bismi-lLah wa-lhamdu li-lLah wa-shshalatu wa-ssalamu 'ala rasuli-lLah wa 'ala 
alihi wa ashhabihi wa ma-wwalah, amma ba'd, assalamu 'alaikum.

sekedar untuk ngabuburit azza nech.

Oleh: Adian Husaini


Pada 12 Oktober 2005, saya dengan Dr. Ugi Suharto, direktur eksekutif INSISTS, 
memberikan presentasi tentang Pluralisme Agama di empat lokasi di Bandung, 
yaitu di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Masjid Habiburrahman PT 
Dirgantara Indonesia, Masjid Ukhuwah, dan Masjid Salman Bandung. Ada beberapa 
masalah yang menarik untuk dicatat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada 
acara itu.

Pertama, rata-rata kaum Muslim yang hadir dalam acara tersebut belum memahami 
dengan baik, apa sebenarnya ide Pluralisme Agama. Itu bisa disimak saat acara 
acara bedah buku Dr. Anis Malik Toha, yang berjudul Tren Pluralisme Agama,( 
Gema Insani ) di UPI dan Masjid Salman Bandung. Karena itu, saat dipaparkan 
data-data dan teori tentang paham Pluralisme Agama, banyak yang mengaku sebagai 
hal baru bagi mereka.

Padahal, fatwa MUI sudah menjelaskan tentang definisi paham ini dengan lugas 
dan jelas. Yakni, menurut MUI, Pluralisme Agama adalah suatu paham yang 
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama 
adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim 
bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. 

Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup 
berdampingan di surga. Paham seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dan 
karenanya haram bagi kaum Muslimin untuk menganutnya.

Kedua, banyak hadirin yang terbengong-bengong menyimak profil para penganjur 
paham Pluralisme Agama. Banyak diantaranya yang lulusan perguruan-perguruan 
Tinggi Islam, bahkan ada doktor dan prosefor dalam bidang studi Islam. 

Di kalangan insinyur, mahasiswa bidang teknologi, dan para profesional yang 
hadir, sempat muncul pertanyaan, apa yang salah dengan orang-orang yang belajar 
agama sejak kecil itu? 

Mengapa kemudian mereka justru malah merusak keimanan mereka sendiri, dengan 
menyebarkan paham yang salah, dan malah menyebarkan pemahaman itu kepada 
masyarakat luas? Apa mereka tidak takut dosa?

Masalah ini sudah pernah kita bahas pada catatan-catatan sebelumnya. Bisa jadi, 
mereka memang salah berpikir, salah didik, atau “salah asuh”, sehingga merasa 
benar dalam kekeliruannya. 

Mereka kemudian lebih percaya kepada para orientalis dari kalangan non-Muslim 
dalam memandang ajaran Islam, ketimbang para ulama Islam yang ‘alim dan shalih. 
Allah sudah mengingatkan adanya fenomena semacam ini, yakni adanya 
manusia-manusia yang merasa telah bebuat sebaik-baiknya, padahal amal perbuatan 
mereka sesat. (QS 18:103-104).

Atau, bisa jadi juga, kekeliruan itu disebabkan karena para penyebar paham yang 
salah ini telah tergoda oleh hawa nafsu, dan dengan sengaja melepaskan 
pemahamannya terhadap kebenaran. Godaan dunia menjadi sebab utamanya. 

Kebetulan, paham Pluralisme Agama merupakan proyek yang sangat mudah menyedot 
dana dari lembaga-lembaga asing yang bergelimang uang. Para penyebar paham ini 
seperti tidak peduli dengan kerusakan berpikir dan kerusakan iman yang 
disebabkan oleh paham Pluralisme Agama. Allah SWT berfirman:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya 
ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka 
syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang 
yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan 
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan 
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika 
kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, 
dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang 
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka 
berfikir.” (QS 7:175-176)

Ketidakpahaman dan kerancuan tentang makna paham ini ditambah lagi dengan 
terbitnya tulisan-tulisan, buku-buku, dan ucapan di media elektronik dari 
banyak orang yang sengaja atau tidak justru mengaburkan makna paham ini 
sebenarnya. 

Belum lama ini, misalnya, ada sebuah buku yang terbit yang membahas tentang 
Pluralisme. Judulnya sangat indah: “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”. 
Penerbitnya adalah sebuah organisasi Islam dan Ford Foundation.

Di dalam buku ini kita bisa menyimak berbagai pemikiran pluralisme agama yang 
jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan aqidah Islam. Misalnya paham 
relativisme iman. Seorang penulis dalam buku ini mengajukan tiga gagasan 
relativisme yang bisa dijadikan dasar penghormatan dan penghargaan atas yang 
lain. Pertama, relativisme kultural. Dalam konteks ini, katanya, Islam adalah 
agama yang hanya cocok dengan kebudayaannya sendiri. Maka, manifestasi Islam 
mestinya ditampilkan, dikemas dan dilakukan umatnya tanpa harus memaksa yang 
lain mengikutinya. (hal. 58).

Penulis ini sangat menekankan kentalnya budaya Arab pada ajaran Islam. Dari 
beberapa contoh ritual Islam, katanya, terlihat betapa kentalnya nuansa dan 
pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam. “Hal ini mudah dimengerti, sebab 
wahyu Islam memang turun di Arab dan Pembawa Syariat juga seorang Arab. Dari 
sini bisa dikatakan bahwa Islam yang selama ini dipahami sebagai yang otentik 
atau orisinil tak lain adalah ekspresi lokalitas Arab tersendiri. Islam yang 
terbentuk di Semenanjung Arab adalah hasil dialektika dan pergulatan yang 
intensif antara Islam dan budaya lokal setempat.” (hal. 56).

Relativisme kedua yang diajukannya ialah relativisme epistemologis. Maksudnya, 
pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak 
dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya 
sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak 
lain adalah kebenaran sepihak. (hal. 58).

Sedangkan relativisme ketiga ialah relativisme teleologis. Maksudnya, dalam 
konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara 
jalan-jalan kebenaran yang lain… Artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya 
dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. 
Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan 
praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya 
situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran 
transendental. (hal. 58-59)

Paham relativisme seperti ini tentu saja menjadi masalah dalam konsep keimanan 
Islam yang menuntut taraf keyakinan dalam iman. Azyumardi Azra, dalam buku ini, 
juga mengungkap tentang konsep “Islams” (banyak Islam). Kata dia, Islam itu 
memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Kata Azra: “Memang secara 
teks Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, 
belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu 
kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (hal. 150).

Azra menunjuk pada contoh perbedaan pemahaman di antara para imam mazhab dalam 
memahami Al-Quran dan hadits. Ia juga menegaskan bahwa Al-Quran sekalipun bisa 
disebut punya bias kultural. “Kenapa Al-Quran harus dengan berbahasa Arab, 
bukan berbahasa Indonesia, bahasa Jawa? Dan ketika Al-Quran itu di-frame, 
disampaikan kepada manusia, dalam hal ini orang Arab, maka ketika itulah 
kerangka cultural Arab juga masuk.” (hal. 150-151).

Rektor UIN Jakarta ini menekankan adanya faktor budaya, sosial, lingkungan, dan 
sebagainya, yang akan mempengaruhi cara berpikir seseorang, termasuk dalam cara 
memahami Al-Quran. “Karena itulah,” katanya, “ketika kita mencoba memahami 
Islam, maka memahami Al-Quran akan ada perbedaan pemahaman yang tidak bisa 
dielakkan.” (hal. 151)

Dengan pemahaman relativisme pemikiran seperti ini, maka seseorang dapat 
terjebak kepada pemikiran relatif, nisbi, dan tidak yakin kepada kebenaran. 
Jika begitu, maka tidak ada Islam yang satu. Yang ada adalah “Islams” atau 
“Islam-Islam”, Islam yang banyak. Semuanya tergantung pada lingkungan kultural 
dan cara berpikir. Kebenaran adalah relatif, menurut tiap orang. Konsekuensi 
cara berpikir semacam ini, maka tidak ada tafsir Al-Quran yang qath’iy; 
semuanya relatif. Semuanya nisbi. Dengan begitu, maka tidak ada Islam yang satu.

Benarkah cara berpikir relativisme semacam itu? Tentu saja tidak benar dan 
jelas-jelas salah. Cara berpikir relativisme ini muncul dari cara pandang yang 
salah, yang menyamakan antara Islam – sebagai agama wahyu—dengan agama-agama 
lain yang tumbuh dari kultur manusia. 

Karena Islam adalah agama wahyu, maka tafsir dan pemahaman terhadap Islam dan 
al-Quran ada yang bersifat tetap (tsawabit) dan ada yang berubah 
(mutaghayyarat). Tafsir juga ada yang qath’iy dan ada yang zhanniy. Ada yang 
sama dan ada yang berbeda, tanpa pandang latar belakang kultural penafsir. 
Semua penafsir al-Quran akan sama dalam memahami dan menafsirkan ayat `Qul 
huwallaahu ahad`. 

Bahwa, Allah adalah satu. Bukan tiga, atau tiga dalam satu. Semua mufassir akan 
memahami QS 2:183 sebagai dasar kewajiban menjalankan shaum Ramadhan. Bahwa, 
puasa Ramadhan adalah wajib. Semua mufassir – apa pun latar belakang kebangsaan 
dan budayanya – akan sama dalam memahami QS 60:10, bahwa seorang Muslimah 
memang haram menikah dengan laki-laki non-muslim. Para mufassir, baik dari Jawa 
maupun Rusia, akan sama dalam pemahamannya, bahwa ibadah haji harus dilakukan 
di Tanah Suci, bukan di Surabaya atau Moskwa.

Jadi, pemahaman bahwa Islam adalah banyak (Islams), adalah pemahaman yang 
keliru. Islam adalah satu. Syahadatnya satu, Al-Quran-nya satu, Nabi-nya satu, 
dan rukun iman dan rukun Islamnya satu. Di luar yang satu itu, tidak termasuk 
Islam. Jika ada orang yang mengaku Islam, tetapi tidak mengakui kewajiban 
shalat lima waktu atau menyatakan bahwa Al-Quran adalah karangan Nabi Muhammad 
saw, maka pendapatnya itu jelas-jelas pendapat kufur. 

Karena itu, sepanjang sejarah Islam, masalah perbedaan kultural tidaklah 
dijadikan sebagai hal yang signifikan. Para mufassir dan ulama Islam dari 
berbagai belahan dunia memahami Al-Quran dengan cara yang sama untuk hal-hal 
yang pokok dalam Islam. Imam Bukhari bukanlah orang Arab, tetapi cara 
pemahamannya terhadap Islam sama dengan Imam Syafii yang Arab. Al-Quran sendiri 
menegaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk 
orang Arab saja.

Menyatakan bahwa Islam itu banyak, dengan contoh perbedaan fiqhiyyah di 
kalangan Imam Mazhab adalah contoh yang mengelirukan. Para Imam mazhab memang 
berbeda dalam hal furuiyyah, tetapi mereka tidak pernah berbeda tentang hal-hal 
yang pokok. Aqidah mereka sama. 

Tidak ada yang meragukan otentisitas Al-Quran sebagai wahyu Allah. Tidak ada 
yang menyatakan bahwa haji bolah dikerjakan kapan saja. Tidak ada yang 
menyatakan, muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. 

Karena itu, seharusnya, para cendekiawan berpikir dan bersikap jujur dalam 
menyampaikan pemikirannya. Jangan memutar balikkan fakta dan menjerumuskan 
masyarakat dalam pemikiran yang salah. 

Kita sekali lagi mengingatkan, agar para cendekiawan yang mengelirukan umat 
Islam sadar dan bertobat. Sebab, tanggung jawab mereka sangat besar, di dunia 
dan akhirat. Mereka bukan hanya salah untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan 
menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pendapatnya.

Dengan contoh-contoh pendapat relativisme Islam tersebut, kita dapat menyimak, 
bagaimana maraknya paham ini disebarkan oleh para pakar dan orang-orang yang 
seharusnya memahami agama dengan baik. 

Siti Musdah Mulia, dalam buku yang sama, juga menyatakan, bahwa interpretasi 
manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka, 
sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. (hal. 233).

Di sini kita lagi-lagi melihat, paham relativisme kebenaran menjadi landasan 
penyebaran paham Pluralisme Agama. Di dalam Al-Quran surat 16 :125, kita 
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyeru manusia ke jalan Allah, dengan 
hikmah, mauidhatil hasanah, dan bermujadalah dengan cara yang lebih baik. 
Rasulullah saw juga banyak memerintahkan kepada kita agar melaksanakan amar 
makruf nahi munkar. 

Sebelum menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka tentunya, syarat pertama 
adalah memahami mana jalan Allah, dan mana jalan setan; mana yang makruf dan 
mana yang munkar.

Jika Rasulullah saw dan para Wali Songo dulu menganut paham Pluralisme Agama, 
sudah tentu Islam tidak akan sampai ke Nusantara. Sebab, agama-agama yang sudah 
ada dianggap benar, dan tidak perlu menyebarkan Islam lagi. Padahal, faktanya 
tidaklah demikian. Nabi Muhammad saw memberi contoh, bagaimana gigihnya beliau 
menyeru umat manusia agar beriman kepada Allah Yang Ahad, dan beriman kepada 
kenabian dan kerasulannya. Wallahu a’lam. (Balikpapan, 14 Oktober 2005).

Leo Imanov
[EMAIL PROTECTED]
[EMAIL PROTECTED]
[EMAIL PROTECTED]
[EMAIL PROTECTED]
http://www.imanov.jeeran.com


_____________________________________________________________
--------------------------------
Get Your Free Exclusive E-mail !
Go to http://www.myquran.com 
Indonesian Muslim Portal
--------------------------------------




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke