Sabar Menyikapi Takdir
  29 Apr 07 20:14 WIB
   
  Oleh Sya2

  Pada sore hari yang mendung, aku duduk membaca berita dari 
  surat kabar pagi yang baru sempat dibaca sore harinya. Sedih, 
  membaca cerita ada orangtua yang hendak membunuh anaknya 
  dengan alasan karena mereka hidup miskin. Sambil beristigfar hatiku 
  berbisik lirih, ternyata kemiskinan telah membutakan mereka membawa
  mereka menjadi orang yang kufur bahkan bisa menjadi kafir. Naudzubillah.
   
  Dari kejauhan terdengar suara bapak penjual gorengan berteriak-teriak 
  menjajakan gorengannya. ”Comro, Misro..., nasi uduk, tempe goreng...” 
  Suara si bapak tedengar begitu keras mengagetkan lamunanku. Segera 
  kumemanggilnya ”Comro dan misro pak..!”.
   
  ”Oke Mbak.!” si bapak menghampiriku.
   
  ”3 ribu aja pak, sebentar saya ambil piringnya ” sahutku sambil lari ke dalam 
  rumah mengambil piring. Sedangkan anakku yang berumur 2 tahun malah lari 
  keluar mendekati si bapak, mereka memang sudah akrab bahkan anakku 
  memanggil bapak penjual gorengan itu dengan panggilan Pak De.
   
  Ketika aku kembali sampai di tempat mereka berada mereka sedang 
  bercanda ria. ”Ini bu, saya tambahin dua misronya, bonus...” katanya 
  sambil tersenyum ramah. Seperti biasa bapak ini memang selalu 
  memberiku bonus. ”Makasih pak...” jawabku sambil mengigit misronya.
   
  Rasa manis misro itu membuatku lupa akan cerita pahit yang baru saja 
  kubaca dari surat kabar tadi. Manis tutur kata dan perilaku bapak penjual 
  gorengan itu yang selalu dihadirkan pada setiap pembelinya, seolah menutupi 
  pahitnya kisah hidupnya sendiri. Pak Pardi nama beliau, umurnya sudah 
  tidak muda lagi, kuperkirakan sudah kepala lima. Pak Pardi tinggal di 
  kampung yang letaknya bersebelahan dengan kompleks perumahakn 
  di mana aku dan keluargaku tinggal, Pondok Jaya nama kampung itu. 
  Dari kompleksu ada jalan akses yang bisa langsung menuju kampung 
  pondok jaya, tak heran jika Pak Pardi dengan leluasa bisa berdagang di 
  kompleks, karena memang jaraknya dekat sekali.
   
  Kisah pahitnya kehidupan Pak Pardi dan keluarganya berawal saat kompleks 
perumahanku ini mulai dibangun. Banyak sekali tukang bangunan yang 
  bekerja membangun rumah-rumah di komplek. Pak Pardi dan isterinya 
  berjualan nasi, sayur, lauk-pauk dan makanan-makanan kecil lainnya 
  untuk melayani kebutuhan makan dari para tukang bangunan dan 
  mandornya di kompleks itu.
   
  Para pekerja bangunan itu dibayar secara borongan jika pekerjaan mereka 
  sudah selesai, sehingga untuk membayar makan mereka harus berhutang 
  dulu kepada Pak Pardi dan isterinya, tidak ada jaminan apa-apa dalam 
  hutang itu, hanya bu Pardi tiap hari mencatat siapa-siapa saja yang berhutang 
  dan berapa jumlah hutangnya per hari. Proyek pembangunan itu berjalan 
  kurang lebih satu tahun, dan selama itu pula para tukang bangunan itu 
  belum membayar hutangnya pada Pak Pardi dan Bu Pardi, hanya ada 
  segelintir tukang yang mau membayar hutangnya itupun hanya dibayarnya 
  sebagian saja. Sementara untuk modal dagang sehari-hari Pak Pardi 
  mengambil hutang dari bank keliling alias rentenir kampung.
   
  Nasib sial dialami Pak Pardi dan isterinya ketika mereka sudah kehabisan 
  modal dan sudah terjerat banyak hutang dari rentenir, mereka pun berniat 
  menagih hutang-hutang para tukang bangunan dan mandor-mandor yang 
  sering makan dari warung mereka, akan tetapi hampir semua tukang dan 
  mandor itu sudah pergi, tidak berada di wilayah komplek lagi, kabur tanpa 
  kabar, karena ternyata proyek pembangunan rumah sudah selesai. Pak Pardi 
  dan isteri tertipu. Shock tentu saja mereka, apalagi hutang dari rentenir itu 
  sudah beranak pinak bunganya.
   
  Akhirnya mereka terpaksa menjual rumah mereka untuk melunasi 
  hutang-hutang itu. Dan mereka menyewa rumah petak tepat persis di depan 
  rumah yang telah mereka jual itu. Betapa sedih mereka setiap hari harus 
  menghadapi kenyataan bahwa rumah yang tepat berada di rumah petak 
  kontrakannya itu dulunya adalah rumah mereka. Aku hanya tertegun, ikut 
  merasakan kesedihan mereka, ketika Bu Pardi dan suaminya menceritakan 
  kisah hidupnya kepadaku ketika awal aku pindah ke ke komplek itu.
   
  Sambil memasukkan kayu bakar di tungku penggorengan di ruma petaknya 
  Bu Pardi sesekali terisak menangis. ”Beginilah Mbak, bodohnya saat itu 
  kami terlalu percaya begitu saja kepada para tukang bangunan itu, ternyata 
  mereka kurang ajar semua, bahkan mandor kontraktornya pun tidak mau 
  bertanggung jawab..” kata Bu Pardi.
   
  ”Kami yakin ini takdir sih Mbak, namun kami juga tidak mau pasrah begitu 
  saja tanpa usaha, kami sudah berusaha mencari-cari keberadaan para tukang
  bangunan ini, tapi nihil hasilnya, karena mereka semua sudah pulang ke 
jawa...” 
  sahut Pak Pardi menambahkan.
   
  ”Sekarang kami sudah tidak punya apa-apa lagi mbak, setelah satu-satunya 
  harta yang kami miliki telah kami jual untuk membayar hutang dari rentenir, 
  terpaksa kami menyewa rumah petak kecil ini.” tutur bu Pardi sedih.
   
  Mereka juga menyebutkan jumlah kerugian yang mereka alami yang 
  mencapai puluhan juta rupiah. Tak heran aku mendengar jumlahnya,
  karena jika satu orang saja sehari makan minimal dua kali dia akan 
  berhutang sepuluh ribu rupiah per hari maka jika dia hutang selama 
  setahun sudah satu setengah juta lebih totalnya. Dan itu masih harus 
  dikalikan dengan jumlah tukang yang berhutang yang berjumlah 
  puluhan orang.
   
  Hari-hari berlalu, musibah yang dialami keluarga Pak Pardi mereka 
  hadapi dengan sabar. Mereka juga berusaha bangkit perlahan-lahan 
  untuk kembali berjualan gorengan. Kini merka berjualan di lingkungan 
  komplek kami. Dengan menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu, 
  wajah-wajah ceria dan ramah selalu menghiasi wajah Pak Pardi maupun 
  Bu Pardi, mereka adalah orang-orang yang kuat dalam menghadapai 
  cobaan hidup.
   
  Aku harus bisa memetik pengalaman hidup mereka sebagai sebuah hikmah 
  agar bisa meniru kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan. Allah SWT 
  telah berfiman ”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu 
  dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, 
  Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Yaitu)
   orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 
  ”Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Mereka itulah yang mendapatkan 
  keberkatan secara sempurna dan rahmat dari tuhannya, dan mereka
   itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ” (Al-Baqarah: 155-157).
   
  Seorang muslim yang benar adalah seorang yang mampu menanggung 
  musibah-musibah yang dialaminya dengan teguh dan sabar dengan 
  keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan hikmah yang terbaik 
  untuknya. Seorang yang beriman, tentu mengetahui bahwa takdir Allah swt 
  akan menjadi kebaikan baginya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 
  Pahala dari sabar adalah surga. Anak, Isteri/Suami dan harta benda yang 
  kita miliki bisa merupakan ujian dari Allah SWT dan jika suatu saat Allah 
  berkehendak menguji atau bahkan mengambilnya kembali, tidak ada yang 
  bisa kita lakukan kecuali bersabar dan tidak lantas berputus asa.
   
  Rasulullah SAW telah memperingatkan kita agar tidak berputus asa, 
  karena dengan berputus asa, seseorang justru akan menyiksa diri sendiri. 
  Lihatlah kasus orangtua yang membunuh anaknya karena mereka miskin, 
  itu adalah salah satu contoh orang yang berputus asa dari rahmat Allah. 
  Seandainya mereka mau berusaha, Insya Allah, Allah akan membukakan 
  pintu rezekinya untuk mereka. Namun jika mereka hanya berputus asa 
  bahkan sampai membunuh anaknya, saya yakin justru mereka akan 
  menderita, selain mendapat dosa, batin mereka akan tersiksa.***
   
   
  http://www.eramuslim.com/atk/oim/6c28092529-sabar-menyikapi-takdir.htm?other
  
       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke