Masihkah Kita Lupa Berdoa?
      19 Jan 07 16:34 WIB
      
  Oleh DH Devita
       
       
      Kadang kita tidak menyadari, betapa malasnya diri kita untuk  selalu 
      meminta pada-Nya. Atau mungkin ada saat-saat tertentu di  mana kita 
      tidak merasakan perlunya pertolongan dan perlindungan  dari-Nya.
       
      Ada  saat-saat tertentu di mana kita merasa ‘aman-aman’ saja dengan 
      sejumlah kenikmatan duniawi yang telah kita rengkuh. Pada  saat itu, 
      kita tak lagi peduli akan orang lain, keluarga, dan  orang-orang terdekat 
kita. 
      Memang sudah tabiat manusia yang hanya akan ingat pada  Rabb-nya 
      ketika ia merasakan susah saja. Memang sudah tabiat manusia  yang cepat 
      lupa akan perintah-Nya untuk selalu bersyukur dan  memanjatkan doa.
       
      Dan ketika musibah atau hal yang tak diinginkan itu datang,  barulah 
      kemudian sesal berkepanjangan. Bahkan mungkin mengutuk diri  yang 
      lalai akan kewajiban mengingat-Nya, dan mendoakan  keselamatan diri 
      serta orang-orang yang dicintai.
       
      Ada  seseorang yang Allah memberikan sebuah kelebihan padanya, 
      yaitu setiap kali ia memanjatkan doa, apa yang ia pinta dalam  waktu 
      tak lama terkabul. Ia memang selalu mensyukuri kemudahan  yang telah
      Ia berikan tersebut, dan memang ia adalah seseorang yang  bisa dikatakan 
      bukan seseorang yang awam dalam hal pengetahuan agama. Tapi  sekali lagi, 
      bicara tentang keimanan tak cukup hanya sampai di situ.
       
      Keimanan mendalam adalah sebuah konsistensi ibadah, yang  dihayati 
      sepenuh jiwa, berlandaskan sebuah kepahaman yang utuh. Dan  melalui 
      ujian-ujian lah seseorang bisa mendapatkan predikat  ‘mukmin’. Juga 
      seperti yang Rasulullah sabdakan, bahwa keimanan yang  bercokol 
      di tiap hati seorang muslim pasti ada kalanya naik dan  turun. 
      Itulah yang akan menguji konsistensi seseorang dan  mujahadah-nya 
      dalam menjaga stabilitas iman.
       
      Seseorang ini pun hanyalah seorang hamba yang sama lemahnya 
      dengan manusia-manusia lainnya. Kala ia merasa berada di  titik ‘aman’ 
      tersebut, maka ia kerap kali lupa untuk menjaga  konsistensinya dalam 
      memanjatkan doa. Padahal, kepada siapa lagi kita bisa  meminta? 
      Dan bukankah Allah menyukai hamba-hamba-Nya yang selalu 
      mendekatkan diri pada-Nya?
       
      Akhirnya, ujian-ujian kecil pun Allah turunkan, seseorang  ini 
mendapatkan 
      sebuah permasalahan yang cukup mengguncangkan hatinya. Dan  ketika 
      itulah ia menyadari kekhilafannya untuk mendekatkan diri dan  berdoa pada 
      Sang Pemilik Jiwa. Karena sesungguhnya segala nikmat adalah  datang 
      dari-Nya, demikian pula hal-hal yang bisa jadi tidak kita  sukai yang 
menimpa 
      diri kita. Karena sesungguhnya keduanya harus selalu kita  syukuri, sebab 
      itulah yang akan menjadi alat ujian, apakah kita lolos dan  berhasil 
      mendapatkan predikat ‘mukmin’ atau tidak.
       
      Dan seseorang ini pun, seperti yang sudah-sudah, akhirnya  kembali 
      merapatkan hatinya untuk bersimpuh pada Allah. Melantunkan  kembali 
      doa-doa panjangnya, berharap sesuatu yang sedang menimpanya  akan diganti 
      dengan sesuatu yang lebih baik. Kembali berharap bahwa Allah  akan 
      mengabulkan pintanya kali ini, dengan keyakinan bahwa Allah  akan 
      selalu mengabulkan doa hamba-Nya yang meminta. Namun akankah  
      keadaan ini berulang sepanjang hidupnya? Bahwa ketika ia  kembali dalam 
      posisi ‘aman’ lantas ia melalaikan diri dari Rabb-nya?
       
      Seseorang yang saya contohkan tersebut bisa jadi adalah  gambaran diri 
      kita sehari-hari. Mungkin bisa saja kita berkilah bahwa  lalai dan lupa 
      adalah memang tabiat manusia, dan kemudian kita memaafkan  diri kita 
      yang tak sanggup mengerahkan segenap kekuatan hati kita  untuk berteguh 
      dalam beribadah pada-Nya. Atau memang sudah menjadi tabiat  diri kita 
      yang menyepelekan sebuah untaian doa, menganggap bahwa ia  tak sebanding 
      dengan ibadah lainnya yang (sepertinya) sudah kita lakukan.
       
      Suatu ketika Aisyah ra. mendapati Rasulullah SAW yang  mendirikan 
      qiyamullail hingga bengkak-bengkak kedua kakinya. Nurani  kita 
      mungkin mengatakan bahwa perbuatan tersebut melampaui  kemampuan 
      fisik seorang manusia. Namun seorang Muhammad yang sudah  dijanjikan 
      surga serta dihapus segala dosanya saja bisa mengatakan,  “Apakah aku 
      tak boleh mewujudkan rasa syukurku pada-Nya?”
       
      Lantas, bagaimanakah dengan diri kita yang tak pernah lepas  dari 
      dosa serta masih harus berharap cemas akan tempat kita di  surga? 
      
  Saya rasa, seseorang yang saya ceritakan di atas patut mensyukuri 
      bahwa Allah masih berkenan untuk ‘mengingatkannya’ dengan 
      memberikan ujian-ujian kecil ketika ia lupa untuk  mendekatkan 
      diri pada-Nya.
       
      Bagaimana pula bila Allah tak lagi peduli dan membiarkannya 
      tenggelam dalam kenikmatan dunia, sedangkan tak ada sedikit  pun 
      keridhaan Allah padanya? Sungguh, dunia dan segala isinya  tak ada 
      artinya dibandingkan menjadi bagian dari orang-orang yang  diridhai 
      dan dicintai Allahu Rabb al-‘Alamin.
       
      DH Devita dh_devita at yahoo dot com  http://www.ayyasykecil.blogspot.com
    
  
    
  
    
 
---------------------------------
Sucker-punch spam with award-winning protection.
 Try the free Yahoo! Mail Beta.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke