subhanahu wa TaÂ’ala telah 
mentakdirkan kepada kita akan adanya mukhalif (orang-orang yang menyelisihi 
kebenaran), maka kami pun menempuh jalan “tashfiyah” (pemurnian Islam dari 
hal-hal yang tidak Islami), karena Allah Subhanahu wa TaÂ’ala telah mewajibkan 
kita untuk membantahnya sebagaimana telah saya jelaskan pada prinsip ini.
   
  Dan oleh karena Allah Subhanahu wa TaÂ’ala telah mencatat kemuliaan bagi para 
ulama dan orang-orang yang mengajarkan ilmu mereka sebagaimana yang telah kami 
jelaskan pada dua pilar sebelum pilar yang kelima ini, maka kamipun menempuh 
jalan tarbiyah (pembinaan generasi muslim di atas Islam yang telah 
dimurnikan,-pent) dan penjelasan tentang kedua hal ini tasfiyah dan tarbiyah 
akan datang sesudah prinsip ini.
   
  [Disalin dari kitabSittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, Edisi Indonesia 6 
Pilar Utama Dakwah Salafiyah, Penulis Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, 
Penerjemah Mubarak BM Bamuallim LC, Penerbita Pustaka Imam Asy-SyafiÂ’i]
  _________
  Foote Note
  [1]. Dari Anas bin Malik : Bahwasanya seorang Arab gurun kencing di masjid, 
maka para sahabat bangkit, (memarahinya), maka Rasulullah bersabda : “Janganlah 
kalian memutuskan kencingnya!” Lalu beliau menyuruh dibawakan seember air, 
kemudian dituangkan di atas tempat kencing tersebut” {HR Al-Bukhari no. 
6025],-pent
  [2]. Seperti pendidikan ala Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, JamaÂ’ah 
Islamiyah, Quthbiyyah (Para pengagum pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb 
rahimahullah), Sururiyyah (sebuah kelompok yang dipelopori oleh Muhammad Surur 
Zainal Abidin) dan lain-lainnya, -pent
  [3]. Majmuu ‘Al-Fatawaa 28/53-54
  [4]. Hadd adalah sangsi yang telah ditetapkan karena pelanggaran terhadap 
hak-hak Allah, seperti hadd zina, hadd menuduh orang berzina tanpa mendatangkan 
empat orang saksi, hadd pencurian, hadd karena minum-minuman keras dan 
setersunya, (Lihat Fiqh Sunnah II/317-318, cetakan Darul Kitab Al-Arabi, -pent)
  [5]. Majmuu Al-Fatawa wa Maqaalaat MutanawwiÂ’ah III/202-203, karya Asy-Syiakh 
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
   
  sumber http://www.almanhaj.or.id
   

 
---------------------------------
Need Mail bonding?
Go to the Yahoo! Mail Q&A for great tips from Yahoo! Answers users.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke