http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/04/index.html


SUARA PEMBARUAN DAILY 
Makna Bahasa Terang Presiden Yudhoyono
oleh : Teguh Imawan 

 

 

Setelah dua tahun menjalankan pemerintahan, akhirnya Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono "buka kartu". Presiden merasa dirinya telah tiba saatnya memasuki 
tahun ketiga kekuasaannya dengan melakukan tindakan konkret (bukan wacana), 
langsung (tidak melalui birokrasi berbelit), dan memakai bahasa terang (bukan 
citra) dalam mengelola bangsa dan negara. 

Di balik tekad itu menyeruak semacam pengakuan sekaligus penegasan bahwa mulai 
2007 ini, Presiden Yudhoyono merasa perlu menjalankan roda kekuasaan melalui 
bahasa lugas, jelas, dan tak multi tafsir sehingga bisa dilihat rakyat. 

Pilihan seperti itu mengisyaratkan pula adanya kegalauan betapa komunikasi 
presiden dengan rakyat tidak sesuai yang diharapkan. Bisa jadi, selama dua 
tahun berlalu, banyak sekali pemikiran, tindakan, dan perbuatan Presiden 
Yudhoyono yang salah dimengerti, rumit dipahami, dan sulit ditangkap rakyat 
selaku pemegang saham langsung atas terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono 
menjadi presiden. 


Politik Wacana 

Istilah bahasa terang tersebut mengingatkan kita pada sikap Confusius (1551-479 
SM). Saat itu Confusius (Khonghucu) ditanya, "apakah yang pertama-tama akan ia 
lakukan jika ia harus mengelola sebuah negara?" 

Jawabnya, "Tentulah meluruskan bahasa!" 

Orang yang bertanya tadi menjadi heran, "Mengapa?" 

"Jika bahasa tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, 
maka apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak dilakukan. Jika tetap tidak 
dilakukan, moral menjadi merosot. Jika moral merosot, keadilan pun akan tidak 
jelas arahnya. Jika keadilan tak tentu arah, rakyat hanya akan berdiri dalam 
kebingungan yang tak tertolong. Maka dari itu, tidaklah boleh ada 
kesewenang-wenangan dengan apa yang dikatakan (bahasa). Inilah yang paling 
penting di atas segala-galanya," jawab Confusius. 

Apa yang dipaparkan Confusius itu memang sangat relevan hingga kini. 
Bagaimanapun, sebuah kata mempunyai beribu makna, dan pilihan makna itu sangat 
bergantung pada "siapa" yang memaknainya, sehingga, menjadi tidak aneh, kalau 
apa yang dikatakan tak selalu apa yang seperti dimaksudkan. 

Jadi, setiap "siapa" dapat menciptakan kata berdasar kepentingan masing-masing. 
Dan setiap "siapa" senantiasa berjuang mengalahkan "siapa-siapa" lainnya dalam 
mengendalikan atau menafsirkan makna kata. 

Itulah yang tenar dikenal dengan politik wacana, yang menurut Confusius sebagai 
manifestasi kesewenang-wenangan terhadap apa yang dikatakan. Buah buruk dari 
politik wacana adalah lahirnya kekerasan bahasa/simbolik (dalam istilah 
Confusius: keadilan menjadi tak jelas arahnya). 

Sisi negatif wacana sedemikian itu merupakan dampak dari cara pandang pemakai 
bahasa dengan muatan kepentingan tertentu. Melalui wacana, seseorang dapat 
menguak, menekankan, menonjolkan, memperjelas, mempertegas, dan memaksa pihak 
lain melihat sisi kontradiktif realitas sosial yang tersamar. Pengetahuan 
manusia sendiri pada dasarnya tak dapat lepas dari subjektivitas individu, 
sehingga cenderung menangkap realitas berdasar perspektifnya sendiri. 

Masalahnya, pengetahuan yang telah tercemar oleh kepentingan, perasaan, dan 
aneka subjektivitas lainnya acapkali secara sadar atau tidak dipakai untuk 
"menipu" orang untuk kepentingan pribadi. Dalam palagan politik, hampir semua 
praktik penggunaan bahasa ditujukan untuk mempertahankan, menambah, atau 
merebut kekuasaan. 

Dalam pertarungan bahasa, bangsa Indonesia telah begitu merasakan betapa 
maraknya pernyataan dan sepinya kenyataan. 

Ada semacam arak-arakan wacana terhadap beberapa fakta kontroversial dua tahun 
terakhir. Misalnya, peristiwa berdimensi hak asasi manusia melalui ikon 
kematian aktivis Munir tanpa ada kejelasan siapa pembunuhnya. 

Realitas mengenaskan soal molornya kompensasi dan derita warga yang 
permukimannya diluberi lumpur panas Lapindo. Juga kontroversi pengutipan angka 
jumlah penduduk miskin di Indonesia dan melambatnya laju perburuan koruptor 
yang terkesan tebang pilih. 

Yang termutakhir dan masih segar dalam ingatan, bagaimana jagat politik 
dipanaskan dengan perdebatan soal pembentukan Unit Kerja Presiden untuk 
Percepatan Program Reformasi (UKP3R). Meski hampir semua kekuatan politik 
sepakat bahwa program reformasi belum memuaskan, tetapi begitu presiden 
membentuk unit kerja untuk mempercepatnya para elite politik tampak buas 
membahasnya. 

Problem mendasar bukanlah pada segi komunikasi politik pemerintah (Presiden 
Yudhoyono), namun di balik onggokan masalah kontroversial itu, siapa yang 
menangguk untung, dan siapa berada pada posisi merugi? 

Melihat gunungan perang kepentingan di balik peristiwa kontroversial, maka 
solusi tak cukup lagi secara kosmetik, public relations instan, semacam menaiki 
kendaraan golf berdua (Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla). Toh, 
kenyataannya, model komunikasi temporal-parsial terbukti gagal meredam kesan 
tidak tegas, karena telah diolah secara penuh semangat oleh "siapa-siapa" dalam 
panggung politik. Banyak sekali "siapa-siapa" lain yang mampu membelokkan 
maksud sejati yang diungkapkan melalui bahasa bersayap berlandaskan asumsi, 
kerangka pikir, dan rasionalitas tertentu. 

Benarlah apa yang diungkapkan Norman Fairclough (1995) bahwa wacana sebagai 
representasi fakta, pengaturan pihak yang terlibat, serta relasinya senantiasa 
diiringi beroperasinya ideologi, pemaknaan yang melayani kekuasaan (meaning in 
the service of power). Lazimnya, kepentingan/ideologi seseorang menyusup dalam 
wacana/bahasa untuk memproduksi dan mereproduksi relasi kekuasaan yang tak 
seimbang alias dominasi. 


Manipulasi Fakta 

Kalau kita kembali lagi ke pernyataan Presiden Yudhoyono untuk menggunakan 
bahasa terang mendatang, berarti ada semacam upaya Susilo Bambang Yudhoyono 
memompa kekuatannya sekaligus melawan dominasi lawan politik (againts fight 
back). 

Biasanya, bahasa terang cenderung menanggalkan dan meninggalkan dimensi 
kekerasan simboliknya. Esensi bahasa bahasa terang adalah tiada lagi manipulasi 
fakta melalui bahasa. 

Ada beberapa cara mengenali berlangsungnya kekerasan bahasa di pentas 
masyarakat. Pertama, stigmatisasi/labelisasi adalah penggunaan kata atau 
istilah ofensif (dicapkan/dilabelkan) kepada seseorang/kelompok/tindakan 
sehingga melahirkan pengertian lain dari keadaan sesungguhnya, misalnya, 
provokator, politisi poligami, antek kapitalis/komunis, ekstrem kanan, ekstrem 
kiri, anti-pembangunan, dan mbalela. 

Kedua, eufemisme adalah menghaluskan fakta melalui kata/kalimat sehingga 
maknanya berbeda dari sesungguhnya. Misalnya, rawan gizi untuk kelaparan; pra 
sejahtera untuk miskin, menaikkan harga menjadi disesuaikan; suap menjadi 
sumbangan yang tak diminta, buruh menjadi pekerja. 

Ketiga, disfemisme adalah mengasarkan/mengeraskan fakta melalui kata/kalimat 
sehingga maknanya berbeda dari sesungguhnya, misalnya, penjarah intelektual, 
preman politik, politisi karbitan. 

Keempat, pemakaian jargon, adalah kata atau istilah khas yang digunakan sebuah 
kelompok masyarakat tertentu, yang kemudian dipakai dalam konteks ideologi 
kekuasaan dan diadopsi masyarakat luas, misalnya di-BKO-kan (dibawah koordinasi 
operasikan); satu untuk semua dan semua untuk satu, dan aman-terkendali. 

Akhirnya adalah penggunaan slogan/semboyan, istilah atau kalimat pendek yang 
maknanya mudah diingat dan memberi semangat dan membawa efek menggerakkan 
(me-mobilisasi) dukungan. Misalnya: bersama kita bisa, jer basuki mawa bea, 
pembangunan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Melihat panjangnya rangkaian kekerasan bahasa, kini kita hanya bisa menanti. 
Apakah bahasa terang benar-benar berlaga atau gamang berpentas pada tahun 2007. 
Time will heal, hanya sang waktu yang mampu menjawabnya. 


Penulis adalah 

dosen Fikom Universitas 

Indonusa Esa Unggul Jakarta 

juga sebagai Ketua KameliaTV (Komunitas Melek Media TV) 


Last modified: 4/1/07 

Attachment: teguhhim.gif
Description: GIF image

Kirim email ke