Al Imam Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah   
  Penulis: Al Ustadz Zainul Arifin
   
  Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di 
daerah Khurasan.
  Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja 
beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak 
ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
  Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang 
penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab 
mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
  Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau 
berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang 
orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau 
adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau 
tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, 
tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:
   
  أَلَمْ 
يَأْنِ 
لِلَّذِيْنَ 
آمَنُوا أَنْ 
تَخْشَعَ 
قُلُوْبُهُمْ
 لِذِكْرِ 
اللهِ وَماَ 
نَزَلَ مِنَ 
الْحَقِّ 
وَلاَ 
يَكُوْنُوا 
كَالَّذِيْنَ
 أُوْتُوا 
الْكِتاَبَ
 مِنْ قَبْلُ 
فَطاَلَ 
عَلَيْهِمُ 
اْلأَمَدُ 
فَقَسَتْ 
قُلُوْبُهُمْ
 وَكَثِيْرٌ 
مِنْهُمْ 
فاَسِقُوْنَ
   
  “Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati 
mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun 
(kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah 
turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka 
lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang 
fasiq.” (Al Hadid: 16)
  Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. 
Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada 
malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, 
tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka 
berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus 
sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka 
beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani 
kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ 
ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan 
agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat 
kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
  Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari 
ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta 
Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di 
Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil 
mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau 
gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan 
makanan beliau dan keluarganya.
  Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari 
para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari 
Abdullah bin Al-Mubarak.
  Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga 
karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias 
agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
  Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.
  (Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)
   
  sumber : www.asysyariah.com
   
  ==============='
   
    Abu Amru Abdurrahman Al-Auza’i Syaikhul Islam, Seorang Ulama dari Syam
  Siapakah al-Auza’i? dan Bagaimana Nasabnya?
   
  Beliau adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad al-Auza’i 
ad-Dimasyqi, beliau adalah ulama dari Syam yang kemudian berpindah ke ke Beirut 
sampai wafatnya, yang mendapat julukan Syaikhul Islam.
   
  Beliau lahir tatkala sebagian para sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam 
masih hidup. Al-Auza’i merupakan nisbat kepada sebuah desa yang terkenal di 
kota Hamadan, Damsyiq yang bernama Al-Auza’. Beliau lahir pada tahun 88 H, 
dikenal sebagai orang yang baik, utama, memiliki banyak ilmu, baik dalam bidang 
hadits maupun fikih, dan ucapan beliau dipakai sebagai hujah. 
   
  Bagaimana Masa Mudanya?
   
  Al-Abbas bin al-Walid bercerita bahwa guru-gurunya berkata, bahwa al-Auza’i 
bercerita, “Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku 
bermain-main dengan anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal 
sebagai seorang syaikh yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika 
melihatnya, sedangkan aku tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya 
kepadaku, “Kamu anak siapa?”; maka saya menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, 
“Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.” Lalu dia mengajakku 
kerumahnya, dan tinggal bersamanya sehingga aku baligh. Dia mengikutsertakan 
aku dalam dewan (kantor/mahkamah pengadilan) untuk bermusyawarah dan juga 
ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Tatkala aku sampai di Yamamah, aku 
masuk ke dalam masjid jami’. Pada waktu keluar masjid ada seorang temanku 
berkata kepadaku, “Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah seorang ulama 
Yamamah) kagum kepadamu; dan dia mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di antara 
para
 utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!’” 
Al-Auza’i berkata, “Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya 
hingga 14 atau 13 buku, kemudian terbakar semuanya.” Beliau adalah orang yang 
pertama kali menulis buku ilmu di Syam. 
   
  Beliau adalah orang yang menghidupkan malamnya dengan shalat lail, membaca 
al-Qur’an dan menangis. Bahkan sebagian penduduk kota Beirut bercerita bahwa 
pada suatu hari ibunya memasuki rumah al-Auza’i dan memasuki kamar shalatnya, 
maka dia mendapati tempat shalatnya basah karena air mata tangisan malam 
harinya.
   
  Siapa Guru-Gurunya ?
   
  Beliau banyak belajar kepada para tabi’in (yaitu orang-orang yang 
menuntut/menerima ilmu langsung dari para sahabat Rasululloh). Di antaranya 
adalah: Atha’ bin abi Rabbaah, Abu Ja’far al-Baaqir, Qatadah, Bilal bin Sa’ad, 
Az-Zuhri, Yahya bin Abu Katsir, Ismail bin Ubaidillah bin Abul Muhajir, Muth’im 
bin al-Miqdam, Umar bin Hani’, Muhammad bin Ibrahim, Salim bin Abdulloh, Syadad 
abu Ammar, Ikrimah bin Khalid, ‘Alqomah bin Martsad, Muhammad bin Sirin, 
Mauimun bin Mihran, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan masih banyak lagi dari para 
Tabi’in dan yang lainnya.
   
  Al-Abbas anak dari al-Waliid bercerita, “Tidaklah saya mengetahui keheranan 
ayahku terhadap sesuatu di dunia ini, sebagaimana keheranannya terhadap 
al-Auza’i. Dahulu al-Auza’i adalah anak yatim lagi miskin yang berada dalam 
pengasuhan ibunya. Beliau sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah 
lainnya. ‘Wahai anakku,’ –lanjut ayahnya– raja-raja tidak mampu menjadikan 
dirinya orang yang beradab dan tidak juga anak-anaknya; sedangkan al-Auza’i 
melatih dirinya untuk beradab. Tidaklah satu kalimat yang didengar darinya 
melainkan dijadikan hujah bagi orang yang mendengarnya untuk menetapkan sesuatu 
darinya; dan apabila menasehati manusia tentang hari kiamat, –maka aku berkata 
pada diriku sendiri–, ‘Apakah engkau tidak melihat di dalam majelisnya hati 
yang tidak menangis?”
   
  Siapakah Murid-Muridnya?
   
  Amat banyak penuntut ilmu yang belajar kepada beliau. Di antara murid-murid 
yang meriwayatkan dari beliau, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Syu’bah, Sufyan 
ats-Tsauri, Yunus bin Yazid, Malik, Ibnul Mubarok, Abu Ishaq al-Fazari, Yahya 
al-Qadhi, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Katsir, Muhammad bin Syu’aib dan 
masih banyak lagi.
   
  Bagaiman Perkataan Para Ulama Tentang al-Auza’i?
   
  Ummayyah berkata, “Sungguh telah terkumpul pada diri al-Auza’i sebagai ahli 
ibadah, berilmu dan perkataan yang benar.”
   
  Imam Malik berkata, “Al-Auza’i adalah seorang imam yang diikuti”. Dan tatkala 
ats-Tsauri dan al-Auza’i keluar dari majelis; Imam Malik berkata, “Salah satu 
dari keduanya itu lebih banyak ilmunya dari temannya. Dan salah seorang dari 
keduanya tidak pantas menjadi Imam dan satunya lagi pantas menjadi Imam 
(maksudnya al-Auza’i).” 
   
  Ibnul Mubarok berkata, “Kalau saya disuruh memilih pemimpin untuk umat ini, 
maka saya akan memilih Sufyan ats-Tsauri dan al-Auza’i. Dan jika disuruh 
memilih di antara keduanya, maka saya akan memilih al-Auza’i karena dia lebih 
lembut.” Hal seperti ini juga dikatakan Abu Usamah.
   
  Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Manusia pada zaman mereka merujuk kepada 
empat orang: Hamad bin Zaid di Bashrah, Sufyan ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik 
di Hijaz dan al-Auza’i di Syam.
  Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah saya melihat seorang laki-laki yang ilmu 
fiqihnya sebagaimana ilmu haditsnya daripada al-Auza’i”.
  Sekretaris al-Manshur berkata, “Tatkala al-Manshur diberi kitab-kitab karya 
al-Auza’i maka kami kagum terhadap kitab-kitabnya. Al-Manshur tidak sanggup 
menyalin sendiri kitab-kitab al-Auza’i, Karenanya disalinkan untuknya beberapa 
buku, kemudian diberikan kepadanya. Maka dia banyak memperhatikan isinya dan 
memuji kebagusan ungkapan-ungkapan yang digunakan Al-Auza’i.”
   
  Al-Walid bin Muslim bercerita, “Saya bersemangat sekali mendengarkan ilmu 
dari al-Auza’i. Sehingga aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan al-Auza’i 
berada di sampingnya. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah, “Kepada siapa 
aku harus mengambil ilmu?” Kemudian Rasululloh menjawab, “Kepada lelaki ini” 
sambil menunjuk ke arah al-Auza’i. Dan tidaklah aku melihat seseorang yang 
lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dari al-Auza’i.
   
  Bagaimana Pengajaran al-Auza’i?
   
  Abu Ishaq al-Fazari meriwayatkan dari al-Auza’i, ada 5 perkara yang para 
sahabat konsisten di dalamnya, yaitu senantiasa berjamaah (tidak berpecah 
belah), mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca al-Qur’an dan berjihad fi 
sabilillah.”
   
  Bisyr bin Bakar bertanya kepada al-Auza’i, “Wahai Abu Amru (kunyah dari 
al-Auza’i), seorang lelaki mendengarkan hadits dari Nabi yang terdapat 
kesalahan di dalamnya, apakah harus membenarkan dengan bahasa Arab?” Beliau 
menjawab, “Ya, karena Rasulullah tidaklah berbicara kecuali dengan bahasa Arab. 
Dan tidak mengapa memperbaiki kekeliruan dan kesalahan dalam hadits”.
   
  Al-Auza’i ditanya perihal khusyu’ di dalam shalat, beliau menjawab, 
“Menundukkan pandangan, merendahkan diri di hadapan Alloh, melunakkan hati 
yaitu takut kepada Allah”.
   
  Al-Auza’i berkata, “Barangsiapa yang lebih banyak mengingat kematian maka 
kehidupan cukup mudah baginya (mencari bekal dengan beramal shalih). Dan 
barangsiapa berucap dengan ilmunya maka dia akan sedikit bicara.”
  Al-Auza’i berkata, “Barangsiapa yang lama dalam shalat malam, maka Allah akan 
memudahkan urusannya dan menaunginya pada hari kiamat”.
  Muhammad bin al-Auza’i berkata, ayahku menasehatiku, “Wahai anakku, 
seandainya kita menerima setiap yang dikatakan manusia, maka hampir-hampir 
mereka itu menghinakan kita”.
   
  Al-Walid mendengar al-Auza’i berkata, “Wajib atasmu untuk berpegang teguh 
dengan atsar (teladan) para salaf meskipun manusia menjauhimu. Dan jauhilah 
kebanyakan pendapat orang-orang meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan 
yang indah. Sesungguhnya perkara yang benar itu akan nampak/jelas dan kamu 
berada di dalam jalan yang lurus.”
  Al-Auza’i memberi nasehat kepada Baqiyah bin al-Walid, “Wahai Baqiyah, 
janganlah kamu menyebut/membicarakan salah seorang dari sahabat Nabi kecuali 
kabaikannya. Wahai Baqiyah, ilmu itu apa-apa yang datang dari sahabat Nabi, 
maka yang datang dari selain mereka bukan merupakan ilmu”. Dan berkata, “Tidak 
akan terkumpul kecintaan Ali dan Utsman kecuali hanya pada diri seorang Mu’min.”
   
  Muhammad bin Katsir mendengar al-Auza’i berkata, “Kami – dan para tabi’in – 
berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu berada di atas Arsy-Nya, kita beriman 
sebagaimana berita tersebut datang dalam sunnah tentang sifat-sifat-Nya’”.
  Al-Walid bin Mazid mendengar al-Auza’i berkata, “Apabila Allah menghendaki 
suatu kaum kejelekan, maka Allah akan membukakan baginya pintu berdebat dan 
enggan untuk beramal.” Dan juga berkata, “Sesungguhnya orang Mu’min itu sedikit 
bicara banyak beramal dan orang munafiq itu banyak bicara dan sedikit beramal.”
   
  Abdullah bin Ali adalah raja yang zalim, banyak menumpahkan darah, keras 
kepala, meskipun demikian, Imam al-Auza’i tetap berani dalam menyampaikan 
kebenaran sebagaimana yang kalian saksikan. Tidak sebagaimana akhlaq para ulama 
jahat yang menganggap baik sesuatu perkara di hadapan pimpinannya meskipun 
perkara tersebut kezaliman dan sia-sia, mereka membalik yang batil menjadi haq 
–- semoga Allah membinasakan mereka-– atau mereka diam (terhadap kemungkaran) 
meskipun sebenarnya mampu menyampaikan kebenaran.
   
  Al-Manshur meminta al-Auza’i menuliskan nasehat untuknya. Maka beliau 
menulis, “Ammaa ba’du, wajib atasmu untuk bertaqwa kepada Allah, bertawadhu’lah 
maka Allah akan mengangkatmu pada hari di mana Allah akan merendahkan 
orang-orang yang sombong di dunia tanpa haq…”
  Muhammad bin Syu’aib mendengar Al-Auza’i berkata, “Barang siapa memanfaatkan 
ketergelinciran ulama, maka dia akan keluar dari agama Islam.”
  Al-Auza’i berkata, “Tidaklah seseorang membuat bid’ah melainkan akan hilang 
kewara’annya.” [Wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal yang dilarang dan 
sia-sia.]
   
  Ibnu Mazid mendengar al-Auza’i berkata, “Celakalah orang yang belajar dan 
faham agama Islam tanpa amal ibadah, dan celaka pula orang yang menghalalkan 
keharaman dengan syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan).”
  Muhammad bin Abdul Wahab bercerita, “Saya dan teman-teman sedang bersama Abu 
Ishaq al-Fazari. Lalu ada seseorang menyebut-nyebut tentang al-Auza’i. Maka 
beliau berkata, ‘Dia adalah seorang lelaki yang sungguh ajaib keadaannya. Jika 
ditanya tentang suatu perkara yang di sana ada atsar (ungkapan dan pendapat 
para sahabat dan dua generasi sesudahnya), maka dia menjawab sebagaimana dalam 
atsar tersebut. Dia tidak mendahului atsar tersebut dan tidak pula 
mengeyampingkannya.’”
  Al-Auza’i ditanya tentang pakaian berwarna hitam, maka beliau menjawab, 
“Janganlah dipakai untuk berihram, jangan pula untuk mengkafani mayit, dan 
jangan dipakai pada waktu pesta pernikahan.”
   
  Kapan Wafatnya?
   
  Muhammad bin Ubaid sedang bersama Sufyan ats-Tsauri ketika datang seorang 
laki-laki, dia berkata, “Saya bermimpi raihanah (tumbuhan berbau harum) yang 
berasal dari daerah Maghrib diangkat” Mendengar hal itu Sufyan ats-Tsauri 
menimpali, “Jika mimpimu benar maka sungguh al-Auza’i telah wafat.” Maka mereka 
menulis surat menanyakan hal itu, dan ternyata memang benar demikian.
   
  Sebab kematiannya, bahwa setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya mengecat 
sesuatu dengan cat berwarna, kemudian masuk kamar mandi yang ada di rumahnya; 
sementara istrinya masuk bersamanya dengan membawa tabung yang berisi arang 
agar beliau tidak kedinginan di dalamnya. Istrinya menutup pintu kamar mandi 
tersebut. Ketika asap arang itu menyebar, beliau menjadi lemas. Beliau berusaha 
membuka pintu, tetapi tidak bisa. Kemudian beliau terjatuh, dan kami 
menemukannya dalam keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat.
   
  Abu Mushir berkata tentang kematian al-Auza’i, bahwa ketika dia berada 
dikamar mandi, istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut tanpa sengaja, 
sehingga hal itulah yang menjadi penyebab kematiannya. Karenanya Sa’id bin 
Abdul Aziz memerintahkan istri al-Auza’i untuk membebaskan seorang budak.
   
  Al-Auza’i tidak meninggalkan harta warisan melainkan uang sebanyak 6 dinar. 
Beliau meninggal pada tahun 153 H, dan kebanyakan ulama berkata bahwa beliau 
meninggal pada tahun 157 H di bulan Shafar. 
   
  Diambil dari majalah Fatawa.
   
  ==============='
   
  Al Qosim bin Muhammad Tabi'in Amanah dari Madinah
   
  Penulis : Al Ustad Ahmad Hamdani 
   
   
  Al-Qasim yang banyak meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Abu 
Hurairah dan Aslam -bekas budak Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma-, merupakan 
seorang tabi’in yang tsiqah (amanah). Wajar jika kemudian ‘Umar bin Abdul ‘Aziz 
yang dikenal sebagai khalifah kelima yang adil, tertarik akan keamanahannya. Ia 
berkata, “Seandainya aku punya sedikit kekuasaan, aku akan jadikan Al-Qasim 
sebagai khalifah.” Al-Qasim kecil sabar menjalani takdir Allah sebagai anak 
yatim dalam tarbiyah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Aisyah 
radhiallahu 'anha.
  Al-Qasim, yang menurut Abdullah bin Az-Zubair radhiallahu 'anhuma adalah cucu 
Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu 'anhu yang paling mirip dengan kakeknya ini, 
mengatakan: “‘Aisyah adalah seorang mufti wanita dari jaman Abu Bakar, ‘Umar, 
‘Utsman dan seterusnya sampai ia meninggal. Aku senantiasa bersimpuh menimba 
ilmu darinya dan juga duduk belajar kepada Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu 
‘Umar”. Ini adalah ungkapan yang mengisyaratkan antusiasnya terhadap ilmu din 
(agama) meskipun menanggung beban hidup berat sebagai anak yatim.
  Ayyub, salah seorang ulama hadits, berkata, “Aku tidak melihat seorang pun 
yang lebih utama darinya. Ia tidak mau mengambil uang yang halal untuknya 
senilai seratus ribu dinar”. Ini adalah ungkapan seorang alim yang menunjukkan 
sifat wara’ dan keutamaan Al-Qasim. Bahkan kehati-hatiannya dalam berfatwa, ia 
katakan sendiri, “Seseorang hidup dengan kebodohan setelah mengetahui hak 
Allah, lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa-apa yang ia tidak 
mengetahuinya.”
  Adapun ketinggian ilmunya dinyatakan oleh beberapa ulama, di antaranya: 
  Anaknya, Abdurrahman bin Al-Qasim, berkata, “Ia adalah manusia paling utama 
di jamannya.” Abdurrahman bin Abiz-Zinad berkata, “Aku tidak melihat seorang 
yang lebih tahu tentang As Sunnah daripada Al-Qasim bin Muhammad, dan seseorang 
tidak dianggap lelaki hingga ia mengetahui As Sunnah, tak seorang pun yang 
lebih jenius akalnya darinya.” Khalid bin Nazar (menceritakan, red) dari Ibnu 
‘Uyainah, katanya: “Orang yang paling mengetahui hadits ‘Aisyah ada tiga: 
Al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az-Zubair, dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman.” 
  Ia pun memiliki banyak hikmah yang ia ucapkan. Al-Imam Malik berkata, 
“Al-Qasim didatangi seorang penguasa Madinah yang akan menanyakan sesuatu, lalu 
Al-Qasim berkata, ‘Berkata dengan ilmu termasuk memuliakan diri sendiri’.” 
Al-Qasim juga berkata, “Allah menjadikan (bagi) kejujuran, (dengan) kebaikan 
yang akan datang sebagai ganti dari-Nya”. 
  Sebelum meninggal, Al-Qasim berwasiat kepada salah seorang anaknya, 
“Ratakanlah kuburku dan taburilah dengan tanah serta janganlah kamu 
menyebut-nyebut keadaanku demikian dan demikian.”
  Al-Qasim, seorang tokoh tabi’in besar yang buta matanya di akhir 
kehidupannya, wafat pada masa kekhalifahan Yazid bin Abdil Malik bin Marwan, 
dalam usia 71 tahun. Tepatnya pada tahun 107 H, sewaktu menunaikan ibadah 
‘umrah bersama Hisyam bin Abdil Malik di perbatasan antara kota Madinah dan 
Makkah.
  Walllahu a’lam.


 
---------------------------------
Need a quick answer? Get one in minutes from people who know. Ask your question 
on Yahoo! Answers.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke