http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/122006/30/wacana03.htm


Negara Pasundan Ciptaan Belanda
Oleh H. ROSIHAN ANWAR, Ph.D (Hon.) 
SETELAH Belanda melancarkan aksi militer pertama terhadap Republik Indonesia 
tanggal 21 Juli 1947, wilayah yang dikuasai oleh republik semakin menciut. Jawa 
Barat untuk sebagian besar telah diduduki oleh tentara Belanda. Komisi 
Jasa-Jasa Baik dari PBB berusaha supaya perundingan dapat terus diadakan di 
kapal perang Amerika Renville yang berlabuh di Teluk Priok.

Saya satu kali sebagai pemimpin redaksi majalah politik Siasat mengunjungi 
kapal Renville, tapi harus didampingi oleh perwira penghubung (liaison) ALRI 
Willy Sastranegara (yang kelak jadi diplomat di Deplu). Saya lihat di sebuah 
kamar sempit ketua delegasi Republik P.M. Amir Syarifuddin memegang kitab injil 
di tangan sedang bercakap-cakap dengan Frank Graham, wakil Amerika dalam Komisi 
Jasa-Jasa Baik. 

Tanggal 17 Januari 1948 di geladak kapal Renville ditandatangani Persetujuan 
Renville yang ujung-ujungnya ialah keadaan republik makin sulit dan terpojok. 
Apalagi Belanda sama sekali tidak mengindahkan pasal-pasal ketentuan Renville. 
Van Mook bagaikan mesin penggiling bergerak terus memecah-belah Indonesia, 
membentuk Negara Indonesia Timur, (NIT-- yang dipelesetkan dalam pers 
Republikein menjadi: "Negara Ikoet Toean") dan menyiapkan lahirnya Negara 
Pasundan.

"West Java Conferentie"

Sampai tiga kali pihak Belanda menyelenggarakan "West Java Conferentie" atau 
Konferensi Jawa Barat untuk meratakan jalan bagi terbentuknya negara Pasundan. 
Abdulkadir Widjojoatmodjo yang menjabat sebagai Recomba (gubernur) Jawa Barat 
mengambil prakarsa mengadakan konferensi yang pertama tanggal 12-19 Oktober 
1947. Dia mengundang sebagai peserta konferensi eks residen republik di Bogor 
R.A.A Hilman Djojodiningrat yang ditunjuk sebagai ketua. Konferensi Jabar yang 
kedua diadakan di Bandung tanggal 15-20 Desember 1947, dihadiri oleh 154 
peserta yang diangkat oleh Belanda. Karena dianggap "kurang demokrastis" oleh 
banyak peserta, maka diputuskan agar digelar konferensi ketiga.Itu terjadi dari 
23 Februari hingga 5 Maret 1948.

Mr. Ali Budiardjo sekretaris delegasi republik dalam perundingan Linggarjati 
(November 1946) atas kemauan kaum Republikein mengorganisasi Gerakan Plebisit 
Indonesia tanggal 1 Februari 1948. Menurut pasal persetujuan Renville, sebuah 
plebisit di bawah supervisi PBB bakal diadakan untuk mengetahui pendapat rakyat 
sebenarnya. Untuk mengantisipasi referendum di daerah-daerah yang diduduki oleh 
militer Belanda seperti Jabar, maka republik memutuskan pembentukan Gerakan 
Plebisit yang bertujuan memengaruhi sikap rakyat. Tapi tanggal 13 Februari 1948 
Mr. Ali Budiardjo Ketua Gerakan Plebisit dipanggil oleh Jaksa Agung Belanda, 
Dr. Felderhof, lalu diberitahu gerakan itu bersifat prematur, belum saatnya.

Wali negara Wiranatakusuma

Pemerintah republik mengajukan protes kepada Komisi Jasa-Jasa Baik PBB atas 
sikap Belanda tadi, tetapi tidak ada dampaknya. Bahkan orang-orang Republikein 
yang masih ada di Jakarta dan dinilai oleh Belanda sebagai "berbahaya", 
"subversif" diperintahkan keluar dari Jakarta, yang setelah aksi militer 
pertama seluruhnya dikuasai oleh pemerintah Van Mook, untuk pergi ke pedalaman 
yaitu Yogya. Ali Budiardjo dan Hamid Algadrie keduanya dari sekretariat 
delegasi republik, Jusuf Jahja wakil wali kota republik dll. "dibuang" ke Yogya.

Pada konferensi Jabar kedua seorang peserta yang membawakan suara Republikein 
R.A.A Wiranatakusuma secara blak-blakan menyatakan bahwa para peserta 
konferensi adalah "boneka-boneka" (Belanda). Pada konferensi ketiga terdapat 
banyak peserta yang pro republik yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana 
Senen Jakarta. Mereka berusaha menggagalkan konferensi, menyebarkan salinan 
pidato Wapres Mohammad Hatta yang menyerukan agar mencegah pemisahan Jawa Barat 
dari RI.

Belanda menggagalkan gerak peserta pro-Kiblik dalam konferensi Jawa Barat. 
Tanggal 4 Maret 1948 dipilih Wiranatakusuma, mantan Regent Bandung, Menteri 
Dalam Negeri kabinet Soekarno, Ketua DPA sebagai Wali negara Pasundan. Peserta 
pro-Koblik lebih menyukai Wiranatakusuma, kendati sudah tuli di telinga kanan 
dan lumpuh di kaki kiri, ketimbang memilih Recomba Jabar Hilman Djajadiningrat.

Wakil AS DuBois

Van Mook bisa menerima Wiranatakusuma selaku Wali negara Pasundan, sebab dengan 
itu dia membuktikan bahwa dalam usahanya membentuk negara Indonesia Serikat 
tidak ada "permainan boneka-boneka". Dengan diakuinya negara bagian Sumatra 
Timur, Pasundan, Madura, di samping NIT dan Kalimantan Barat yang sudah ada 
lebih dulu, maka Van Mook maju terus. Akibatnya, perundingan Belanda-Republik 
di bawah supervisi Komisi Jasa-jasa Baik PBB menghadapi banyak rintangan.

Wakil AS dalam komisi itu Court DuBois yang tahun 1930-an menjabat sebagai 
konsul jenderal AS di Batavia yang mulanya pro-Belanda akhirnya berubah sikap 
dan memihak kepada RI.

Setelah perundingan lamban selama satu setengah bulan di Jakarta dan di 
Kaliurang, DuBois ikut bersama Presiden Soekarno dan Wapres Hatta dalam 
peninjauan ke dataran tinggi Dieng. Di sana DuBois sangat terkesan oleh 
penderitaan kaum pengungsi dari daerah pendudukan militer Belanda. DuBois lalu 
yakin bahwa wakil hakiki dan satu-satunya dari penduduk Indonesia adalah 
Republik Indonesia.

Belanda marah. Van Mook tidak bisa menerima pandangan dan sikap orang-orang 
asing seperti Amerika, Inggris, Australia mengenai Indonesia. Tahu apa mereka 
seperti Mountbatten, Killearn, Kirby, Graham, Critchlay, DuBois? Mereka 'kan 
bodoh-bodoh, malas, gila perempuan, pemabuk, defaitistis, Belanda tidak 
mengerti kenapa orang anti-Belanda?*** 

Penulis, wartawan senior.

Kirim email ke