Curhat Pesohor dari Jatinangor

IPDN UNDERCOVER: SEBUAH KESAKSIAN BERNURANI
Penulis: Inu Kencana Syafiie
Penerbit: Progressio, Syaamil Group, Bandung, April 2007, 282 halaman

Sejak kematian praja Wahyu Hidayat tahun 2003 hingga Cliff Muntu belum lama
ini, Inu Kencana Syafiie menjadi rujukan banyak media. Dosen IPDN itu
terkenal vokal membeberkan banyak borok yang terjadi di institusi tempat ia
mengabdi. "Semua media nasional sampai Al-Jazeera pernah mewawancarai saya,"
katanya. Tak pelak, ia menjadi pesohor.

Tapi Inu tidak memanfaatkan ketenarannya untuk menjadi penyanyi dangdut atau
pengusaha kuliner. Dosen kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 14 Juni 1952,
ini menulis dan menerbitkan buku. Sudah 42 buku ia tulis, rata-rata text
book untuk perkuliahan di IPDN. Kini Inu mencurahkan isi hati lewat buku
teranyarnya: IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani, Curhat Ala Inu
Kencana Syafiie.

Buku ini adalah kumpulan tulisan Inu dari tahun 2003 hingga 2007. "Beberapa
pihak menyuruh saya tutup mulut. Mereka membuat kontra-isu bahwa saya
mencari popularitas, mencari uang, jabatan, sensansi, dan lain-lain. Saya
ingin menjelaskan pada dunia bahwa semua ini berangkat dari hati nurani,"
kata suami Indah Setriyati itu.

IPDN Undercover menjadi rujukan yang sangat mumpuni mengenai sejumlah
kejadian di IPDN. Ia menulis saat publik mulai tersentak dengan kematian
praja asal kontingen Jawa Barat, Wahyu Hidayat, pada 2003. Dimulai dari
kejadian pada Agustus 2006. Waktu itu, IPDN akan mewisuda prajanya yang
telah lulus. Inu membaca daftar nama wisudawan.

Inu kaget bukan main karena dalam daftar itu tercantum nama-nama praja yang
telah melakukan tindak kekerasan terhadap Wahyu Hidayat. Inu gerah. Malam
sebelum wisuda, ia nekat menelepon Presiden SBY melalui juru bicara
kepresidenan, Andi Mallarangeng. "Saya minta izin untuk membeberkan fakta
tentang calon wisudawan yang seharusnya ada di balik terali besi untuk
mempertanggungjawabkan kasus pembunuhan," kata Inu.

Melalui Andi pula, presiden memberi izin. Lantas Inu pun membeberkan fakta
curang itu kepada wartawan. Keesokan harinya, di berbagai media terbit
berita berjudul kontroversial: "Presiden Melantik Narapidana". Karena
"ulahnya" itu, Inu disidang oleh para petinggi IPDN. "Saya dianggap
menjelek-jelekkan almameter," paparnya.

Dari tulisan-tulisan dalam buku ini tergambar filsafat hidup dan sejarah
terbentuknya karakter "nekat" dalam diri ayah tiga anak itu. Ketika ia
menggambarkan momen kala jenazah Wahyu Hidayat keluar gerbang IPDN, yang
kala itu masih bernama STPDN. Tak ada raut sedih dari warga IPDN. "Banyak
orang yang malah tertawa," tulisnya.

Inu lantas bertanya-tanya, "Di mana letak keadilan? Jika kasus Wahyu Hidayat
dilupakan dan para pembunuhnya dibiarkan berlaku seenaknya," katanya. Tak
hanya itu. Inu juga membeberkan rentetan fakta menyimpang "di bawah
permukaan" IPDN. Soal seks bebas dan narkoba. Ia tak sungkan pula
membeberkan tingkah laku para dosen serta praja dalam bab berjudul
"Membongkar Kasus STPDN" --bagian yang agaknya paling menarik dari buku ini.

Dalam buku ini, Inu, misalnya, bercerita soal praja yang membawa kabur istri
orang. Kejadian itu berlangsung di Pandeglang saat para praja melakukan
bakti karya praja. Dosen yang kerap memutar musik saat mengajar ini pun tak
jengah mengungkapkan soal pesta seks para praja dengan mengundang PSK alias
pekerja seks komersial. Inu juga menyentil seorang dosen IPDN, yang kabarnya
menjadi bintang VCD porno! Parahnya, dosen tersebut sempat duduk di Komisi
Disiplin IPDN. Dekadensi moral oknum warga IPDN itu sempat membuatnya
kehilangan kesabaran.

"Hancurkanlah sekolah ini, ya Allah, dan ganti dengan yang lebih baik."
Begitu ia berdoa. Doanya pun terjawab. Pemerintah, sejak kasus Cliff Muntu
mencuat, menerjunkan tim evaluasi yang dipimpin Ryaas Rasyid. Aparat
kepolisian menetapkan banyak pihak menjadi tersangka kematian Cliff. Bahkan
polisi berjanji menangkap para praja yang melakukan kekerasan dan
ditayangkan sejumlah televisi.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke