SALAFIYAH BUKAN MANHAJ HIZBI Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2091&bagian=0 Salafiyah adalah manhaj. Ia merupakan metoda memahami Islam; metoda memahami al Qur`an dan Sunnah. Ia bukan suatu "harakah" atau "gerakan" yang muncul pada masa tertentu di zaman ini dengan ditokohi oleh orang atau kelompok tertentu seperti yang disangka oleh sebagian orang yang tidak mengerti, atau tidak mau mengerti, atau apriori terhadap kebenaran. Salafiyah merupakan penisbatan kepada Salaf, dan ini merupakan penisbatan terpuji kepada manhaj (metoda pemahaman terhadap al Qur`an dan Sunnah) yang benar, bukan merupakan madzhab baru yang diada-adakan secara bid'ah.[1] Syaikh Salim bin 'Id al Hilali, dalam hal ini menukil [2] perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa [3] : "Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan, serta menisbatkan diri dan menyandarkan diri kepada madzhab Salaf. Bahkan wajib hukumnya menerima penyandaran dirinya kepada manhaj Salaf itu menurut kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab Salaf, tidak lain kecuali benar". Ketika kehadiran kembali manhaj Salaf ini tidak lagi dapat ditolak di tengah ramainya penyimpangan umat, maka banyak kaum pergerakan berami-ramai mencoba menerima manhaj Salaf, bahkan banyak yang mengklaim dirinya bermanhaj Salaf. Akan tetapi manhaj Salaf yang mereka fahami dan mereka terima, umumnya hanya dalam bidang asma' wa sifat, tidak menyeluruh, karena mungkin mereka menganggap manhaj Salaf ada yang kurang, atau disalah fahami. Banyak kekeliruan dalam memahami konsekuensi uluhiyah, hingga mengakibatkan takfir (menghukumi kafir kepada orang lain) yang tidak pada tempatnya. Dari sini timbul keyakinan dan tindakan-tindakan bid'ah tanpa disadari, seperti perusakan, pembunuhan dan peledakan dengan keyakinan, bahwa semua itu merupakan jihad dan ibadah yang mulia, padahal tidak ada contoh syari'at semacam itu. Maka saat mereka ingin kembali ke manhaj Salaf, terkesan masih sayang meninggalkan kebiasaan dan disiplin lamanya dalam pergerakan yang sudah dianggap bagus, misalnya sistem berjama'ah, sistem bai'at, sistem kerja, sistem rekruitmen anggota, sistem halaqah, sistem imamah, sistem perjuangan dan jihad, serta sistem-sistem harakah lainnya, yang sebenarnya merupakan pola-pola hizbiyah (fanatisme kelompok). Sebagai akibat mereka mencampurkan antara manhaj Salaf dan manhaj harakah. Aqidah Asma' wa sifatnya atau sebagian kitab rujukannya adalah Salafi, tetapi pemahaman dan sistemnya adalah harakah, menjadi salafi haraki. Ketika berkembang kelompok-kelompok salafi haraki inilah (istilah masyhurnya sekarang disebut Sururi), maka manhaj Salaf yang sebenarnya, yang diikuti oleh Salafiyin dicurigai, bahkan dimusuhi oleh mereka, sebab banyak misi mereka yang terganjal oleh manhaj ini. Di sisi lain muncul pula suatu gerakan dengan warna lain yang seakan benar-benar Salafi, namun sebenarnya menerapkan praktik-praktik hizbi, dengan antara lain menebarkan ilzam-ilzam (pengharusan-pengharusan yang bersifat memaksa) kepada anggota kelompok pengajiannya, sehingga anggauta jama'ah bisa menjadi was-was dan takut dicap tidak Salafi, jika pandangannya berbeda dengan pandangan para pimpinannya. Dengan demikian yang terbaca di luar, kelompok ini menerapkan praktik taklid membabi buta, lebih dari kelompok-kelompok taklid lainnya. Di samping itu, dengan bahasa-bahasa vocal dan tindakan-tindakannya yang kasar, telah menimbulkan kesan bahwa dakwah Salafiyah bersifat kasar dan tidak beradab. Akhirnya dakwah Salafiyah banyak disingkiri umat, karena kesalah fahaman dan ketidak mengertian. Sementara itu, musuh-musuh dakwah Salafiyah pun banyak yang menuduh, bahwa para salafiyin sangat taklid kepada para ulamanya. Padahal tidak! Untuk itu perlu ditegaskan di sini sikap sebenarnya, meskipun dengan sangat ringkas dan global. Yaitu bahwa sumber kebenaran bagi Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau Salafiyun adalah al Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman para salafush-shalih. Jadi ukuran kebenaran bukan individu manusia sepeninggal para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Itu sangat jelas berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , yang antara lain: ÝóÚóáóíúßõãú ÈöÓõäøóÊöí æóÓõäøóÉö ÇáúÎõáóÝóÇÁö ÇáúãóåúÏöíøöíäó ÇáÑøóÇÔöÏöíäó ÊóãóÓøóßõæÇ ÈöåóÇ æóÚóÖøõæÇ ÚóáóíúåóÇ ÈöÇáäøóæóÇÌöÐö æóÅöíøóÇßõãú æóãõÍúÏóËóÇÊö ÇáúÃõãõæÑö ÝóÅöäøó ßõáøó ãõÍúÏóËóÉò ÈöÏúÚóÉñ æóßõáøó ÈöÏúÚóÉò ÖóáóÇáóÉñ. ÃÎÑÌå ÃÈæ ÏÇæÏ æÇáÊÑãÐí Artinya : Maka wajib bagi kalian berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa'ur-Rasyidun yang mendapat petunjuk. Peganglah dengan kuat Sunnah itu dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan janganlah sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, sebab setiap yang baru adalah bid'ah, dan setiap yang bid'ah adalah sesat [Hadits Shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi] [4] Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda: ÃóáÇó Åöäøó ãóäú ÞóÈúáóßõãú ãöäú Ãóåúáö ÇáúßöÊóÇÈö ÇÝúÊóÑóÞõæÇ Úóáóì ËöäúÊóíúäö æóÓóÈúÚöíäó ãöáøóÉð æóÅöäøó åóÐöåö ÇáúãöáøóÉó ÓóÊóÝúÊóÑöÞõ Úóáóì ËóáóÇËò æóÓóÈúÚöíäó ËöäúÊóÇäö æóÓóÈúÚõæäó Ýöí ÇáäøóÇÑö æóæóÇÍöÏóÉñ Ýöí ÇáúÌóäøóÉö æóåöíó ÇáúÌóãóÇÚóÉõ . ÃÎÑÌå ÃÈæ ÏÇæÏ Artinya : Ketahuilah! Sesungguhnya golongan sebelum kamu dari kalangan Ahlu Kitab terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya golongan umat Islam ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan di dalam neraka dan satu golongan di dalam sorga, yaitu al Jama'ah. [Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud. Syakih al Albani mengatakan: "Hadits hasan"] [5] Pengertian al Jama'ah pada hadits di atas ialah, sesuatu yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan sahabatnya ada di atasnya. Dengan kata lain, al Jama'ah ialah, golongan yang berpijak pada Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya. Seperti dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hadits berikut: æóÊóÝúÊóÑöÞõ ÃõãøóÊöí Úóáóì ËóáóÇËò æóÓóÈúÚöíäó ãöáøóÉð ßõáøõåõãú Ýöí ÇáäøóÇÑö ÅöáøóÇ ãöáøóÉð æóÇÍöÏóÉð ÞóÇáõæÇ æóãóäú åöíó íóÇ ÑóÓõæáó Çááøóåö ÞóÇáó ãóÇ ÃóäóÇ Úóáóíúåö æóÃóÕúÍóÇÈöí. ÃÎÑÌå ÇáÊÑãÐí. "Artinya : Akan terpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja". Mereka (para sahabat) bertanya: "Siapakah golongan itu ya Rasulallah?" Beliau menjawab: "Yaitu yang berada pada apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya". [Dikeluarkan oleh Tirmidzi. Syaikh al Albani mengatakan: "Hadits hasan"] [6] Hadits-hadits di atas menunjukkan, bahwa kebenaran terletak pada ittiba' Sunnah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, Sunnah Khulafa'ur-Rasyidun dan Sunnah para sahabatnya. Sunnah para Khulafa'ur-Rasyidun dan Sunnah para sahabat yang lain, hakikatnya merupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Oleh sebab itulah Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani rahimahullah (164 H 241 H.), berkaitan dengan prinsip Sunnah, mengatakan: "Prinsip Sunnah menurut kami (kalangan Ulama Ahlu Sunnah, di antaranya) ialah berpegang dengan apa yang ditempuh oleh para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan mengikuti jejak mereka"[7] Jadi, tolok ukur kebenaran bukan terletak pada perkataan atau perbuatan Fulan dan Fulan. Tetapi kebenaran, yaitu apa yang sesuai dengan al Qur`an dan Sunnah yang difahami dengan pemahaman para salafush-shalih Radhiyallahu 'anhum. Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan: "Kebenaran tidak diukur dengan orang, tetapi oranglah yang harus ditimbang dengan kebenaran. Inilah timbangan yang benar. Meskipun kedudukan dan derajat seseorang dapat berpengaruh bagi diterimanya perkataannya, sebagaimana diterimanya berita orang adil atau diabaikannya berita orang fasik, akan tetapi itu bukan tolok ukur kebenaran sama sekali. Sebab manusia adalah orang yang bisa luput dari kesempurnaan ilmu, dan dari kekuatan pemahaman, sesuai dengan seberapa besar kadar ilmu dan pemahaman yang terluput darinya. Bisa jadi seseorang merupakan orang yang kuat dalam beragama dan memiliki akhlak, namun mungkin ia adalah orang yang kurang ilmu dan lemah pemahamannya, sehingga terlepaslah kebenaran darinya sebesar kekurangannya dalam ilmu dan kelemahannya dalam pemahaman. Atau ia merupakan seseorang yang tumbuh pada suatu cara beragama tertentu atau madzhab tertentu, dimana ia hampir tidak pernah kenal cara lainnya, sehingga ia menyangka bahwa kebenaran hanyalah yang ada pada dirinya. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya".[8] Sebagai kesimpulan, manhaj Salaf bukanlah suatu "harakah", bukan pula manhaj hizbi (fanatisme golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan dan kekasaran. Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-shalih -radhiyalahu 'anhum- yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian oleh para tabi'in dan selanjutnya tabi'ut Tabi'in. Kemudian diteruskan oleh para Ulama Ahlu Sunnah beserta pengikut-pengikutnya hingga hari Kiamat. Nas'alullaha at-Taufiq. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _________ Foote Note [1]. Penjelasan Syaikh Salim bin Id Al-Hilali, salah seorang murid Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, dalam kitabnya, Bashair Dzawi Asy-Syaraf bi Syarhi Marwiyyat Manhaji As-Salaf) Maktabah Al-Furqon, Cet II 1421H/2000M. Halaman 21, diterjemahkan secara bebas. [2]. Idem [3]. Lihat Mahmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Jam wa Tartib : Abdur Rahman bin Muhammad Qasim Al-Ashimi An-Najdi (IV/149) [4]. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud, karya Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Cet II dari terbitan baru, Th.1421H/2004M (III/118-119 no. 4607) Kitab As-Sunnah, Bab Fi Luzum As-Sunnah. Lihat pula Shahih Sunan At-Tirmidzi, Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Cet I dari terbitan baru, Th.1420H/2000M (III/60-70 no. 2676) Kitab Al-Ilmi, Bab Maa Jaaa fil Akhdzi bis Sunnah wa Ijtinab Al-Bida. [5] Lihat Shahih Sunan Abu Dawud, karya Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Cet II dari terbitan baru, TH.1421H/2000M (III/115 no. 4597) Kitab As-Sunnah, Bab Syarhis Sunnah [6]. Lihat Shahih Sunnah At-Tirmidzi, Syaikh Al-Albani, Maktabah Al-MaArif, Riyadh, Cet I dari terbitan baru, Th 1420H/2000M (III/54-54 no. 2641) [7]. Lihat Ushulus Sunnah li Imam Ahlis Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah, riwayat Abdus bin Malik Al-Aththar. Syarah dan tahqiq Al-Walid Muhammad Nabih bin Saif An-Nashr. Taqdim dan Taliq, Syaikh Muhammad Id Al-Abbasi, Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, Tauzi Maktabah Al-Ilmu, Jeddah, Cetakan I, Th.1416H/1996M, hal.25-26 [8]. Lihat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimian, dalam Al-Qawaid Al-Mutsla Fi Shifatillah wa Asmaihi Al-Husna, hal. 85 ketika memberi jawaban ketiga tentang syubhat-sebagian orang mengenai Asyariyah yang banyak memiliki tokoh-tokoh ulama ternama. Penerbit : Maktabah As-Sunnah, Cet I 1411H/1990M. Tahqiq dan Takhrij Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahman ===== HAKIKAT SURURIYAH
Oleh Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah Pertanyaan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Semoga Allah menjaga Anda. Sering sekali kita mendengar tentang Sururiyah, harap Anda jelaskan hakikatnya ..! jazakumullahu khairan.. Jawaban. Sururiyah termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah berbicara tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang telah banyak meneliti pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya, Sururiyah adalah : Mereka yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal Abidin, yang di dalam manhajnya ada penyelewengan dari manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah da'wah dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari manhaj-manhaj lain seperti manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya. Dan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya sebagian mereka -terkadang berpemikiran sesuai dengan pemikirannya pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau tidak. Akan tetapi tidak benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka, tapi dia telah menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam pikiran mereka sebagaimana penyimpangan itu terbetik dalam pikiran Sururiyyin, maka tidak boleh kita memecah belah manusia. Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya, karena ada sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat mereka. Maka kita tidak boleh memecah belah, sebab jika kita golong-golongkan manusia dan menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk kembali kepada al-haq setelah itu, lain halnya jika kita katakan : Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini, kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali. Kemudian, pengetahuan tantang jamaah-jamaah yang ada pada zaman sekarang dan pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang penuntut ilmu dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global, sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahuanhu : Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya, dalam hal ini dengan mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan diri dengan perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang ditulis Fulan tentang mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini akan memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek Maka kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pooko aqidah Ahlus Sunnah, dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syari yang dengannya kita dapat membedakan ahlul haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya maka tak akan terpengaruh dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau tidak, karena kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah ahlus sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita tidak butuh untuk mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang dengannya kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah dalam masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si Fulan pantas untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui kaidahnya, kita dapat menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia butuh pada ilmu syari dan dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan manusia, menukil perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan kita dari menuntut ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan berupa bidah dan perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri dengan ilmu dan tashil, kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam bermuamalah dengan yang menyimpang. [Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1492&bagian=0 --------------------------------- Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? Check outnew cars at Yahoo! Autos. [Non-text portions of this message have been removed]