SETUJU DENGAN GAGASAN/PIKIRAN PAK BENY, BISA NGAK DISOSIALISASIKAN KEPADA 
MASYARAKAT TIONGHOA LEBIH LUAS LAGI, TERIMAKASIH MASIH ADA TOKOH YANG CONCERN 
TERHADAP NASIB GOLONGAN TIONGHOA YANG MISKIN/TERPOJOK, SEHINGGA TIDAK 
DIMANFAATKAN 'ELITE'NYA YANG TIDAK
  ARIF/BIJAKSANA.
  TERIMAKASIH SEKALI LAGI
   
  SALAM BERSATU MELAWAN KEBATHILAN 1
   
  MAS.MANSYUR

Yap Hong Gie <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          KEBANGKITAN ORGANISASI TIONGHOA DI INDONESIA JANGAN SAMPAI KEBABLASAN.
Oleh : Benny G.Setiono

Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh
kesadaran di sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka
terutama di bidang sosial dan politik sangat lemah dan menyedihkan.
Kesadaran ini pada ujungnya membangkitan keberanian untuk menolak
kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai
warga negara Republik Indonesia
Dengan segera berbagai organisasi baik partai politik, ormas
maupun LSM dideklarasikan, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia
(PARTI), Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
Formasi, Simpatik,Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI dllnya.

Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan
majalah antara lain Naga Pos,Glodok Standard,Suar,Nurani,Sinergi,Suara Baru
dllnya bermunculan. Namun dengan berjalannya waktu ternyata beberapa
organisasi tersebut berguguran dan beberapa media cetak telah hilang dari
peredaran.
Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah
klasik, tidak adanya visi dan misi serta program yang jelas, semangat yang
mengendur, kurangnya kader muda dan terjadi perpecahan di kalangan
pemimpinnya seperti apa yang terjadi dengan PBI.
Masalah yang dihadapi media cetak adalah masalah finansial dan SDM. Hampir
tidak ada dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup
media-media cetak tersebut.

Berbeda dengan organisasi-organisasi peranakan,
organisasi-organisasi di kalangan totok malahan tumbuh dengan subur. Lebih
dari lima ratus organisasi di kalangan totok berdiri di berbagai kota di
Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal
provinsi, kabupaten, distrik dan kampung halaman di Tiongkok, suku (clan),
marga, alumni sekolah, kesenian, kesusateraan dsbnya. Program mereka tidak
jelas dan pada umumnya berorientasi ke daratan Tiongkok.
Bahasa yang digunakan bahasa Tionghoa baik Mandarin maupun dialek karena
pada umumnya para pemimpin organisasi tersebut kesulitan dalam berbahasa
Indonesia.
Organisasi-organisasi ini seperti organisasi-organisasi Tionghoa perantauan
di mana pun sangat paternalistik dan para pemimpinnya diangkat berdasarkan
senioritas dan keberhasilan dalam bisnis.
Para anggotanya hanya manut saja dan baru muncul dalam resepsi-resepsi yang
diselenggarakan para pemimpinnya.
Kelebihan organisasi-organisasi ini adalah dukungan dana yang kuat dari para
pemimpinnya.
Namun perpecahan juga muncul di antara para pemimpinnya, terutama di
kalangan suku Hakka yang menyebabkan saat ini berdiri tiga organisasi Hakka
yang berbeda.
Kegiatan utama organisasi-organisasi ini adalah menyelenggarakan
pertemuan/resepsi di antara para anggotanya tanpa tujuan yang jelas.
Namun ada hal yang menggembirakan karena akhir-akhir ini ada beberapa
organisasi yang melakukan berbagai kegiatan sosial.

Setelah Presiden K.H.Abdurrahman Wahid mencabut seluruh larangan
yang memojokkan etnis Tionghoa termasuk larangan bahasa dan aksara Tionghoa
dan berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, maka bermunculanlah
berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah seperti
Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily.
Qian Dao Re Bao ( Harian Nusantara ) dllnya.
Walaupun tiras setiap harian maupun majalah tersebut tidak besar karena
pembacanya yang sangat terbatas, namun karena dukungan dana dari para
pemiliknya maka sampai saat ini berbagai penerbitan tersebut masih dapat
bertahan, kecuali harian Universal Daily yang sudah tutup beberapa bulan
lalu..
Pada umumnya media-media cetak tersebut di samping menyiarkan berita-berita
dalam dan luar negeri digunakan untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan para tokohnya.

Hasil apakah yang diperoleh dengan berdirinya
organisasi-organisasi yang menghimpun etnis Tionghoa baik peranakan maupun
totok ?
Walaupun sangat lamban, kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat,
namun trauma masa lalu dan stigma Baperki dan G30S masih saja menghantui
sebagian besar etnis Tionghoa sehingga mereka selalu berusaha menghindari
wilayah politik.
Sebagai contoh, ketika berlangsung Pilkada DKI Jakarta yang lalu berdasarkan
survey Litbang Kompas, Kecamatan Penjaringan, Kembangan, Kebon Jeruk, Grogol
Petamburan, Tambora, Taman Sari dan Kelapa Gading di mana sebagian besar
penduduknya berasal dari kalangan etnis Tionghoa adalah wilayah yang
paling tinggi angka golputnya ( 40%- 50 %).
Walaupun beberapa tahun terakhir mulai bermunculan anggota DPR, DPRD,
Bupati, Wakil Bupati dari kalangan etnis Tionghoa namun masih dirasakan
sangat kurang, mengingat potensi yang sangat besar dapat disumbangkan etnis
Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara.

Dihapusnya segala peraturan yang bersifat rasis dan
diskriminatif oleh Presiden Wahid, Tahun Baru Imlek dijadikan hari libur
nasional oleh Presiden Megawati dan agama Khonghucu dikembalikan menjadi
agama resmi di Indonesia oleh Presiden Yudhoyono juga merupakan suatu
kemenangan yang diperjuangkan oleh berbagai organisasi Tionghoa di
Indonesia.

Di samping hasil-hasil tersebut masih banyak kelemahan dan
kendala yang dihadapi organisasi-organisasi Tionghoa antara lain, masih
langkanya pemimpin yang mempunyai integritas tinggi dan mempunyai visi jauh
ke depan serta SDM yang memadai yang dibutuhkan untuk memimpin dan
menggerakkan roda organisasi.
Kebanyakan pemimpin/pengurus organisasi-organisasi Tionghoa telah berusia
lanjut dan merupakan pengusaha-pengusaha mapan yang sudah tentu mempunyai
kepentingan tertentu.
Untuk mengatasinya para tokoh Tionghoa harus dengan legowo mau melakukan
peremajaan kader-kader yang akan memimpin organisasi-organisasi tersebut.

Kebablasan.

Kalau ingin bertahan organisasi-organisasi Tionghoa harus
dijadikan organisasi modern dan demokratis yang mempunyai visi,misi dan
program yang jelas dan berorientasi ke bumi Indonesia sesuai dengan semboyan
"luo di sheng gen" yang berarti di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung.
Dengan kata lain organisasi-organisasi Tionghoa harus membawa seluruh
anggotanya masuk ke dalam mainstream bangsa Indonesia tanpa harus
menanggalkan identitas keTionghoaannya dan bergandeng tangan dengan seluruh
komponen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara.
Organisasi-organisasi Tionghoa harus mau membuka diri dan melakukan kerja
sama dan menggalang persahabatan dengan organisasi-organisasi di luar
kalangannya agar tidak dituduh ekslusif.

Situasi yang kondusif bagi etnis Tionghoa harus digunakan untuk
hal-hal yang positif dan bukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak
ada gunanya dengan menghambur-hamburkan uang secara demonstratif yang sangat
menyakiti hati rakyat yang sedang menderita.
Justeru organisasi-organisasi Tionghoa harus berani memperingatkan dan
menindak anggotanya yang berprilaku tidak pantas di masyarakat agar
pengalaman buruk di masa lalu tidak terulang kembali.
Janganlah kita membuat kontes-kontes yang ekslusif dan terjebak dalam
kegiatan yang sifatnya diskriminatif.
Janganlah kita sampai kebablasan dalam mengartikan kebebasan yang kita
peroleh saat ini.
Tunjukkan rasa empati kita kepada saudara-saudara kita sesama anak bangsa
yang kurang beruntung dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial untuk
meringankan penderitaan mereka.
Buatlah program yang dapat meningkatkan pendidikan,kesehatan dan pendapatan
serta mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Sementara itu dengan disahkannya Undang-undang Kewarganegaraan
Republik Indonesia No.12/2006 yang dengan tegas menyatakan yang ada di
Indonesia hanya WNI dan WNA dan tidak ada lagi istilah"pribumi" dan "non
pribumi" serta Undang-undang Tentang Administrasi Kependudukan No.23/2006
yang telah membatalkan seluruh UU dan Staatblad diskriminatif peninggalan
pemerintah Hindia Belanda yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial
bangsa Indonesia telah melengkapi penghapusan hampir seluruh
peraturan-peraturan yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa.

Namun selaras dengan hal-hal tersebut di atas, maraknya
globalisasi dan berkembangnya RRT menjadi sebuah kekuatan ekonomi, politik
dan militer menuju negara Super Power baru dan semakin eratnya persahabatan
pemerintah RI dan RRT telah menjadi batu ujian bagi loyalitas seluruh etnis
Tionghoa di Indonesia. Apakah mereka telah benar-benar telah menjadi warga
negara dan bagian integral bangsa Indonesia atau masih mempunyai loyalitas
ganda ?

Demi kepentingan jangka panjang, organisasi-organisasi Tionghoa
harus menjaga jarak dalam berhubungan dengan pemerintahan negara asalnya.
Pengalaman masa lalu telah mengajar kita bahwa hubungan antar negara setiap
saat dapat mengalami pasang surut sesuai dengan kepentingan nasional negara
masing-masing.
Namun etnis Tionghoa di sini yang akan menanggung getahnya, karena tidak
pernah ada "perlindungan yang kita peroleh dari negara lain termasuk negara
leluhur kita. ( Penulis adalah seorang pengamat sosial dan politik )



                         

       
---------------------------------
Ready for the edge of your seat? Check out tonight's top picks on Yahoo! TV. 

Kirim email ke