Komplementer Atau Alternatif
Seputar Indonesia, Senin, 20-Agustus-2007        KH Abdurrahman Wahid   
  
 
  Dalam diskusi buku Ustad, Saya Sudah di Surga karya Guntur Romli di 
Auditorium Nurcholis Madjid Universitas Paramadina, Ulil Absar-Abdalla memberi 
komentar mengenai pendapat penulis dalam kolom Majalah Tempo tahun 1980-an. 


  Waktu itu, penulis menyatakan bahwa Islam datang ke negeri kita sebagai 
komplemen atas hal-hal yang sudah berkembang dalam budaya kita sebelumnya. 
Dalam diskusi selanjutnya, tampak bahwa para pengikut garis 
keras/fundamentalistik berpendapat bahwa Islam adalah alternatif bagi 
manifestasi budaya “non-Islam”. Penulis akui bahwa apa yang diceritakan Ulil 
Absar-Abdalla tetap diyakini sampai sekarang. Masalah ini adalah masalah abadi 
yang tiap kali akan diperdebatkan di kalangan pemikir muslim, tidak terkecuali 
pada masa kini. 


  Ketika penulis mengajukan masalah tersebut kepada publik, orang selalu 
menilai penulis berpikiran nyeleneh. Mengapa justru mereka yang berpikir Islam 
itu alternatif bagi lainnya tidak pernah dianggap menyimpang? Anggapan bahwa 
Islam adalah komplemen terhadap hal-hal lain sudah terlihat pada pergelaran 
wayang kulit dalam budaya Jawa. Bukankah dalam wayang kulit pihak Pandawa 
berhadapan dengan pihak Kurawa? Kurawa itu bukan penjahat dalam arti klasik, 
yaitu bandit yang melawan cowboy. Melainkan, pihak Kurawa itu pejuang kebenaran 
yang belum sampai pada kesempurnaan pandangan. Bukankah itu berarti Kurawa 
adalah calon komplemen bagi Pandawa? Di lingkungan pesantren,model komplementer 
ini tampak juga dalam penggunaan bermacam-macam hal di dalamnya. 


  Kata pondok berasal dari kata funduq dalam bahasa Arab, yang berarti tempat 
menginapnya para pejalan sufi. Tetapi kata pesantren berasal dari istilah 
tempat santri tinggal. Siapakah santri? Dalam bahasa Pali yang digunakan oleh 
kaum Buddha, artinya orang yang memahami kitab suci.Terlihat dari istilah 
pondok pesantren itu, kata-kata diserap dari bahasa berbeda-beda. Ini 
menunjukkan pondok pesantren adalah sesuatu yang bersifat komplementer. Apalagi 
kalau dilihat lembagalembaga pendidikan yang berkembang di dalamnya.Ada 
pengajian klasik,yang dalam bahasa pesantren di sebut manhaj ‘aam (sistem 
umum), di mana ada tambahan sekolah-sekolah agama seperti madrasah aliyah. Ada 
yang bersifat klasik tanpa menyediakan sekolah sama sekali, seperti pada 
pendidikan di pondok pesantren kuno seperti API Tegalrejo Magelang. Yang 
demikian itu,dinamai dalam bahasa Arab manhaj salafi. Masih ratusan pesantren 
yang memakai cara itu, toh keduanya dapat berjalan seiring, satu menjadi 
komplemen
 bagi yang lain. Mengapa? Karena prinsip- prinsip yang diajarkan itu sama saja. 
Ini belum kalau dihitung pondok pesantren yang berpegang pada moralitas yang 
sama. 


  Bahwa pondok pesantren lama menggunakan simbol-simbol budaya yang telah ada, 
tampak jelas dalam Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, tempat penulis 
dilahirkan. Jika orang masuk dari sebuah jalan kecil, dari timur ke barat, dia 
kemudian berhenti di sebuah tanah kosong di hadapan masjid. Di sebelah selatan 
masjid yang menghadap ke tanah kosong itu berdiri bangunan tempat para 
santri/murid-murid. Sementara di sebelah utara tanah kosong itu tinggal sang 
kiai dan keluarganya (tentu saja menghadap ke selatan). Ini berarti santri 
maupun kiai akan saling “berhadap-hadapan” di masjid yang bertempat di tengah. 
Para santri akan menggeluti ilmu-ilmu agama dan moralitas/akhlaknya di bawah 
bimbingan kiai. Bukankah ini artinya pesantren meminjam simbolisasi wayangan 
kulit? Yaitu di tengah-tengah Padang Kurusetra, tempat Kurawa dan Pandawa 
berperang? Karena Padang Kurusetra adalah tempat bertarungnya Pandawa dan 
Kurawa, maka dalam wayang, padang itu terbiarkan terbuka. Bukankah di alam
 terbuka terjadi peperangan saling membunuh di antara mereka? Di sini terletak 
perbedaan antara pondok pesantren dan wayang kulit walaupun kedua-duanya 
berpegang kepada prinsip-prinsip yang sama. 

  Di sini pula terbukti bahwa Islam dalam pandangan pondok pesantren adalah 
sesuatu yang berwatak komplementer terhadap hal-hal lain di luar dirinya. Ini 
belum lagi kalau dihitung betapa banyaknya aspek-aspek kehidupan lain di 
kalangan kaum muslimin sehingga Islam dapat dikatakan komplementer terhadap 
hal-hal lain itu. Kalau sekarang globalisasi menghasilkan penguasaan negara 
adikuasa– dalam hal ini AS–terhadap nilai-nilai kehidupan di kalangan 
masyarakat negara berkembang, maka tidak usah heran jika muncul sikap menentang 
globalisasi itu. Kaum fundamentalis yang menyatakan Islam memiliki 
nilai-nilainya sendiri, sebagai alternatif nilai-nilai globalisasi itu, dengan 
sendirinya akan menganggap nilai Islam sebagai alternatif. 


  Apa yang dinyatakan di atas adalah kenyataan bahwa Islam membawakan 
manifestasi komplementer dalam kehidupan.Tapi ia juga berarti adanya pandangan 
bahwa Islam itu alternatif terhadap nilai-nilai lain. Bukankah dua macam 
pandangan itu menunjukkan adanya watak komplementer? Artinya, dalam 
komplementasi yang dibawakan Islam itu juga terkandung pandangan berbenturan 
yang diambilkan dari ajaran-ajaran Islam. Bukankah ini hal yang biasa terjadi 
dalam sejarah umat manusia? Ada kalanya yang digunakan adalah pendekatan 
komplementer, adakalanya pula pendekatan alternatif yang menghadapkan budaya 
yang berbeda-beda. Sesuatu yang menarik, untuk disaksikan terjadi berulang 
kali, bukan?. 
   
  Sumber: Seputar Indonesia

       
---------------------------------
Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: mail, news, 
photos & more. 

Kirim email ke