IBRAHIM ISA --  BERBAGI CERITA
Senin, 12 Februari 2007

CRÉK  . . . . CRÉK  . . . .
Mengumpulkan Dana Untuk AMNESTY INTERNATIONAL
*    *    *
Mengetuk Hati Nurani Di Winkelcentrum A'damse Poort

Kata-kata 'fundraising' atau 'fondswerving' itu  penamaan yang terlalu
mentéréng untuk apa yang kukerjakan tadi pagi selama kuranglebih dua
jam. Lebih cocok penamaan  yang diberikan  istriku, Murti,  pagi tadi
menjelang aku keluar rumah.  Ketika bertanya  kepadaku,  Murti begini
bilangnya: Yah, (nama panggilan untuk aku dalam keluarga kami,
maksudnya:  'Ayah'), kapan 'ngecrék-ngecrék'  untuk  Amnesty
International.  'Ngecrék – ngecrék', . . . . .  maksudnya,
mengumpulkan dana di jalan-jalan dan  di plein di Winkelcentrum
Amsterdamse Poort .  Yang letaknya jarak limabelas menit jalan kaki
dari flat kami, Haag en Veld.. Dikatakan 'ngecrék-ngecrék'. . . .  . .
. .  karena uang yang dikumpulkan di kotak-plastik-keras Amnesty itu,
waktu dimasukkan  ke dalamnya, bunyinya nyaring: . . . .  'crék, crék,
crék  . . . .  begitu. Maklumlah yang dimasukkan di situ pada pokoknya
adalah mata uang logam yang récéhan . Ada yang  nilainya Euro 10 sen,
20 sen, 50 sen dan terkadang ada yang satu atau dua Euro.

Sesiang tadi itu dari jam 12.30 sampai jam 14.30  aku berdiri
mengumpulkan dana.  Tak ada satu penyumbang  yang memasukkan uang
kertas, meski yang paling kecil sekalipun, yatiu yang Euro 5. Namun
aku tak kecewa. Sama sekali tidak! Aku senang bisa ngomong pada
orang-orang yang lalu: 'U bijdrage meneer, mevrouw. Voor Amnesty
International !!.  <Sumbangan Anda, Tuan. Nyonya. Untuk Amnesty
Interntional.>. Tidak terlalu banyak,  lumayan yang tergerak hatinya,
dan memberikan sekadar sumbangan mereka dengan senyum pada bibir
mereka. Diantara  mereka ada yang bulé, ada yang hitam, ada satu
perempuan Indonesia, ada beberapa mahasiswa, ada juga dua orang
perempuan Moslem yang berjilbab. Aku sudah puas dengan perhatian
mereka itu. Karena nyatanya mereka kenal dengan apa yang dilakukan
oleh  Amnesty International.

Bersama-sama kami menghimbau dan menggugah orang-orang yang lewat di
situ agar sudi kiranya membuka dompet mereka dan menyumbang ala
kadarnya untuk KEMANUSIAAN. Pada kotak pengumpul dana Amnesty
International  itu tertulis dalam bahasa Belanda: 'GEEF VOOR
VRIJHEID'. Artinya sumbanglah demi  Kebebasan. Dalam bahasa Inggris
tertulis juga di situ kata-kata ini: Amnesty International Support our
fight for Human Rights.

Untuk aku pribadi, tidak begitu aku pentingkan  akan berapa besar
nanti bila sudah terkumpul semua,  jumlah uang yang bisa diperoleh
dari pengumpulan dana itu. Terlebih penting ialah bahwa  orang tahu,
bahwa masih ada orang-orang, sukarelawan-sukarelawan  yang menghimbau
 perhatian,  kepedulian terhadap masalah hak-hak azasi manusia.
Mengenai perlunya mengadakan perlawanan terhadap setiap pelanggaran
terhadap HAM, betapapun kecilnya. Betapa di dunia ini, masih begitu
hebatnya terjadi pelanggaran HAM. Mulai dari Asia sampai ke Timur
Tengah. Dari  Amerika Latin, dari Amerika Serikat sampai ke Irlandia
Utara, dari Burma atau Myanmar sampai ke Palestina.

Berdiri di Amsterdamse Poort untuk mengumpulkan dana bagi Amnesty,
bukan baru sekali ini kulakukan.
Beberapa tahun yang lalu kami ada empat orang dari Grup Amnesty
melakukannya. Semua anak-muda yang bulé. Lumayan juga dana yang kami
kumpulkan ketika itu. Bagiku sendiri, berdiri di tengah jalan, di muka
toko-toko atau bank-bank, yang utama  bukanlah untuk mengumpulkan uang
untuk keperluan kegiatan Amnesty International yang memang
diperlukannya.  Yang lebih penting adalah agar masyarakat  tahu,
Amnesty International  dengan tak henti-hentinya melakukan kegiatan
dan usaha demi dilaksanakannya HAM di mancanegara

*   *   *.

Amnesty International Cabang Nederland termasuk yang kuat kas-nya.
Tahun ini, pengeluaran yang dilakukan Amnesty Nederlan <jangan kaget
ya> keseluruhannya meliputi Euro 21,3 juta. Dalam hatiku, luar biasa!
Memang Belanda negeri kaya. Amnesty   International Belanda  punya
banyak penyumbangn yang tidak mengikat. Heibatnya Amnesty
International cabang Nederland ini, tidak mau uang pemerintah.
Maksdunya supaya tidak terikat dengan politik pemerintah.

*    *    *
Kampanye Amnesty International Belanda untuk mengumpulkan dana dimulai
hari ini pada tanggal 12 Februari. Coba terka, berapa jumlah aktivis
yang turut serta ambil bagian menyemarakkan kampanye aksi mengumpulkan
dana? Tidak kurang dari  20.000 sukarelawan. Memang heibat  kepedulian
masyarakat Belanda terhadap aksi-aksi  kemanusiaan.  Orang-orang
Belanda yang dikenal dengan sifat 'hématnya', kalau sudah menyangkut
'voor het goede doel' < 'untuk tujuan mulya'>, mereka tidak sayang
keluarkan uangnya untuk ikut menyumbang.

Sumbangan Amnesty Belanda kepada Sekretariat Internasional Amnesty
diLondon meliputi jumlah tidak kurang dari  Euro 5,2 juta. Itu berarti
24% dari jumlah seluruh pengeluaran. Untuk kegiatan aksi-aksi dan
kerja-aksi dikeluarkan sejumlah Euro 4,9 juta, 23% dari jumlah seluruh
pengeluaran. Sedangkan untuk keperluan penerangan dan meningkatkan
kesadaran mengenai hak-hak azasi manusia, dikeluarkan sejumlah Euro
4,5 juta, atau 21% dari jumlah seluruh pengeluaran.  Dan lain-lain
pengeluaran. Tidak sedikit pula dikeluarkan dana guna keperluan riset
dan studi mengenai pelanggaran HAM di mancanegara. Termasuk di Aceh,
Papua dan Timor Timur <khususnya ketika masih diduduki oleh militer
Indonesia di bawah Orba>.

*    *    *

Dari Amnesty Amsterdam yang  berdiri di  Winkelcentrum Amsterdamse
Poort hari ini adalah  kami berdua. Aktivis yang seorang lagi  itu
ialah Ny. Paver.  Bulé. Aku baru kenal dia. Umurnya kutaksir sekitar
enampuluhan. Jadi lebih muda dari aku. Dengan demikian yang
mengumpulkan dana untuk Amnesty di Winkelcentrum Amsterdamse Poort
tadi itu, adalah seorang nénék dan seorang 'kakék'. Hari Rabu nanti
aku masih akan kesitu lagi. Ny. Paver juga masih kesana lagi. Mengetuk
hati nurani orang-orang yang ada kepedulian dengan usaha-usaha
kemanusiaan agar  ikut menyumbang.

*   *   *

Sengaja kusebut warna kulit aktivis Belanda yang satu itu: Bulé!.
Begini duduk perkaranya: Sudah lama, sebagai anggota Amnesty
International Belanda <sejak 1978> perasaanku kurang Ă©nak. Selalu
timbul pertanyaan dalam hati kecil sbb:  Untuk penduduk Amsterdam
Bijlmer yang mayoritasnya adalah WN Belanda alochtoon,  yang kulitnya
Hitam---  mengapa keadaan demografi yang demikian itu,  tak tercermin
di dalam Grup Amnesty ranting Bijlmer.  Sejak berdirinya Grup 195, di
Amsterdam Bijlmer,  ingatku hanya sekali  ada anggota Grup kami yang
berasal dari Ghana, yang tidak bulé. Itupun, ia  tak sampai setahun
jadi anggota. Menghilang,  tak ada beritanya lagi. Selanjutnya
setahuku, tak ada lagi anggota Grup yang kulitnya berwarna yang
menjadi aktivis.

Kenyataan  yang tak dapat dimengerti ini kucoba menganalisisanya.
Sampai sekarang masih  belum  menemukan  jawabannya. Pada waktu-waktu
tertentu, jika  sebagai aktivis Amnesty aku melakukan kegiatan di
gereja-gereja di Amseterdam Bijlmer, kulihat  mayoritas pengunjung
gereja-gereja pelbagai aliran Kristen, adalah orang Belanda alochtoon.
 Yaitu Belanda, yang berkulit hitam atau sawomatang, bukan bulé.
Jelas, mereka itu punya keyakinan religius yang kuat. Tapi, mengapa
kurang sekali kepeduliannya  terhadap kegiatan badan pejuang HAM
seperti Amnesty International. Apa karena tidak ada waktu. Atau
menyangkut masalah pengertian saja.

Demikian pula  halnya dalam rapat-rapat umum anggota Amnesty
International seluruh Nederland  sekali setahun, yang biasanya
kuhadiri. Jumlah anggota yang bukan bulé, betul, . . . . .    bisa
dihitung dengan jari sebelah tangan saja. Padahal tidak sedikit dari
mereka, yang sekarang jadi WN atau penduduk  Belanda,   yang  kiranya
 akan tinggal  terus di  negeri in. Mereka   tokh  tadinya berasal
dari negeri-negeri dunia ketiga. Mereka datang  ke Belanda, untuk
menyelamatkan diri dari persekusi pelanggaran HAM  oleh rezim-rezim di
negeri-negeri mereka itu.  Mereka datang ke Belanda mencari
perlindungan,  minta suaka, mencari kebebasan. Tertapi sesudah
menemukan perlindungan, kebebasan dan kedamaian,   apa sebabnya tidak
tampak kegairahan atau kepedulian mereka terhadap kegiatan demi
pembelaan HAM di mancanegara..  Padahal di sebagian besar negeri
dunia kita ini,  pelanggran HAM masih  merupakan masalah yang gawat,
masih berlangsung terus. Umumnya mereka tahu bahwa di banyak negeri,
terutama di negeri-negeri dunia ketiga, pelanggaran berat HAM masih
berlangsung. Juga di negeri-negeri yang katanya sudah maju, masih
terdapat  pelbagai macam diskriminasi dan pelanggaran HAM lainnya.

Ambillah negeri kita sendiri, Indonesia., sampai sekarang masih belum
ditangani oleh pemerintah masalah  pelanggaran HAM berat dalam
Peristiwa 1965.  Ketika lebih sejuta warganegara tak bersalah dibantai
oleh penguasa atas tuduhan dan fitnah terlibat dengan G30S dan oleh
kenyataan bahwa mereka adalah  anggota PKI dan ormas-ormas yang
dianggap sebagai 'onderbow'  dari PKI, atau bahkan karena dianggap
atau  atau berindikasi Komunis atau pendukung Presiden Sukarno. Sampai
sekarang sekitar 20 juta keluarga eks-tapol  Orba, masih
didiskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat. Bukan saja pelanggaran
HAM berat yang lama yang tidak diurus, tetapi juga yang belum lama
terjadi. Seperti pelanggaran HAM pada  peristiwa pembunuhan terhadap
Munir, aktivis HAM Indonesia, peristiwa Mei 1998, penyerbun kantor PDI
di Menteng, dll.. Juga kasus-kasus tsb   masih belum jelas
pengurusannya. Kasus yang paling barupun, seperti kasus pembunuhan
terhadap pejuang HAM, Munir,  masih belum dicekal pelakunya.

*   *    *

Aku sudah lebih duapuluh tahun  jadi anggota Amnesty International
Belanda. Sampai sekarang   masih  ambil bagian dalam pelbagai kegiatan
Amnesty InternationaI. Tetapi,  bukan berarti aku tak ada kritik
terhadap  Amnesty International. Aku tidak bisa menghilangkan kesan
bahwa  hingga kini masih kurang apa yang dilakukan Amnesty
International untuk membela nasib kawan-kawanku di Indonesia yang
menjadi korban keganasan, pelanggaran HAM  rezim Orba;  nasib lebih
duapuluh juta keluarga eks-tapol Perisitwa 1965, yang masih
didikriminasi, masih belum direhabilitasi nama baik dan hak-hak sipil
dan politiknya.

Begitu menjengkelkan dan begitu tidak adil sikap sementara  organisasi
dan aktivis HAM,  yang selalu  menampilkan  argumentasi murahan,
bahwa korban Peristiwa 1965 itu sudah lama sekali terjadinya,  banyak
kesulitan untuk mengurusnya,  dan lain-lain alasan yang absurd  yang
bertujuan untuk mempeti-eskan masalah pengurusan korban pelanggaran
HAM yang terbesar di Indonesia. Sampai-sampai dalam suatu pertemuan
peringatan 40 tahun Peristiwa 1965 yang diadakan di gedung IISG,
Amsterdam, dimana hadir juga anggota-anggota Amnesty lainnya, kuajukan
 sbb: Kurangnya perhatian terhadap para Korban   Peristiwa 1965,
apakah itu barangkali karena korban-korbannya banyak terdiri dari
orang-orang Komunis dan orang-orang Kiri lainnya. Cobalah perhatikan,
jika yang menjadi korban itu, bukan orang Komunis atau orang-orang
Kiri lainnya,  dan jika negeri dimana terjadinya   pelanggaran HAM
tsb,  penguasanya  kebetulan adalah suatu rezim Komunis atau Kiri,
maka akanheibat sekali kegiatan sementara organisasi dan aktivis HAM
mancanegara, khususnya negeri Barat. Mereka   tampil dengan vokal
membela hak-hak azasi para korban. Begitu heibat kritik mereka, bahkan
kutukan terhadap rezim yang bersangkutan. Sehingga terus terang
kukatakan, kalau demikian halnya,  gerakan HAM internasional itu
telah melakukan kesalahan bersikap berat sebelah. Mereka menggunakan
'dua ukuran'  terhadap masalah pelanggaran HAM. Aku heran juga, ketika
itu tak ada yang menyanggah  pertanyaanku itu.

*    *    *





Kirim email ke