Salam

Silahkan hadir dalam Diskusi Ramadan Perpustakaan Freedom II
Tentang novel Snow karya Orhan Pamuk, Novelist asal Turki yang mendapat
penghargaan Nobel Sastra tahun 2006. Novel ini menceritakan tentang
benturan identitas, keyakinan antara Islam dan Barat. Dengan setting sosio 
politik negara Turki yang sekuler dengan mayoritas Islam, dialog,
perdebatan dan gugatan tentang tema Islam yang ditulis novel ini sangat
menantang.

Karya ini akan diulas oleh Ayu Utami (sastrawan, penulis novel Saman)
dan Ihsan Ali Fauzi (Direktur Program Yayasan Paramadina).

Hari  : Rabu, 26 September 2007
Jam  : 18.00 (didahului buka puasa)
Tempat: Freedom Institute
  Jalan Irian No. 8 Menteng Jakarta
  Telpon 31909226

Untuk bahan diskusi silakan download di

http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=index&id=296

=========================================================

http://caping.wordpress.com/?s=pamuk&searchbutton=go%21

Pamuk

Ketika Orhan belum berumur 10 tahun, ia membayangkan Tuhan sebagai seorang 
perempuan tua bertudung putih.
 ”Tiap kali bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan kehadiran yang kuat, 
luhur dan sublim, tapi anehnya aku tak takut-takut amat,” tutur Orhan Pamuk 
dalam Istanbul (versi Inggrisnya terbit pada tahun 2005). ”Seingatku, aku tak 
pernah meminta tolong Dia dan petunjuk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik 
kepada orang macam diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin.”
 Hidup novelis Turki ini memang jauh dari mereka yang miskin. Sampai sekarang, 
dalam usia 54, ia tinggal di lantai ke-4 bangunan lima tingkat yang dulu 
seluruhnya ditempati keluarga besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari 
tempat tidur. Dari jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut 
Marmara, Selat Bosphorus, Istana Topkapi—hiasan termasyhur tamasya Istanbul.
 Si kaya yang aman yang tak menganggap penting Tuhan—itulah yang tergambar dari 
kenangan Pamuk tentang hidupnya di kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin 
ada sikap yang lebih radikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White 
Castle) kita anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek si 
Faruk, sejarawan pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepada Tuhan tapi kepada 
Pencerahan Eropa. Ia ingin membawa rasionalisme ke Turki dan menulis 48 jilid 
ensiklopedia. Kakek Si Orhan sendiri gemar menyanyikan ”lagu-lagu atheis”.
 Orhan sadar, cinta Tuhan menjangkau siapa saja di rumah itu. Tapi ia juga 
tahu: ”orang macam kami cukup beruntung tak membutuhkannya”. Bagi si kecil ini, 
Tuhan ada buat menolong mereka yang kesakitan, menawarkan rasa senang kepada 
mereka yang tak punya uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak 
henti-hentinya menyebut nama-Nya.
 Kesalehan dan kemiskinan, kelas atas dan kemungkaran—pola ini, yang dalam 
variasi berbeda juga pernah tampak di Indonesia, (dengan lapisan aristokrat 
yang dekat dengan Belanda dan orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari 
Islam)—dihadirkan Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh empati.
 Dalam Istanbul ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang tiap waktu senggang 
akan cepat-cepat ke biliknya untuk menggelar sajadah dan bersembahyang. ”Tiap 
kali ia merasa bahagia, sedih, takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan,” 
tulis Pamuk tentang pelayan pada masa kecilnya itu. ”Tiap kali ia membuka atau 
menutup pintu…, ia akan menyebut nama-Nya dan kemudian membisikkan beberapa 
kata lain, lirih-lirih.”
 Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasa pada bulan Ramadan tapi 
menyiapkan berbuka dengan gairah—menerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa 
dikatakan, kami merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada… kekuatan 
lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
 Tentu saja ada rasa waswas, ”kalau-kalau orang miskin itu bisa menggunakan 
hubungan khusus mereka dengan Tuhan untuk menghadapi kami”.
 ”Hubungan khusus” itulah yang memang kemudian dipakai mereka yang melarat 
dalam Kar, (versi Inggrisnya, Snow, terbit pada tahun 2005), novel tentang 
seorang penyair yang datang ke sebuah kota miskin di perbatasan. Di kota itu 
mereka yang merasa terhina oleh dunia modern, oleh ”Eropa”, memperkuat diri 
dalam ”Islam” dan dengan amarah. Tapi bagaimana akhirnya tak jelas. Mereka tak 
hanya dituduh anti-Turki, tapi juga anti-masa depan—masa depan yang digariskan 
Kemal Attaturk: Turki yang ”modern” dan ”sekuler”.
 Dalam arti tertentu, karya Pamuk adalah gema Turki dan benturan 
”sekuler-dan-Islam”-nya—mirip dengan yang di Indonesia berbentuk pergulatan 
”Timur-Barat”. Tapi novel-novel Pamuk jauh lebih dalam dan lebih tak 
terduga-duga ketimbang karya para penulis dari jenis yang di sini diwakili Siti 
Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang—yang sejak tahun 1920-an tak putus 
dirundung ketegangan orang ”Timur” yang harus memilih, atau menampik, yang 
”modern”.
 Pamuk merasakan ketegangan macam itu, tapi ia sen-diri tak ikut tegang. Ia 
pernah mengatakan, di dunia tak ada orang yang menganggap diri sepenuhnya 
”Timur”. Ketika ia ditanya apa artinya itu, Pamuk menjawab: ”Saya tak tahu. 
Biarlah saya nikmati dulu yang puitik dari keadaan itu—keanehannya. Mari kita 
tak usah memahaminya.”
 Yang puitik, yang ”aneh”, yang tak harus 100 persen dipahami, memang hadir 
dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa 
mengejutkan itu.
 Dalam Benim Adm Krmz (My Name is Red), pelbagai karakter bicara dalam sebuah 
cerita pembunuhan pada abad ke-16—termasuk si korban (”Aku sebuah mayat”), si 
pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula 
realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam 
waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara 
meriah, memandikan mayat, dan potong rambut….
 Atau dalam The White Castle: sosok si Hoja persis sama dengan seorang Italia 
yang ditangkap dan dipekerjakan di Kesultanan Turki. Bahkan akhirnya Hoja jadi 
si Italia, pulang ke Venezia dan si Italia jadi Hoja. Seperti Galip yang 
akhirnya jadi Jelal dalam Kara Kitap (The Black Book), ”watak” tokoh dalam 
novel Pamuk seakan-akan tak ada, selalu dalam proses, dan narasi bergerak ke 
tujuan yang tak begitu jelas.
 Pamuk memang membedakan diri dari banyak pengarang di Dunia Ketiga, pengarang 
”realis yang datar” yang ”merasa sastra harus melayani moralitas atau politik”. 
Ia menampik sastra macam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer: 
”Saya tak pernah menginginkan model realisme sosialis Steinbeck dan Gorky”.
 Ia, pemenang Nobel 2006 buat kesusastraan, memang suara dari dan bagi zaman 
yang tahu diri: tiap ikhtiar manusia untuk mengubah dunia dengan sastra (salah 
satu bentuk iradah modernitas) akhirnya gagal—seperti meriam dalam Beyaz Kale 
yang dibawa pasukan Turki untuk merebut kastil putih Polandia. Senjata modern 
itu terbenam dalam lumpur.

Goenawan Mohamad

 ~  Edisi. 35/XXXV/18 - 24 Oktober 2006 ~
 

       
---------------------------------
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out. 

Kirim email ke